Apa jadinya ketika seorang antropolog memilih untuk tinggal bersama masyarakat yang hidup di lingkungan kumuh? Buku ini akan mengantarkan para pembaca untuk mengetahui masalah dan kondisi hidup masyarakat tersebut lebih dekat lewat cerita yang dialami Roanne Van Voorst, antropolog asal Belanda.
Roanne Van Voorst, Antropolog asal Belanda ingin meneliti terkait kondisi masyarakat yang sering terkena musibah banjir di Indonesia. Ia memilih tempat kumuh di Jakarta untuk melakukan penelitian itu. Dalam perjalanannya, ia hampir putus asa sebab sejumlah masyarakat di tempat kumuh yang ia datangi menolak bekerjasama. Saat memutuskan untuk kembali ke kampung halaman, secercah harapan mulai muncul.
Pertemuannya dengan Tikus, seorang pemuda bertubuh kurus, merupakan awal cerita untuk cerita lainnya tentang kehidupan yang ia alami di Bantaran Kali, salah satu perkampungan kumuh di Jakarta. Dia menetap di sana lebih dari setahun, di sebuah rumah yang terbuat dari papan dan asbes. Selama itu, ia mencoba menyelami kehidupan masyarakat di sana hingga ia pun mulai terbiasa dengan banjir yang sering datang di perkampungan itu.
Untuk mengantisipasi dan mengurangi korban banjir, ada seseorang di perkampungan itu bertugas memantau informasi terkait ketinggian air di pintu air Bantaran Kali melalui walkie talkie. Dengan begitu, masyarakat lainnya dapat bersiap jika banjir datang. Walkie talkie tersebut mereka beli dengan uang pribadi. Harganya yang tidak murah membuat orang yang memilikinya menyandang status tertinggi di perkampungan kumuh itu. Pemerintah tak mau lagi memfasilitasi mereka agar masyarakat di sana tak lagi betah bermukim di kawasan tersebut.
Selain mengetahui cara masyarakat di sana dalam menghadapi banjir, pergaulan Roanne sehari-hari bersama masyarakat, membuat ia mengetahui beberapa peristiwa lain. Salah satunya, masyarakat di sana menganggap rumah sakit sebagai tempat yang berbahaya. Mereka lebih mengandalkan ramuan yang dibuat Yanti, salah satu warga Bantaran Kali dibanding obat dari dokter.
Pemikiran itu tak serta-merta muncul. Perlakuan kurang baik dan diremehkan yang pernah mereka dapatkan dari petugas rumah sakit membuat kepercayaan diri mereka untuk berobat di sana sirna. Di buku ini, mereka dengan gamblang menceritakan pengalaman pahit itu ke Roanne. Mereka juga melarang Roanne berobat ke rumah sakit. Mereka takut ia akan mendapatkan perlakuan serupa jika petugas medis mengetahui bahwa ia tinggal di Bantaran Kali.
Ya, saat melakukan penelitian, Roanne sempat jatuh sakit. Setelah beberapa kali dipaksa meminum ramuan Yanti dan tidak berefek apa pun, ia akhirnya berangkat ke rumah sakit bersama tukang ojek langganannya, dengan satu catatan; memalsukan alamat rumahnya. Untungnya, ia seorang bule sehingga apa yang pernah dialami masyarakat Bantaran Kali tak terjadi padanya. Ia pun diberi obat oleh dokter, kemudian kembali ke rumahnya.
Buku ini dapat mematahkan prasangka negatif dari para pejabat kelas menengah atas Indonesia yang cenderung menganggap penghuni kampung kumuh sebagai kriminal dan pemalas. Penyajian yang informatif, intim, dan penuh humor memberikan wawasan unik tentang kehidupan penghuni kampung kumuh yang keras tetapi memiliki sifat pantang menyerah. Tulisan Roanne menarik karena dia terkesan blak-blakan dan hanya menggunakan bahasa sederhana yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Dia sengaja menggunakan bahasa tersebut agar kehidupan di kampung tersebut dapat terasa nyata dihadapan kita semua.
Roanne mengatakan bahwa tidak semua penghuni kampung kumuh berbakat menjadi pengusaha, tidak semua mereka punya perilaku buruk yang menyebabkan mereka miskin, dan tidak semua mereka punya jiwa luhur saat ada musibah. Mereka kerap kali dianggap sebagai perusak kehidupan. Akan tetapi, hal tersebut hanyalah sebatas omong kosong belaka.
Mereka adalah orang-orang biasa, bilamana sehari-harinya dihadapkan pada kesulitan hidup yang luar biasa dan berbagai dilema. Dari kondisi itu, mereka sering menemukan cara-cara kreatif dalam upaya memecahkan masalah yang mereka miliki.
Di buku setebal 192 halaman itu, Roanne juga menceritakan, betapa banyak warga yang menangis saat melepaskan kepergian peneliti itu. Sebelum ia meninggalkan kampung itu, ia juga memberikan sejumlah penghargaan kepada seluruh masyarakat Bantaran Kali agar dia dapat meninggalkan kesan yang baik setelah menetap di kampung itu setelah sekian lama.
Roanne berharap, efek dari buku ini dapat membuka hati dan pikiran pemerintah untuk membenahi perkampungan tersebut. Selama ini suara mereka tak pernah didengar karena mereka hanya dianggap sebagai penghuni kampung kumuh. Selain itu, agar setiap orang yang membaca buku ini, bisa mengetahui bagaimana kehidupan yang berjalan di kampung tersebut.
Buku yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia ini sangat mudah dipahami sebab sang Editor, Pradewi Tri Chatami, juga Penerjemah, Martha Dwi Susilowati melakukan tugasnya dengan sangat baik. Buku terbitan Marjin Kiri ini cocok dibaca bagi kalian yang ingin merasakan kehidupan kaum kumuh sebenarnya. Selamat membaca!
Data Buku
Judul Buku : Tempat Terbaik di Dunia
Penulis : Roanne Van Voorst
Penerbit : CV. Marjin Kiri
Tebal : 192 halaman
Ukuran : 20,1 x 13,8
Cetakan : Ke-1, 2018
Melika Nur Jihan