Selain Oktober 2018 lalu, ternyata Unhas juga pernah mengadakan program sit in sebelumnya. Kapan dan hal apa saat itu sehingga Unhas terdorong melakukan program tersebut? Simak kisahnya berikut ini.
Tak terasa sudah setahun lebih Tsunami dan Gempa Bumi melanda kota Palu, Donggala dan Sigi. Kisah itu bermula ketika fenomena likuefaksi tanah melanda ketiga kota tersebut pada 28 September 2018 lalu. Akibatnya berbagai infrastruktur menjadi rusak, termasuk fasilitas pendidikan di Universitas Tadulako (Untad), sehingga kegiatan akademik menjadi mandek. Bahkan sekitar 2.100 jiwa meninggal dan lebih dari 270.000 orang mengungsi.
Melihat fenomena itu, Universitas Hasanuddin (Unhas) sebagai humaniversity tak tinggal diam. Dalam berita online identitas berjudul “Unhas Buka Pendataan Awal Bagi Mahasiswa Universitas Tadulako”, Rektor Unhas yang juga merupakan Ketua Forum Rektor Indonesia kala itu, Prof Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu MA, merespon dengan mengusulkan membentuk program kuliah sementara (sit in) di kampus yang ada di Indonesia, termasuk Unhas.
Program sit in di Unhas kala itu direncanakan berlangsung selama satu hingga tiga semester. Adapun syarat untuk mengikuti program sit in, yakni tercatat sebagai mahasiswa aktif pada Tahun Akademik 2018/2019 di Untad. Direktur Komunikasi Unhas, Suharman Hamzah mengatakan, dalam pendaftaran dan pendataan awal mahasiswa sit in tersebut dilakukan pihak dosen. Namun prosesnya berjalan kurang efektif, sehingga pihak sekretariat menerjunkan mahasiswa sukarelawan Unhas untuk mendata sekaligus berdialog dengan calon mahasiswa sit in.
“Student volunteer inilah yang berbicara dari hati ke hati kepada mahasiswa dari Tadulako. Jadi mereka tidak diterima oleh saya atau dosen lain, tetapi diterima oleh sesama mahasiswa. Sehingga, jalur komunikasinya lebih gampang. Mereka terbuka, sehingga kami juga bisa memetakan kebutuhan-kebutuhan yang dipermasalahkan oleh adik-adik mahasiswa sit in,” tukas Suharman, Jumat (19/10/2018).
Tapi tahukah Anda, Unhas juga pernah mengadakan program sit in pada masa Prof Dr Ir
Radi Andi Gany. Tak jauh beda dengan bencana yang terjadi di Palu, gelombang yang disertai gempa berkekuatan 9,6 skala ritcher, meluluhlantakkan berbagai infrstruktur yang ada di Kota Serambi Mekah. Termasuk fasilitas pendidikan yang ada di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).
Dilansir dari bundel identitas edisi awal Januari 2005, mahasiswa Aceh yang terkena dampak Tsunami melanjutkan kuliahnya di Unhas. Saat itu Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) bekerjasama dengan Unhas, berhasil membawa 13 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unsyiah ke Makassar.
“Kondisinya sangat memprihatinkan apalagi melihat fasilitas kampus yang telah hancur semua,” kenang Fitria yang dikutip dalam terbitan awal identias tahun 2005.
Selain infrastruktur kampus yang rusak, Rumah Sakit (RS) Zainal Abidin yang menjadi tempat praktek co-asisstent (coast) mereka juga tidak lagi memadai. Itulah yang menjadi alasan utama mereka datang ke kota Daeng. Di bundel yang sama dituliskan, kondisi Risa dan Andria yang merupakan mahasiswa Unsyiah memicu inisiatif Prof Dr dr Idrus A Paturusi Sp BO, bersama tim relawannya memboyong kedua mahasiswa ini bersama teman senasibnya ke Makassar.
Kala itu, Prof Idrus, sapaan akrabnya, yang masih menjabat sebagai Koordinator Nasional untuk Kesehatan Bencana Tsunami (KBT) tidak rela melihat para dokter muda tersebut luntang lantung pada penghujung studi mereka. Sadar niatnya harus didukung banyak pihak, Dekan FK Unhas ini juga mengajak Pemprov Sulsel untuk bekerjasama dengan Unhas mewujudkan niat baik tersebut.
Gayung bersambut, niat baik itu akhirnya mendapat respon positif dari Syahrul Yasin Limpo selaku Wakil Gubernur (Wagub) Sulsel dan Prof Dr Ir Rady A Gany sebagai Rektor Unhas. Dengan segera action plan berjalan. Tak tanggung-tanggung, Syahrul, sapaannya juga langsung turun tangan mendampingi rombongan mahasiswa ini.
Para mahasiswa ini berhasil menginjakkan kakinya di Kota Daeng pada Sabtu (8/1/2005). Para mahasiswa yang masih didera trauma pasca bencana nasional itu langsung diistirahatkan di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa), tepat di depan RS Wahidin Sudirohusodo. Beberapa kamar di Gedung Bougenville Rusunawa menjadi tempat baru mereka.
“Saya sudah tak sabar lagi ingin cepat menyelesaikan tugas akhir ini,” ungkap Andria, salah seorang peserta sit in.
Dalam keseharian mereka, FK Unhas langsung menangani akademik mahasiswa pindahan ini dan memberi keleluasaan praktek di beberapa rumah sakit mitra Unhas.
“Jadi, bukan hanya RS Wahidin Sudirohusodo saja yang menjadi tempat praktek mereka,” ujar dr Wardihan Sindrang MSc, seperti yang dikutip dari bundel identitas awal Januari 2005.
Lebih lanjut, Pembantu Dekan III FK ini menjelaskan, pihak fakultas lebih banyak mengurusi kelengkapan berkas yang menyangkut akademik mereka hingga studi kliniknya selesai dan gelar dokter diraih.
“Bisa sampai enam bulan hingga dua tahun,” ungkap Wardihan yang juga menggambarkan lamanya mereka tinggal di Makassar.
Usman Salam