Perilaku sosial para manusia yang sering dibilang tak terjelaskan nampaknya kini memilki jawaban. Seorang antropolog, Marvin Harris menelaah berbagai pertanyaan yang bersemayam di otak manusia dalam bukunya berjudul “Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir”.
Buku tersebut menjawab sebab-musabab dari gaya hidup yang seolah tidak rasional. Mengapa pemeluk Hindu di India mengagungkan sapi? Mengapa Yahudi dan Muslim mengharamkan babi, dan sebaliknya orang Maring di New Guinea seakan tidak bisa hidup tanpa babi? Mengapa beberapa kepala suku Indian Amerika Utara membakar harta bendanya sendiri untuk menyombongkan kekayaannya? Mengapa begitu banyak orang di Abad Pertengahan percaya penyihir? Dan mengapa sihir hadir kembali secara mencolok dalam kebudayaan popular kita sekarang?
Marvin, pria berkebangsaan Amerika dan penganut paham “materialisme kultural” tersebut menegaskan dalam bukunya bahwa seaneh apapun polah manusia, tentu memiliki penjelasan yang bersumber dari kondisi ekonomis dan ekologis konkret. Diterjemahkan oleh Ninus S. Andarnuswari, buku ini memulai penjelasan teka-teki tersebut secara bertahap.
Materi yang akan dijabarkan bermula dari alasan kecintaan orang Hindu akan sapi betina sebagai lambang dari segala yang hidup. Seperti halnya Maria bagi umat kristiani adalah bunda tuhan, sapi bagi orang Hindu adalah bunda kehidupan. Jadi tidak ada penistaan yang lebih besar bagi seorang Hindu selain membunuh seekor sapi. Bahkan, mencabut nyawa manusia pun tidak menjadi penghujatan tak terkatakan, mengingat ia tidak mengandung makna simbolis atas penyembelihan sapi.
Namun, di sisi lain, kegiatan pemujaan hewan tersebut berbuah tidak manis, terlebih para orang Hindu yang tinggal di India. Betapa tidak, banyak pakar mengatakan bahwa pemujaan sapi betina adalah penyebab kemiskinan dan kelaparan di India. Pemujaan sapi menurunkan efisiensi pertanian karena hewan tersebut tidak menyumbangkan susu maupun daging, padahal ikut berebut lahan dan pangan dengan hewan lainnya.
Selanjutnya Marvin menjelaskan teka-teki babi yang dibenci sekaligus dicintai oleh dua kelompok manusia berbeda. Para pakar yang mengamini kutukan alkitab dan alquran atas babi menawarkan sejumlah penjelasan. Hal itu didasari sebuah fakta bahwa babi adalah hewan yang sungguh kotor lebih kotor daripada yang lain karena berkubang dalam air kencingnya sendiri dan makan tinja. Pada pertengahan abad ke-19 juga ditemukan bahwa penyakit cacing pita timbul akibat mengonsumsi daging babi yang kurang matang.
Di sisi lain, buku ini pun menjelaskan mengapa beberapa kalangan justru sebaliknya. Berbagai kuliner berbahan dasar babi, termasuk Eropa-Amerika dan Cina, sengaja disuguhkan untuk menegaskan kebersamaan total antara manusia dan babi. Mencintai babi yang dimaksud adalah membesarkannya dengan cara tidur bersama, mengajak babi berbincang, mengelusnya, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, buku yang ditulis Harris dengan melakukan penelitian dan menelisik berbagai sumber tersebut menjelaskan tentang perang yang dilakukan oleh suku primitif. Penjelasan mutakhir mengenai perang primitif didominasi oleh motif-motif irasional dan sukar dimengerti. Hal itu dikarenakanperang yang memiliki konsekuensi mematikan bagi para pelakunya.
Buku ini juga menggiring pembaca untuk lebih memahami berbagai gaya hidup yang membingungkan. Dipamerkan di museum etnografi dunia, sebagian gaya hidup tersebut mengandung jejak keinginan aneh yang dikenal sebagai “dorongan akan prestise”. Sebagian orang tampak mendambakan pengakuan, sebagaimana orang lain mendambakan seonggok daging. Yang membingungkan bukanlah perihal orang yang haus pengakuan, melainkan bahwa terkadang keinginan yang begitu kuat tersebut menimbulkan persaingan demi sebuah prestise. Salah satunya ialah potlatch, suatu kondisi di mana seseorang dengan sengaja membagi-bagikan hartanya agar dia mampu mempermalukan para pesaingnya. Dalam buku ini tertulis bahwa dengan cara seperti itulah ia mampu menggaet kekaguman tiada habisnya dari para pengikut.
Buku ini tepat bagi sebagian orang yang resah dengan berbagai pertanyaan yang terdengar tidak rasional. Marvin mencakup jawaban yang ringan dan mampu dipahami. Nyatanya, seaneh apapun hal tersebut, tentu disertai penjelasan yang bersumber dari kondisi-kondisi ekonomis dan ekologis konkret.
Nadhira Sidiki