Perkenalan kita dimulai dari sebuah kebetulan, seperti sebuah cinta yang menyerah pada pohon akar. Pilihan adalah kebetulan yang menyenangkan. Senyummu mampu kutemukan walau deretan nama coba membingungkanku. Kau adalah keindahan yang membagi diri sebelum pecah menjadi ketiadaan.
Ketika pagi tiba, ada sesuatu yang kudengar dengan tidak biasa. Tonggeret, kumbang, jangkrik atau apapun itu, aku tidak pernah dapat menyebutnya dengan baik. Mereka menyanyikan melodi yang sama, indah dan membawa kehangatan.
Dan pagi ini, kurasakan kemarau akan segera tiba. Entah mengapa aku tiba-tiba mencintai kemarau, mungkin karena dalam sore yang hangat pada kemarau itu aku menemukanmu, atau karena ia akan menguapkan air mata yang mengendap dalam rongga beratap kapur. Membuatnya tetap tinggal di sini, mengikis dan menyakitkan.
Ada yang aneh setelah perkenalan itu. Aku merasakan sesuatu yang tidak pernah terasa beberapa waktu. Bahagia yang terasa ganjil. Aroma menyenangkan yang terasa tidak biasa, dan kupu-kupu terasa terbang dengan sayap yang terbalik. Mengingatnya membuat senyumku mengambang bebas di udara.
Seketika semesta senyap, tanah enggan menyerap air yang biasa mendekap. Dia merampas imajiku tentang perangsang senyum yang selalu kuceritakan pada malam. Aku hanya sekedar meraba. Meraba setiap jejak kesakitan dan kehangatan. Aku telah menutup mata, telinga, bahkan celah-celah kecil di hatiku. Membiarkan mereka menjadi buta dan mati. Membiarkan dia tetap terjaga dari segenap luka yang membuatku merasa kehilangan.
Tiga tahun satu bulan dua minggu, dan aku berhenti menghitung hingga di situ, bersama ketidakmampuanku meretas lebih jauh. Apakah karena aku yang telah menua? Bukankah tidak mungkin kita mengabadikan sesuatu yang mengambang dalam awan-awan ingatan, yang nantinya akan jatuh menjadi air mata yang menyakitkan.
“Ah… sejak tiga tahun satu bulan dua minggu yang lalu, aku hampir tak ingat lagi bagaimana saat kau tersenyum. Bagaimana jaring laba-laba itu terjalin, tertiup angin dan menerbangkan debu-debu kering yang menyimpan bekas sepatumu, yang menelantarkanku dalam sunyi yang berkabung,” pikirku saat ini.
Pernah satu hari, di mana aku merasa sesak dan lelah. Saat itu aku mencoba berani menagih janjimu dulu untuk menemani perjuanganku. Rasa itu terus kupaku pada jalan-jalan menuju mimpimu. Aku berharap suatu saat kau akan tersandung dan jatuh ke dalam rasa itu. “Eh kau tau tidak? Aku belajar banyak hal darimu, salah satunya belajar menunggu. Menunggumu untuk menanyakan kabarku,” pelajaran yang membosankan.
Bukankah kita pernah duduk bersama memandang sore, senja dan malam di sudut yang sama? Saat itu kita hanya diam, aku sempat bertanya “Mengapa simbol hati adalah cinta. Namun, retak ketika tak terbalas?,” dengan lantang kau menjawab “Ada banyak alasan, seperti ketika kau mencintai yang tak bisa dijalani, bukankah temu memiliki sahabat bernama pisah?”.
Sejak saat itu kau meninggalkan jejak luka dengan tatapan tajam tanpa ragu, terinjak rasa tak beralasan seperti yang kau katakan bahwa kita adalah kesepian, kita adalah sama yang berbeda. Berjalan seorang diri di jalan yang berlainan, meski dengan tujuan yang sama. Maka tak salah ujarmu bahwa “Beda berarti sama” seperti yang kau uraikan sebelumnya.
Memulai untuk mengakhiri, memeluk untuk melepaskan, namun aku tetap berterima kasih padamu. Kau pernah menjadi nama yang kuceritakan dalam mipiku, pernah menjadi takdir yang kulalui dengan harapan. Aku lebih memilih merengkuh seluruh kesepian yang kusematkan dalam ruang-ruang yang kusebut dengan “kehangatan”, “perlindungan”, dan “sandaran” menjadi kosa kata tua yang busuk dalam kamus-kamus berjamur.
Kau mempekenalkanku dengan rindu. Menjadi rindu sebagai hadiah untuk kepalaku, membuatku menaruh semangkuk harapan pada tumpuan yang tak lagi merawat rasa. Rasa yang telah tumbuh di atas tanah yang merawat jasadku dengan tulus, seperti duri pada mawar yang membuat tanganmu menjadi layu menggenggamnya.
Oleh:
Rian Firdayanti Rauf
Fakultas Ilmu Kelauan Dan Perikanan
Jurusan Perikanan
Angkatan 2014