Sejarah menyampaikan kisah yang mesti terus dipelajari. Darinya kita bisa memahami diri dan sekitar, termasuk tentang identitas diri, keluarga, hingga bangsa sendiri. Bahkan di balik sejarah kita bisa menemui jawaban atas pertanyaan tentang hari ini.
Sejarah merekam peristiwa yang kemudian bisa berarti di masa mendatang, membagi kisah tentang peristiwa hari ini, entah kisah kuliah, kisah sekolah, kenakalan di masa muda. Semua bisa menjadi cerita yang mesti terekam. Apa lagi kisah besar suatu kelompok atau pun bangsa.
Namun di balik semua kisah itu, ada yang mesti diapresiasi. Adalah ia yang berjasa merekam kisah itu entah foto, tulisan atau pun semua yang bisa kita lihat sekarang dan kita pelajari. Yah, merekalah para pahlawan yang mesti kita terus ingat jasa-jasanya. Berikan penghormatan, terima kasih, dan doa untuk ketentramannya.
Akhir tahun 2018, dalam agenda Bike to Majene. Perjalanan bersepeda sendiri dengan rute Makassaar-Majene. Sekitar pukul setengah satu siang lewat enam menit, aku tiba di Monumen Colliq Pujie. Letaknya tepat di sudut kiri Taman Kota Colliq Pujie samping pertigaan jalan. Tepatnya berada di titik 101 kilometer menuju Makassar, berjarak 49 kilometer dari pangkep, atau pada titik 1 kilometer Barru (menurut beton penanda jalan berwarna kuning merah).
Monumen Colliq Pujie disahkan pada hari Jumat, 20 Februari 2015 oleh Gubernur Sulawesi Selatan saat itu, Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, S.H., M.Si., M.H. Pada monumen terlihat patung sosok perempuan berdarah Bugis-Melayu bernama Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa (1812-1876). Monumen ini terbuat dari perunggu. Tujuan pendiriannya sebagai bentuk penghormatan atas jasa beliau dari pemerintah Kabupaten Barru.
Colliq Pujie adalah sosok intelektual dan pahlawan budaya literasi Sulawesi Selatan. Berkat jasa beliau bersama Matthes menyalin 12 jilid naskah La Galigo. Naskah ini merupakan karya sastra terpanjang di dunia yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Berdasarkan surat keputusan presiden Republik Indonesia tahun 2013, Colliq Pujie menerima piagam tanda kehormatan “Bintang Budaya Parama Dharma”. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1980 Pasal 1 ayat (3) menjelaskan bahwa Bintang Budaya Parama Dharma adalah tanda kehormatan yang tertinggi dalam bidang kebudayaan, yang setingkat dengan Bintang Jasa Kelas Utama.
Dalam lembaran negara tersebut, dijelaskan bahwa penghargaan itu diberikan karena suatu kewajiban moral bagi suatu bangsa. Hal ini untuk menghargai warga negaranya yang telah menunjukkan hasil karya yang melebihi penunaian tuntutan kewajibannya dalam bidang kebudayaan.
Parama berarti utama dan Dharma berarti kewajiban. Sehingga Bintang Budaya Parama Dharma yang dimaksud adalah bintang bagi mereka yang telah menyumbangkan nilai-nilai luhur sebagai darma baktinya dalam bidang kebudayaan.
Aku beristirahat sejenak di monumen ini. Melihat-lihat sekitar monumen. Merekam aktivitas yang ada di sekitar dan mencatat informasi seputar monumen. Saat tiba, aku meminta tolong kepada anak sekolah dasar yang kebetulan lewat untuk memotret diriku.
Aku periksa gawai. Harapannya akan ada informasi dari Kak Rizka yang sebelumnya aku kontak di perbatasan. Kak Rizka adalah teman di UKM KPI Unhas. Saat ini beliau sedang kuliah di Bogor. Kebetulan saat ini beliau ada di Barru dan aku berencana untuk singgah di rumahnya hari ini. Namun, belum ada respon darinya. Akhirnya kumatikan kembali data seluler, guna menghemat daya baterai juga.
