Jabatan dua periode Prof Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu, M A sebagai Rektor Unhas akan berakhir 28 April 2022. Kini sudah tercatat delapan orang yang mengajukan diri sebagai kandidat pengganti Dwia. Mereka itu seluruhnya menjabat guru besar. Enam orang di antaranya masih dan pernah menjabat Dekan Fakultas. Seorang lainnya menjabat Direktur Jenderal di Kementerian Kesehatan RI dan seorang lagi memangku jabatan “struktural” di organisasi Majelis Wali Amanah (MWA), entitas yang akan memilih mereka sebagai rektor kelak.
Grup Whatsapp (WAG) Ikatan Alumni Unhas Jabodetabek dalam beberapa hari terakhir ini melakukan polling perihal calon Rektor Unhas pilihan warganet. Pada pukul 13.45 Wita tanggal 24 Agustus 2021 saya sempat menengok data hasil polling tersebut. Data yang masuk 20.994 voters menempatkan Abdul Kadir (AK) masih meraih pilihan terbanyak, 5.491 (26,2%), Farida Patittingi (FP) 4.246 (20,2%), Budu (B) 2.969 (14,1%), Armin Arsyad (AA) 2.465 (11,7%), Jamaluddin Jompa (JJ) 2.094 (10,0%), Sumbangan Badja (SB) 1.487 (7,1%), Muhammad Restu (MR) 1.336 (6,4%), dan Indrianti Sudirman (IS) 908 (4%).
Hasil polling ini hanya merupakan gambaran daftar akumulasi keinginan dari mereka yang telah memberikan suara dengan melihat figur yang ditawarkan. Sebab yang menentukan adalah suara para anggota MWA Unhas yang berjumlah 19 orang itu. Meskipun demikian, selain suara dari MWA, ada suara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi 35 persen.
Campur tangan Menteri yang memiliki kuota suara 35 persen semula banyak diprotes perguruan tinggi negeri karena dianggap ada intervensi terhadap demokratisasi kampus dalam memilih nakhodanya. Tetapi pemerintah beralasan, suara menteri yang mewakili pemerintah itu sebagai penyeimbang suara internal perguruan tinggi negeri yang bersangkutan karena perguruan tinggi negeri merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pendidikan.
Pengenaan suara Menteri yang 35 persen itu mulai berlaku ketika Muhammad Nuh menjabat Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi dan dikeluarkanlah Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2017 dan Nomor 20 Tahun 2018 tentang tahapan pengangkatan Rektor Perguruan Tinggi Negeri.
Tahap I pemilinan dilakukan dengan penjaringan oleh Senat Akademik untuk mencari empat calon.
Tahap II menyaring lagi untuk memperoleh tiga calon yang akan disampaikan ke Menteri yang selanjutnya akan menelusuri rekam jejak mereka. Jika ternyata dari salah seorang nama itu ada rekam jejaknya yang “tidak berkenan” di hati Menteri, maka akan dilakukan penyaringan ulang.
Tahap III pemilihan Rektor dalam rapat senat tertutup oleh Menteri dan anggota MWA yang terdiri atas Gubernur, perwakilan dosen, perwakilan masyarakat, alumni, mahasiswa, dan tenaga pendidikan. Di sini perbandingan suara Menteri 35 persen dan MWA 65 persen. Wakaupun tiga calon bakal bersaing memperoleh suara hampir seimbang di MWA, tetapi nasibnya akan ditentukan oleh kuota 35 persen suara menteri.
Jika suara total untuk pemilihan rektor ini N =100 persen, berarti 19 suara MWA 65 persen, sementara 35 persen suara menteri ekuivalen dengan 6,65 suara, sehingga total suara pemilihan 19+7 (dibulatkan) = 26 suara. Sehingga, seorang calon jika sudah meraih maksimal 10 suara saja dari MWA akan menang jika kuota menteri jatuh padanya. Bahkan kalau pun tiga calon bersaing ketat sama-sama meraih 6-6-7 suara, salah seorang di antaranya akan menjadi rektor jika “bintang” yang 35 persen itu “menimpanya”.
Gerakan Tanpa Bola
Dari delapan calon Rektor Unhas tersebut, Fakultas Kedokteran mengajukan dua calon. Di atas kertas jelas suara anggota senat akademik dari kubu fakultas ini akan terpecah antara memilih AK atau B. Akan halnya dengan FP bisa terjadi akan berkolaborasi dengan beberapa fakultas tetangganya, Ilmu Budaya, Ekonomi, dan Fisipol. Saya mengajukan Ekonomi dan Fisipol, meskipun mengajukan calon rektor sendiri, tetapi lebih menguntungkan jika akan melakukan “bergaining position” dengan FP. Mudah-mudahan prediksi saya ini keliru, majunya dua calon tersebut boleh jadi untuk mempersiapkan posisi tawar dengan calon mana yang akan menggaetnya.
Calon lain, JJ, SB, dan MR, jika melihat jumlah anggota senat akademik dari fakultasnya, boleh jadi akan sulit bersaing. Tetapi ini hanya prediksi belaka. Semuanya akan ditentukan saat penyaringan oleh Senat Akademik dan penetapan tiga calon yang akan dipilih Menteri dan MWA.
Pergerakan tanpa bola akan kencang terjadi ketika tiga nama sudah dikirim ke Menteri untuk selanjutnya akan dipilih oleh Menteri dan MWA. Di sini, orang akan mulai berhitung siapa yang “kuat” dikenal dan mengenal orang di pusat pemerintahan republik ini. Reputasi dan prestasi akan sangat dipertaruhkan.
Namun tidak boleh dilupakan, serangan “undercover” yang dilakukan kalangan tertentu, dalam hal ini para politisi akan ikut menentukan, Dalam hal ini, diakui atau tidak, para penghuni Senayan jelas akan bermain. Di Indonesia praktik ini belum bisa lepas dengan keterlibatan “invisible hand” (tangan tersembunyi) seperti ini. Tentu saja, yang akan dilirik adalah para anggota Dewan di komisi yang bermitra dengan Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Riset dan Teknologi. Dengan posisi tersebut, mereka akan dapat melakukan “soft press” terhadap Menteri. Bisa saja.
Penulis M. Dahlan Abubakar
merupakan Dosen Tidak Tetap Unhas dan
Penasihat Ahli PK identitas Unhas.