Berdamai dengan perubahan atau mempertahankan kebiasaan?
Huckleberry Finn seorang remaja beruntung. Ia bersama karibnya, Tom Sawyer mendapat ribuan uang dollar hasil rampok di dalam gua. Awalnya Huck seorang gelandangan, ayahnya pengangguran yang suka mabuk. Berkat ribuan uang dollar itu, seketika hidupnya berubah. Ia jadi kaya raya. Tidak hanya itu, ia juga diangkat jadi anak oleh Nyonya Janda. Perubahan demi perubahan pun mesti ia lalui. Itu tak mudah baginya. Terbiasa hidup bebas, tanpa aturan tata kesopanan, membuat Huck tak betah menjadi orang kaya.
“Bagiku sungguh tak menyenangkan tinggal dirumahnya, dengan peraturan tata cara yang ketat dan mengesalkan. Akhirnya aku tak betah lagi, suatu hari aku melarikan diri dari rumah Nyonya Janda, kembali memakai pakaian compang-camping dan tidur di tong-tong kosong, kembali merasa bebas dan bahagia,” kata Huckleberry dalam kisah petualangannya yang ditulis Mark Twain.
Hampir sama, film animasi tentang manusia gua, berjudul The Croods, salah satu tokohnya, bernama Grug, juga tak terbiasa dengan perubahan. Grug hidup di dalam gua. Ia takut mencoba sesuatu yang baru. Berbeda dengan Eep, anak Grug yang menginginkan perubahan yaitu hidup di luar gua. Selama ini, cerita luar gua hanya dari ayahnya, itu pun berisi ancaman dan bahaya.
“He follow the rules. Anything new is bad. Curiosity is bad. Going out at night is bad. Basically anything fun is bad…” kata Eep menggambarkan ayahnya di awal film. Grug yang awalnya tak ingin melakukan perubahan, tapi mau tak mau mengikuti kemauan putrinya dan berpetualang di luar gua.
Begitulah sekelumit kisah sulitnya menerima perubahan di dunia fiksi yang sudah saya saksikan. Di kehidupan nyata, cerita ihwal perubahan cukup menarik diamati. Seperti ragam kearifan lokal suku di nusantara. Mereka mesti berjuang bertahan dari gempuran arus budaya modern. Tengok saja suku Baduy, masyarakat adat Papua hingga orang Kajang di Bulukumba. Mereka dengan teguh memegang tradisi. Tidak serta merta mengikuti arus perubahan dan memiliki pendirian kuat.
Suku Baduy khususnya Baduy dalam, pantang memakai alas kaki juga kendaraan. Tak hanya itu, segala macam teknologi seperti listrik sampai sabun dan pasta gigi tidak mereka gunakan. Mereka menjaga kepatuhan terhadap tradisi leluhur. Konsep kepatuhan itu mereka sebut dengan Pikukuh. Mereka punya tabu yang berbunyi “Lojor heunteu meunang dipotong, pendek heunteu meunang disambung” (Panjang tidak bisa dipotong dan pendek tidak boleh disambung). Tabu itu berarti tanpa perubahan sama sekali. Hal yang sama juga dianut suku Kajang.
Masyarakat adat Papua pun begitu. Masih menjaga tradisi mereka. Jangankan teknologi, perubuhan makanan pun mereka jaga. “Orang Papua harus makan sagu. Ini alam punya kuasa.. kami punya dusun biar tinggal turun temurun,” kata perempuan Papua dalam film documenter The Mahuzes.
Mereka tidak latah pada perubahan. Pada apa yang dikatakan banyak orang sebagai kemajuan. Huckleberry, Grug dan masyarakat adat nusantara tahu siapa diri mereka. Banyak yang mengikuti arus perubahan, tapi tak tahu perubahan itu baik atau buruk.
Memang tidak ada yang dapat menahan perubahan zaman, tetapi menjadi diri sendiri dan menjaga tradisi kiranya lebih baik daripada sekedar membebek pada perubahan. Meski begitu, harus hati-hati pula mempertahankan tradisi/kebiasaan. Kita mesti tahu yang terbaik bagi diri. Seperti Huckleberry yang memilih jadi bebas lepas dari aturan Nyonya Janda dan masyarakat adat yang menjaga warisan leluhur meraka. Atau kita juga bisa memilih menjadi seperti Grug yang perlahan, sedikit demi sedikit, mencoba sesuatu yang baru, lalu berdamai dengan perubahan.
Grug merelakan sebagian dirinya mati demi memasuki kehidupan baru. Kisah Grug sesuai dengan pernyataan Anatole France, peraih nobel sastra 1921. “Setiap perubahan memiliki melankolia masing-masing; karena apa yang kita tinggalkan adalah diri kita sendiri. Kita harus mati untuk satu kehidupan, sebelum memasuki kehidupan lainnya”.
Maka bercerminlah dari Huckleberry Finn, Grug dan masyarakat adat. Mau mempertahankan kebiasaan seperti Huck dan masyarakat adat? Atau berdamai dengan perbahan seperti Grug dan keluarganya? Mari memilih, mari bersikap. (*)
Musthain Asbar Hamsah
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Angkatan 2014