Usai mengecek pesan masuk, aku periksa galeri foto ponselku untuk melihat gambar diriku yang telah difoto oleh anak-anak sekolah dasar tadi. Karena merasa belum puas dengan hasil gambarnya, aku atur timer gawai kembali, lalu kupasang sedemikian rupa. Ada sekitar sepuluh gambar kuambil hingga akhirnya ada satu gambar yang menurutku cukup bagus.
Gambar tersebut berlatar Monumen Colliq Pujie. Aku duduk di depan tepat samping penanda jalan. Barang bawaan kusandarkan pada penanda jalan. Kemudian sepeda terparkir rapi tepat di samping kiriku. Bagiku ini gambarnya sudah memiliki komposisi yang cukup pas.
Sebelum beranjak pergi, terlihat dari arah seberang jalan rombongan remaja perempuan mengenakan baju sekolah beralmamater hitam melintas menuju arah monumen. Tiba di monumen, satu per satu dari mereka tampak melakukan swafoto dan saling potret. Latarnya tentunya patung Colliq Pujie. Memang sih, monumen ini cukup instagramable, jadi wajiblah bagi para pelancong singgah dan mengabadikan momen ketika ke Barru.
Meski langit terlihat berawan, namun terik matahari tetap terasa panas. Akumulasi capek karena mengayuh sepeda dan suasana yang memang panas mengalirkan keringat dengan cepat. Akhirnya aku putuskan untuk istirahat lebih nyaman di tempat yang cukup rindang. Tidak lama kemudian, kugendong kembali ransel dan tas sampingku. Kumulai mengayuh kembali sepeda untuk mencari tempat teduh yang lebih nyaman.
Aku akhirnya tiba di Tugu Payung Mas. Sektiar satu kilometer lebih dari Monumen Colliq Pujie. Tugu ini berdiri tegak di perempatan jalan. Dinamai tugu payung mas, karena bentuk payung yang berwarna emas. Ada empat patung payung yang terlihat pada tugu ini. Di bawah payung ada lambang Kabupaten Barru.
Aku duduk di trotoar jalan di bawah lampu merah. Kuparkir sepeda di atas bahu trotoar, kulepas ransel dan tas samping, selanjutnya kusandarkan pada sepeda. Kuambil posisi sebaik mungkin menghadap jalan, lalu duduk sembari bersandar pada ransel. Hari itu aku merasa benar-benar nyaman, keluarkan buku catatan dan pulpen dari dalam tas. Kucatat waktu tiba dan beberapa hal penting selama perjalan hari itu. Lagi-lagi tujuannya sederhana untuk menjaga ingatan.
Selesai membuat catatan kecil, kumasukkan kembali buku catatan ke dalam tas. Selanjutnya kukeluarkan gawai. Kuambil gambar sepeda berlatar Tugu Payung Mas. Sementara lalu lintas kendaraan ramai lewat. Terutama ketika tanda lampu merah menyala. Beberapa pasang mata sempat kulihat tertuju padaku. Tapi aku hanya terus lemparkan senyum. sebab aku yakin senyum adalah modal paling hemat untuk membangun interaksi.
Usai mengambil gambar, aku mengunggah foto di Monumen Colliq Pujie ke sosial media. Beberapa komentar di media sosial pun bersahutan. Ada yang memberi semangat, doa, dan apresiasi. Tapi ada sedikit yang cukup menarik perhatianku. Yakni ketika Pak Kasman, guru SMA ku memberi komentar.
“Mantap… mana anggotanya yang lain? Enaknya kalau rombongan, jadi ingat waktu SMA jalan kaki berlibur ke Barru bersama teman sekolah….”
Seketika dalam pikiranku terlintas rasa syukur. Setidaknya perjalanan ini memberi manfaat. Memantik ingatan akan kenangan masa lalu. Ya, semoga perjalanan yang kujalani ini menjadi sejarah yang bermanfaat. Menjadi pemantik ingatan akan usaha yang mesti dilakukan. Semoga saja hasil perjalanan ini bisa terus untuk menjaga ingatan.
Abdul Masli
Mahasiswa Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik