“Ketika mahasiswa memilih apatis, maka ia sedang menyia-nyiakan kesempatan untuk mewujudkan kepemimpinan yang berpihak pada rakyat,” ungkap Endang Sari S IP M Si , Komisioner KPU Kota Makassar.
Memasuki tahun politik 2019, masyarakat akan disuguhkan satu momentum besar, Pemilu Umum (Pemilu) meliputi Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Para calon anggota legislatif (Caleg) gencar mempersiapkan diri mencari dukungan. Di sisi lain masyarakat atau pemilik suara, pun turut mencermati siapa caleg, termasuk calon Presiden (Capres) yang akan dipilihnya dalam pesta demokrasi tersebut.
Mahasiswa sebagai kaum terpelajar sekaligus generasi penerus bangsa, perlu berperan aktif untuk pemilu tersebut. Berdasarkan hasil pemetaan Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih dengan usia 20 tahun ke bawah (artinya rentan usia 17-20 tahun) sejumlah 91.000 orang, ini merupakan angka yang sangat signifikan, dan tentunya mahasiswa sudah ada di dalamnya. Melihat jumlah ini, boleh dikata generasi muda memegang peranan penting sebagai penentu kemenangan, sehingga diharapkan tidak termasuk ke dalam golongan putih (golput).
Menurut salah seorang Komisioner KPU Makassar, Endang Sari S IP M Si, yang juga dosen Ilmu Politik Unhas mengatakan, mahasiswa dan politik merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, mengingat mahasiswa yang fungsinya sebagai agent of change dan agent of social control.
“Mahasiswa sebagai agen kontrol sosial untuk hal seperti itu, dan kemudian ketika dianggap ada yang salah dari kebijakan tertentu, di sinilah fungsinya sebagai agen perubahan. Jadi, mahasiswa dan politik itu memang dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Apalagi terkait isu-isu politik, tentu mahasiswa sangat paham akan hal tersebut. Sejarah panjang negara kita ini, dibangun oleh generasi muda dan peran besar dari mahasiswa bersama elemen masyarakat lainnya dalam setiap estafet pergantian rezim di negara ini”, terang Endang Sari saat ditemui baru-baru ini.
Hasil pemetaan KPU, ditemukan fakta bahwa angka partisipasi warga Makassar pada Pemilihan Wali kota (Pilwalkot) 2018 berjumlah 58,98%. Setelah ditelusuri, beberapa karakteristik wilayahlah yang menyebabkan angka rendah seperti itu. Salah satunya adalah wilayah pemukiman mahasiswa dan kampus.
Menurut Endang, ketika mahasiswa memilih apatis, maka ia sedang menyia-nyiakan kesempatan untuk mewujudkan kepemimpinan yang berpihak pada rakyat. Karena yang bisa memandu masyarakat untuk memilih pemimpin berdasarkan visi, misi, dan gagasan, kapasitasnya itu adalah mahasiswa. Mahasiswa memiliki tingkat kepekaan dan literasi yang lebih tinggi.
Lebih lanjut, Endang mengatakan, mahasiswa harus diberikan pendidikan tentang demokrasi, pentingnya memilih pemimpin berdasarkan visi, dan alasan pentingnya pemilu dan suara mereka. “Pemilih pemula memang harus diberikan bekal lebih. Sebab, mereka masih sangat rentan untuk menjadi target penggiringan persepsi oleh kandidat-kandidat tertentu. Pun rentan menjadi sasaran penyebaran hoaks, termasuk menjadi penyebarnya,” jelasnya
Pada kesempatan ini, Endang Sari juga memberi tips bagaimana menjadi pemilih yang baik. “Untuk menjadi pemilih yang baik, mahasiswa harus rajin membaca. Mahasiswa harus lebih terliterasi dibanding dengan masyarakat. Selain itu, mereka harus memperbanyak bacaannya sehingga menjadi suluh bagi lingkungan sekitarnya tentang pentingnya pemilu yang terjadi hanya sekali dalam lima tahun,” tuturnya.
Relawan Demokrasi Sebagai Perwakilan Aspirasi Mahasiswa
Relawan demokrasi (Relasi) di kota Makassar berjumlah 55 orang, beberapa di antaranya merupakan mahasiswa. Mereka yang tergabung di Relasi , terbagi ke dalam 11 basis yang bertugas menyasar dan membantu KPU melakukan sosialisasi di pendidikan tinggi. 11 basis tersebut meliputi agama, perempuan, pemilih pemula, pemuda, marginal, berkebutuhan khusus, disabilitas, komunitas, keluarga, netizen, danrelawan demokrasi. Relasi membantu KPU menjangkau basis-basis tersebut.
Salah seorang mahasiswa Ilmu Politik angkatan 2015, Muhammad Al-mu’min Muchlis menyebut dirinya mau menjadi seorang Relawan Demokrasi (Relasi), karena memiliki motivasi dan semangat yang tinggi sebagai perwujudan dari disiplin ilmunya.
Menurutnya sebagai mahasiswa ia harus berperan aktif menyadarkan masyarakat dalam demokrasi. Adanya demokrasi menjadi wadah bagi kita untuk bebas menyuarakan aspirasi. Selain itu, melalui demokrasi muncul kesetaraan, hak suara seorang presiden sama dengan hak seorang petani, nelayan, dan buruh. one man, one vote.
“Tugas saya sebagai Relasi untuk menyadarkan masyarakat, bagaimana pentingnya menggunakan hak suaranya, jadi kami itu melakukan sosialisasi ke tempat yang tingkat partisipasi politiknya rendah untuk miningkatkan kualitas pemilihan dan menggunakan hak pilihnya. Saya di basis marjinal bertugas mensosialisasikan pentingnya memilih di Pasar Baru Daya sekaligus pengenalan surat suara dan pembagian brosur. Kemudian, sosialisasi pemilu masyarakat pesisir utara kecamatan ujung tanah. Serta pengenalan 5 surat suara di Pasar Terong ,” terang Al-mu’min.
Salah seorang relawan lainnya, Alfrida Octaviana yang juga mahasiswa Ilmu Politik mengatakan, ia ingin terjun langsung ke masyarakat dan mengabdi pada bidang ilmunya. Alfrida melakukan sosialisasi di tempat-tempat disabilitas di kota Makassar. Contohnya, di berbagai SLB tuna netra, tuna grahita, penyandang cacat fisik, dan tuna rungu yang sudah dilaksanakannya.
“ Saya ingin membantu menyukseskan peserta demokrasi terbesar tahun ini di Indonesia khususnya di kota Makassar, ywgaitu dengan mensosialisasikannya. Saya sendiri ada di basis disabilitas, bentuknya seperti diskusi terbuka bersama komisioner KPU, juga Focus Grup Discussion (FGD), dan peragaan tata cara mencoblos serta memperlihatkan contoh surat suara,” ungkapnya
Alfrida berharap, demokrasi Indonesia berjalan dengan sehat, saling menghormati hak serta pilihan orang lain, dan bisa beriringan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, harapnya.