Musik dengan semiotikanya tersendiri sering disebut sebagai bahasa yang universal, alasanya tidak lain karena unsur-unsur pembentuk musik. Seperti irama, birama, melodi, tempo, sampai ekspresi yang membentuk sebuah lagu punya suatu daya yang mampu menggerakan “hasrat”. Kalau kita menyetel musik dangdut di acara nikahan, siapa sih yang tidak dengan sendirinya ikut bergoyang.
Universalisme musik dalam artian satu buah lagu juga tidak terlepas dari kekuatan liriknya, bait-bait berirama inilah yang sejak dahulu menjadi medium para musikus menyampaikan keresahan mereka. Misalnya Bob Dylan lewat Blowin in the Wind yang menyuarakan Hak Asasi Manusia, The clash yang bosan dengan imperialisme Amerika dan Ingris pada dekade 1970an, menyoroti itu dalam salah satu lagunya yang berjudul I’m so bored with teh U.S.A, serta John Lennon yang mendoakan dunia supaya damai dan sentosa lewat Imagine.
Di dalam negeri, musikus Iwan Fals yang pernah konser di Universitas Hasanuddin (Unhas) sebulan setelah orde baru tumbang, tepatnya awal Juni 1998, dikenal sangat vokal menyuarakan perjuangan kelas saat itu, bersama Bandnya Swami dan album mereka Swami 1 dengan mega hits macam Bento dan Badut adalah balada kritik mereka terhadap pemerintahan orde baru saat itu, tidak ketinggalan Raja dangdut Rhoma Irama pun menyuarakan respek terhadap Hak Asasi manusia lewat lantunan Hak Asasi.
Di skena pergerakan mahasiswa, lagu-lagu yang sering menemani menyusuri jalan-jalan raya tidak lain lagu-lagu maknawi dan pembakar, macam Darah Juang ciptaan John Tobing, Totalitas Perjuangan, dan Buruh Tani. Tiga lagu ini pasti sangat akrab di telinga mahasiswa, utamanya mahasiswa Unhas.
Dekade ini, muncul musikus-musikus utamanya dalam skena Independen yang juga menyuarakan lirik-lirik pergerakan sosial, macam Feast, Jason Ranti, Sisir tanah, dan banyak lagi. Di samping eksistensi suatu musik-lagu sejatinya adalah repitisi yang akan terus berlanjut, pastinya membuat karya-karya Iwan Fals, Lennon, akan selalu abadi dan menjadi alternatif lagu pemantik turun ke jalan, selain Dara Juang dan kawan-kawan.
Membahas musik sebagai medium pergerakan sosial, reporter identitas, Muh Syahrir, mewawancarai Soleh Solihun yang hadir di Baruga A Petarani Unhas, Senin (10/2) seusai tampil sebagai moderator dalam acara Be The Future Starter with Axis Edu Pack, berikut kutipan wawancaranya.
Bagaimana anda melihat musik sebagai salah satu medium pergerakan?
Sejak dulu musik memang sudah dijadikan medium pergerakan, dari mulai John Lennon yang menyanyikan lirik-lirik pergerakan, Bob Dylan dengan protes-protesnya jadi memang musik dipercaya jadi salah satu ajang untuk menyuarakan aspirasi orang.
Mengenai lirik tentang kritik sosial, apa sih yang membedakan musisi jaman dulu dengan jaman sekarang?
Intinya dari zaman tahun 60-an sampai sekarang 2000-an, musisi-musisi yang menyampaikan kritik sosial sebetulnya sama saja. Mereka berupaya melawan ketidakberesan, ketidakberesannya itulah yang berbeda – beda. Kalau seperti Iwan Fals sih sudah segala macam disuarakan, intinya dari jaman dulu kalau kita lihat musisi-musisi yang menyuarakan kritik-kritik, intinya mereka resah dengan ketidakberesan yang mereka hadapi, terus disampaikan lewat lagu. Dari dulu hingga sekarang esensinya sama saja, hanya bahasanya saja yang agak berbeda, Pada intinya musisi itu mengungkapkan keresehannya.
Sebenarnya genre apa yang paling pas untuk membawa pesan pergerakan di dalam liriknya?
Untuk menyampaikan sebuah kritik sosial sebenarnya tidak terbatas genre lagunya. Dari musik metal sampai musik balada juga ada kalau mau menyampaikan kritik sosial. Hanya saja, untuk lagu-lagu yang vokalnya lebih mudah didengar dan lebih mudah menyampaikannya, seperti Jason Ranti, Iwan Fals, yang ketika orang mendengar lagunya, langsung tahu liriknya tentang apa tentu akan lebih cocok membawa pesan pergerakan. Pada dasarnya, musik-musik yang vokalnya lebih mudah didengar itu lebih gampang dicerna. Beda halnya dengan seringai, mungkin orang harus baca lebih dulu liriknya atau dengar dulu baik-baik, baru mereka bisa paham ternyata ngomongin ketidaksukaannya terhadap kondisi social. Tapi sebetulnya itu tidak salah, setiap musisi punya eksprsi ekspresi masing-masing dalam menyampaikan pesannya.
Kalau di zaman anda, lagu-lagu apa yang menemani mahasiswa turun ke jalan, selain darah juang dan kawan-kawannya?
Dari dulu juga iwan fals. Dari tahun 80an sampai sekarang pun lagu-lagunya masih relevan. Lagu Iwan fals, dari jaman dia bikin lagu Wakil Rakyat tahun 1989, sampai sekarang masih relevan. Bahkan sampai kemarin demo-demo di Senayan, Jakarta lagu wakil rakyat masih terus menemani mahasiswa.
Menurut bagaimana esensi anda lagu-lagu tersbut dinyanyikan saat turun ke jalan?
Ketika mahasiswa turun ke Jalan untuk memperjuangkan hak orang banyak, menyampaikan kritik sosial, sebenarnya bukan soal lagu yang menemani mereka. Itu semua bebas, turun ke jalan tidak harus mendengarkan lagu. Yang terpenting adalah, mereka paham apa yang harus mereka perjuangkan, jangan hanya ikut-ikutan.
Pesan anda buat mahasiswa supaya berani berkarya?
Orang mau menulis lirik kritik yah silahkan, mau menulis lirik cinta yah silahkan yang penting jujur. Ketika kamu nyamannya di lirik cinta ya sudah menulis lirik cinta saja, kalau lebih tertarik menulis lirik tentang kritik sosial yah bikin saja Tapi jangan sampai karena sekarang lagi tren bikin lirik kritik sosial, malam ikut-ikutan. Intinya jadi musisi harus jujur, jadilah apa adanya.
Data Diri :
Nama : Soleh Solihun
TTL : Bandung ,2 Juni 1979 (40 tahun)
Agama : Islam
Pekerjaan : Aktor, pelawak tunggal, komedian, Jurnalis : (Reporter Trax Magazine 2004-2005) (Feature Editor Palyboy Indonesia 2006-2008) dan (Rolling Stone Indonesia 2008-2012)