Tak banyak orang mengenal pendiri Pusat Bahasa Mandarin Unhas, Halim Homeric. Kecuali, bagi mereka yang pernah membaca buku biografinya berjudul ‘simfoni kehidupan’. Perjalanan hidup peranakan Tionghoa ini pun diceritakan dalam tulisan itu, termasuk dirinya yang harus berjuang untuk melanjutkan hidup, hingga berhasil mencapai kesuksesan sebagai seorang pengusaha di Makassar.
Halim Homeric terlahir dari kehidupan keluarga yang amat sederhana di daerah Kaiping, Tiongkok. Sampai suatu masa, Halim hijrah ke Indonesia. Kala itu memang ada kebiasaan orang Tionghoa berlayar mengarungi Laut Cina Selatan menuju tanah harapan baru di seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Mereka menyebutnya dengan istilah Xia nan.
Di tanah air, untuk tetap bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia memulai usaha tukang servis becak, usaha itu terus berkembang hingga dapat merekrut beberapa karyawan.
Tak cukup dengan menjajaki usaha servis becak, ia merambah ke bidang usaha menjual lampu, dan peralatan listrik. Usahanya ini pun sukses hingga sekarang. Prinsipnya, walau Halim hanya memiliki usaha yang cukup sederhana, akan tetapi ia dapat menekuninya dengan baik, dan membuahkan hasil memuaskan.
Selain berwirausaha, ia terkenal sebagai seorang seniman yang ahli dalam dunia musik. Kemampuannya dalam bidang seni musik telah diakui oleh sebagian besar orang terutama di kalangan kampus Universitas Hasanuddin. Terbukti, selain pandai bermain biola, ia juga cakap menciptakan, dan menerjemahkan berbagai lagu Makassar ke dalam bahasa mandarin. Sehingga, ia memiliki peranan penting dalam bidang pendidikan, dan kebudayaan di kota Makassar.
Kecintaan Halim pada bahasa Mandarin terlihat sejak kecil, dan mulai serius menekuninya saat melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas Xiamen, Tiongkok.
Label ahli bahasa Mandarin pun melekat pada dirinya. Bahkan, saat ia menjadi salah satu dosen di Unhas, Halim mendirikan, dan lalu mengasuh Pusat Studi Bahasa Mandarin. Wadah mahasiswa untuk belajar budaya, dan bahasa Mandarin itu berdiri juga berkat kerja sama dengan Universitas Xiamen.
Prinsip yang dianut Halim sepertinya memberikan motivasi sendiri bagi orang lain. Misal, cara dia menghargai orang lain yang juga diceritakan dalam bukunya.
Katanya, jika seseorang bertemu dengan orang yang berbudi luhur, maka harus mengangkatnya sebagai guru, agar dapat menyamai kebaikan dari guru tersebut. Dan, jika bertemu dengan orang yang berbudi buruk, maka menjadi cerminan bagi diri sendiri.
Selain itu, perjalanan hidup Halim memberikan gambaran tentang bagaimana seseorang mampu bertahan hidup, berjuang, dan melawan kerasnya kehidupan. Ia selalu semangat dan mengutamakan kejujuran untuk meraih kesuksesan.
Oleh karena itu, biografi Halim juga patut menjadi cerminan bagi anak muda yang tengah berusaha menggapai mimpi.
Melika Nur Jihan