Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tunanetra berasal dari dua kata yaitu ‘tuna’ yang artinya rusak atau cacat dan kata ‘netra’ yang artinya adalah mata atau penglihatan, jadi tunanetra adalah rusak penglihatan. Tunanetra dapat jadi gambaran kondisi dunia saat ini dimana hampir seluruh negara seolah bungkam dan menutup mata akan beberapa peristiwa yang terjadi di daerah konflik.
Seperti persoalan Muslim Uyghur yang sempat memanas sejak Desember 2019 hingga Januari 2020. Seluruh umat Muslim yang ada di Tiongkok diperlakukan secara tidak manusiawi oleh pemerintah disana. Informasi yang diterima dari beberapa penduduk muslim yang berhasil kabur dari siksaan pemerintah Tirai Bambu itu, menyatakan penduduk Xianjing ditempatkan dalam suatu kamp penahanan. Di kamp itu, kaum Uyghur mendapatkan perlakuan dan siksaan yang tidak manusiawi selama berhari-hari.
Tujuan mereka ditempatkan di kamp tidak lain untuk mencuci otak hingga mereka mau menentang agamanya sendiri. Salah satu Perempuan Uyghur membenarkan hal tersebut, mereka ditempatkan dalam suatu ruangan khusus yang hanya terdapat satu jalan keluar dan terdapat sebuah monitor dibagian depan serta kamera pada bagian belakang yang akan terus mengawasi gerak-gerik mereka.
Ruangan tersebut dapat menampung puluhan orang, di dalam kamp mereka dipaksa duduk menghadap arah monitor selama 24 jam dan tidak diperbolehkan melakukan aktivitas lain selain makan dan buang hajat. Bahkan untuk menoleh sedikitpun sangat tidak diperbolehkan, karena mereka akan dikira melakukan gerakan salat, apabila ada yang melanggar maka orang tersebut akan disiksa dengan cara yang tidak manusiawi.
Makan dan buang hajat dilakukan ditempat yang sama sehingga pada saat buang hajat akan menjadi tontonan yang sangat memalukan. Bayangkan saja bagaimana rasanya bila dalam suatu ruangan digunakan untuk makan sekaligus buang hajat, maka aroma yang terdapat dalam ruangan tersebut akan menjadi tidak karuan. Akan ada satu waktu pakaian mereka akan diganti kemudian proses pencucian otak akan berlangsung kembali.
Jika dilihat dengan seksama anak-anak dan perempuan-lah yang paling merasakan dampaknya. Anak-anak dimasukkan ke dalam pusat pendidikan yang dibawahi oleh pemerintah Tiongkok. Di pusat pendidikan tersebut, anak-anak akan dicuci otaknya hingga mereka membenci dan mau melawan agama mereka sendiri. Sedangkan perempuan, mereka dipaksa untuk menikahi orang laki-laki Tiongkok. Maksud dari pernikahan untuk memutuskan dan memusnahkan keturunan Muslim Uyghur secara permanen. Pemerintah Tiongkok sangat memaksakan hal tersebut agar tujuan mereka dapat tercapai.
Namun dengan beredarnya tindakan keji pemerintah Tiongkok ini, masih ada beberapa pihak yang masih tidak membenarkan hal tersebut, contohnya Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian. Xiao Qian berdalih hal tersebut dilakukan murni untuk memerangi aksi radikalisme dan terorisme, bukan untuk menghapuskan keturunan Uyghur. Lebih lanjut Duta Besar tersebut menyampaikan memang ada segelintir orang yang berusaha dan berkeinginan untuk memisahkan Xinjiang dari Tiongkok dan mendirikan satu Negara merdeka bernama Turkistam Timur.
Tindakan tersebut tidak dapat diterima oleh pemerintah dan masyarakat Tiongkok sekaligus menyayangkan akan publikasi dokumen internal mereka yang dilakukan media AS, New York Times, beberapa waktu lalu. Dokumen itu diartikan oleh media tersebut sebagai sebuah upaya penganiayaan pada kaum Uyghur.
Beredarnya persoalan Uygur ini, masyarakat dunia seharusnya sudah mulai mengambil tindakan untuk mengatasi kejadian itu. Namun para memimpin negara seolah-olah menjadi “tunanetra” akan hal tersebut. Mereka masih belum menyuarakan akan hal ini, termasuk Indonesia.
Apakah pemerintah Indonesia masih melakukan pertimbangan akan protes ke Pemerintahan Tiongkok, mengingat Tiongkok salah satu investor terbesar Indonesia yang kedua. Hal ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut lebih lama. Jika dibiarkan begitu saja, maka kasus serupa akan muncul kembali entah kapan dan dimana. Bisa saja hal tersebut juga terjadi di negara tercinta kita ini, Negara Indonesia.
Negara-negara Muslim dunia seharusnya dapat bersatu untuk memerangi hal ini, mengingat bahwa umat Muslim-lah yang paling mendominasi. Kita saling membahu membantu saudara-saudara kita yang kini mengalami kesusahan dan membutuhkan uluran tangan untuk terbebas dari tindakan keji dan tidak manusiawi.
Penulis : Anriyan
Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Unhas,
Angkatan 2017.