Pengetahuan dan praktik seni pembuatan kapal pinisi adalah warisan budaya leluhur yang perlu dijaga kelestariannya. Pengetahuan ini tidak diwariskan secara tertulis, melainkan secara lisan dan praktik dari generasi ke genarasi.
Pada tanggal 7 Desember 2017, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah menetapkan seni pembuatan kapal pinisi sebagai salah satu warisan budaya dunia tak benda “Intangible cultural heritage”.
Sayangnya, generasi muda saat ini tak banyak lagi yang terarik untuk menjadi pembuat kapal pinisi. Hal ini menjadi keresahan bagi Muslimin, mahasiswa jurusan antropologi angkatan 2016, akankah eksistensi pembuatan kapal pinisi ini bisa diwariskan kepada generasi muda?
Berangkat dari keresahan itu, Muslimin bersama dua orang temannya, si Kembar Jelita Septiani Aprisal dan Jelita Septiana Aprisal, Mahasiswa Ilmu Hukum, masing- masing angkatan 2017 dan 2018 mencoba melakukan penelitian terkait seni pembuatan kapal pinisi.
Menurut Muslimin, hal ini penting dan menarik untuk diteliti untuk mempertahankan eksistensi pembuatan kapal pinisi. “Jika generasi baru pembuat kapal pinisi tidak ada maka dikhawatirkan pengetahuan seni pembuatan kapal pinisi akan hilang dan tentu ini juga akan berdampak pada statusnya sebagai warisan budaya dunia,” terang Muslimin saat diwawancarai melalui Whatsapp, Rabu (27/3).
Lebih lanjut Muslimin menegaskan, yang perlu dingat bahwa yang ditetapkan oleh UNESCO bukanlah “kapal pinisi” melainkan “seni pembuatannya” sehingga regenrasi begitu sangat penting mengingat pengetahuan seni pembuatan kapal pinisi diwariskan secara lisan.
Ketiganya melakukan penelitian di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba. Kabupeten Bulukumba dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan sentra pembuatan kapal pinisi di Provinsi Sulawesi Selatan. “Bulukumba, khususnya Kecamatan Bontobahari adalah sentra, di sanalah para ahli pembuat kapal pinisi tinggal, yang saat ini pengetahuan seni pembuatan kapal pinisinya telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia tak benda,” ujar Muslimin.
Selama satu bulan, Muslimin beserta dua rekannya melakukan penelitian di lapangan. Setidaknya ada dua hal yang menjadi fokus penelitian mereka, yaitu yang pertama menganalisis tantangan yang dihadapi para pembuat kapal pinisi di lokasi setempat dalam proses pembuatan kapal pinisi. Yang kedua, menganalisis upaya yang akan atau sedang dilakukan pemerintah dalam upaya pelestarian pengetahuan seni pembuatan kapal pinisi.
Selama melakukan penelitian, Muslimin sempat mengalami kendala ketika pengolahan data, hal itu dikarenakan sebagian besar informan/penduduk setempat menggunakan bahasa konjo. “Mereka rata-rata menggunakan bahasa konjo, sehingga untuk ditranslate ke Bahasa Indonesia harus hati-hati untuk menyampaikan makna yang sebenarnya dari informasi setiap informan,” ujarnya. Meskipun begitu, informan penelitian cukup ramah dan terbuka sehingga tidak menyulitkan mereka dalam proses wawancara.
Penelitian yang berlangsung selama satu bulan itu bertepatan dengan bulan Ramadan, sehingga mereka memerlukan tenaga ekstra karena sedang berpuasa. Bahkan menurut Muslimin, penelitian itu baru selesai dua hari sebelum Idul Fitri. Meskipun begitu, Muslimin dan rekannya pantang menyerah. Kesulitan yang mereka alami tak ada apa-apanya, mereka bahkan merasa beruntung karena bisa melihat dan menyaksikan secara langsung pembuatan kapal pinisi yang masih ada hingga hari ini.
Melalui penelitian ini Muslimin berharap dapat menjadi sumber informasi bagi pemerintah dan pihak terkait untuk memaksimalkan upaya pelestarian seni pembuatan kapal pinisi. “Kami berharap hal ini dapat mendorong berbagai pihak untuk ikut serta dalam upaya membantu pelestarian seni pembuatan kapal pinisi”
Selain itu, melalui artikel ilmiah yang menjadi output penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan membangkitkan semangat generasi muda untuk menjaga warisan leluhur, “Tentu kami mengharapkan ini dapat menjadi dorongan untuk meningkatkan partisipasi generasi muda sehingga tertarik memperlajari seni pembuatan kapal pinisi sehingga seni pembuatan kapal pinisi dapat terus ada kini hingga nanti.” tutupnya.
Urwatul Wutsqaa