Saya yakin, semua orang pasti pernah merasa bahagia sesuai dengan versinya masing-masing. Untuk merasa bahagia, kita cukup menemukan sumbernya.
Menurut riset Harvard Study of Adult Development yang dilakukan selama 75 tahun, faktor terpenting dalam kebahagiaan sejati adalah bagaimana hubungan kita dengan keluarga, pasangan, dan teman.
Mari membaca sepenggal kisah berikut:
Siang itu sepulang sekolah, Ahmad berjalan kaki ke persimpangan di salah satu sudut kota. Matahari cukup terik, membuat seragam sekolahnya tampak basah oleh keringat. Dari kejauhan, seorang pria paruh baya terlihat sedang tertidur di atas becak lusuhnya. Dengan segera Ahmad menghampiri pria itu yang tak lain adalah Ayahnya.
“Ayaaah…!” Pekik Ahmad saat berada tepat di samping kemudi becak. Sontak pria yang tengah terlelap tadi bangun dan menoleh ke arah sumber suara. “Sudah pulang nak?,” tanya sang Ayah. Ahmad hanya membalasanya dengan anggukan.
Mereka kemudian pulang, di tengah perjalanan Ahmad tiba-tiba bertanya: “Apa Ayah bahagia menjalani kehidupan seperti sekarang ini?”
Mendengar pertanyaan itu, sang Ayah hanya tersenyum tanpa menjawab dengan sepatah kata pun, bahkan ia tetap sibuk mengayuh becak. Ahmad bingung pertanyaannya tidak dijawab bahkan hingga mereka berdua sampai di rumah. Sang Ayah mendorong becak ke halaman rumah dan bergegas masuk beristirahat.
Saat waktu salat Magrib tiba, ia memanggil putra kesayangannya itu. Ia hendak mengajaknya salat berjamaah. Usai salat, Ahmad dan Ayahnya tak beranjak dari sejadah. Ayahnya terlihat menatap dinding rumah, lalu perlahan membuka perbincangan. Ia mencoba menjawab pertanyaan anaknya tadi siang.
“Nak, apakah kamu bahagia dengan kehidupan kita sekarang?”
Ahmad merasa aneh, pertanyaannya tadi justru dikembalikan kepadanya. Ia memang sering kali merasa iri dengan kehidupan teman sebayanya di sekolah yang dirasanya jauh lebih baik darinya. Teman-temannya dapat membeli mainan mahal, pakaiaan bagus dan makanan enak di kantin sekolah. Tapi disisi lain, ia tetap merasa beruntung dan bersyukur dengan kehidupannya sekarang. Meskipun Ayahnya hanya tukang becak, dirinya masih beruntung dapat makan dengan layak, hidup di tempat yang aman dengan kasih sayang kedua orang tuanya dan masih berkesempatan melanjutkan pendidikan.
Suara serak sang Ayah kemudian menyadarkan Ahmad dari lamunannya. “Nak, Ayah merasa bahagia menjalani kehidupan seperti sekarang ini, memang kelihatan sederhana, tapi Ayah sangat bahagia,” ucapnya tulus sambil mendekat lalu membelai kepala sang anak.
Setelah terdiam sejenak, Ayahnya kemudian kembali menyambung perkataannya.
“Ayah sangat bahagia meskipun hanya menjadi seorang tukang becak. Ayah sangat senang meskipun tinggal di rumah yang sempit. Ayah senang dapat menyaksikan kamu tumbuh menjadi anak yang pintar dan soleh. Ayah senang meskipun harus makan sepiring bertiga bersama kamu dan Ibu mu,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Suaranya kembali keluar.
“Kebahagiaan itu berasal dari sini nak,” ucapnya seraya mengarahkan telapak tangannya ke arah dada sang anak. “Kebahagiaan itu tidak dapat diukur dari materi, karena bahagia itu berasal dari hati yang lapang dan senantiasa bersyukur”.
Mendengar semua penjelasan itu, Ahmad mendongak menatap sang Ayah, dilihatnya air mata meluncur ke pipi. Ia bangkit dari duduknya lalu memeluk sang Ayah dengan sangat erat, lalu perlahan berkata “Maafkan Ahmad, jika selama ini Ahmad kurang bersyukur, Ayah,” ucapnya lirih.
Kisah singkat di atas, setidaknya dapat menjadi cerminan jikalau kita memilki kebahagiaan hidup masing-masing dan kita tidak perlu mengkopi diri kita menjadi orang lain untuk dapat bahagia. Kebahagiaan sebenarnya bersifat luas. Kita tidak harus hidup di rumah mewah untuk merasa bahagia. Tinggal di rumah sempit seperti keluarga Ahmad pun sudah cukup bahagia luar biasa. Materi bukan satu-satunya tiket untuk mendapatkan kebahagiaan.
Banyak orang dari luar kelihatan sangat bahagia dengan hidupnya karena sepintas kita melihat pada kekayaan dan jabatan yang mereka miliki. Kita tidak pernah tahu apakah mereka benar-benar merasa bahagia. Bahkan kita keseringan mengecap orang yang hidupnya melarat sebagai orang yang tidak bahagia. Padahal merekalah justru yang paling banyak merasakan kebahagiaan, mereka menyadari letak kebahagiaan ada pada rasa syukur. Seperti kisah Ahmad tadi yang memperlihatkan bahwa kebahagiaan bersarang di dada manusia.
Shawn Anchor, peneliti kebahagiaan dan penulis “The Hapines Advantege” mengatakan, praktik bersyukur dapat meningkatkan energi dan kualitas tidur seseorang. Bahkan bersyukur juga dapat mengurangi depresi dan dapat meningkatkan optimisme dalam hubungan sosial. Shawn Anchor juga mengatakan, mengucapkan terima kasih ke orang lain sekali saja dalam sehari, dapat melatih otak menjadi lebih optimis dan positif.
Bahkan dalam ajaran agama Islam, kita dianjurkan memelihara hubungan dengan Sang Pencipta (Hablumminallah), dan menjaga hubungan dengan sesama manusia (Habluminannas). Hubungan dengan Sang Pencipta meliputi menjalankan segala ibadah dan perintah yang menjadi kewajiban setiap makhluk, sedangkan Hablumminannas adalah kaitannya dengan sesama makhluk, termasuk menjaga hubungan baik.
Kebahagiaan tidak harus bergantung pada materi dan kondisi sosial. Setiap orang berhak bahagia karena kebahagiaan ada di tangan masing-masing dan saya menciptakan kebahagiaan dengan mensyukuri apa yang telah saya miliki.
Urwatul Wutsqaa merupakan
Koordinator Liputan PK identitas Unhas 2020
Mahasiswa Jurusan Sastra Asia Barat,
Fakultas Ilmu Budaya, Angkatan 2016.