Hari ini dunia digemparkan dengan fenomena pandemi Covid-19. Kekuatan ekonomi dan kecanggihan teknologi seakan tidak berdaya di hadapan makhluk kecil ini. Negara-negara superpower yang menjadi pusat peradaban dunia seperti Amerika Serikat dan Tiongkok turut menjadi korban. Seluruh dunia seolah-olah masih meraba strategi apa yang paling ampuh dalam melawan Covid-19. Terlebih lagi virus ini tak memandang strata sosial, pejabat hingga rakyat biasa sama-sama punya potensi untuk tertular, sehingga berhak dijuluki sebagai penyakit ‘demokratis’.
Yuval Noah Harari dalam salah satu tulisannya, mengatakan bahwa keputusan-keputusan yang diambil oleh masyarakat dan pemerintah hari ini akan membentuk dunia baru di tahun-tahun yang akan datang. Hal tersebut bukan tanpa dasar karena hampir semua aspek kehidupan tersentuh, mulai dari ekonomi, politik, budaya, keagamaan, hingga pendidikan.
Pelaksanaan proses pendidikan yang ada hari ini mengharuskan untuk bertransformasi dengan cara belajar di rumah. Hal tersebut tentu merupakan hal baru di republik ini. Maka dari itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tentunya dituntut mengambil kebijakan strategis, agar putera-puteri Ibu Pertiwi tetap memperoleh pendidikan yang layak meskipun dari rumah.
Kemendikbud sebagai penanggungjawab pelaksana telah memutuskan beberapa kebijakan melalui surat edaran, terkhusus untuk pendidikan tinggi. Adapun beberapa poin yang dibahas dalam surat edaran tersebut di antaranya melakukan upaya pencegahan Covid-19 oleh satuan pendidikan dengan sarana dan prasarana pendukung yang memadai, hingga imbauan pelaksanaan aktivitas bekerja, mengajar, dan memberi kuliah dari rumah.
Imbauan itu kemudian diperjelas dengan surat edaran Ditjen Pendidikan Tinggi, yang memuat tentang pengaturan masa belajar, praktikum, penelitian tugas akhir, dan penyelenggaraan pembelajaran yang tetap mengutamakan pencegahan penyebaran Covid-19. Selain itu, perguruan tinggi juga diimbau agar melakukan penghematan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan yang diperoleh selama belajar dari rumah, memberikan subsisdi pulsa kepada mahasiswa, dan bantuan logistik kesehatan bagi yang membutuhkan. Itu artinya perguruan tinggi dituntut untuk refocusing dan realokasi dana.
Salah satu perguruan tinggi yang harus melakukan refocusing dan realokasi dana adalah Universitas Hasanuddin. Unhas sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) dan terbesar di Indonesia timur, tentu diharapkan mampu menjalankan imbauan Ditjen Pendidikan Tinggi dengan baik. Pengelolaan keuangan Unhas hari ini tentu berbeda dengan hari-hari sebelumnya, yang mana proses belajar mengajar mahasiswa dan sistem kerja pegawai dilaksanakan dari rumah. Dalam kondisi ‘tidak normal’ tentu wajar jika mahasiswa mempertanyakan alokasi dana universitas di masa pandemi ini diperuntukkan untuk apa.
Membuka informasi mengenai kondisi keuangan kepada publik adalah kewajiban universitas sesuai dengan prinsip transparansi yang diatur dalam pasal 2 ayat 6 Peraturan Majelis Wali Amanat (MWA) Unhas, tentang Mekanisme dan Tata Cara Penyelenggaraan Akuntansi dan Laporan Keuangan Unhas. Transparansi sebagaimana pada ayat (1) merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan universitas. Terlebih lagi beberapa pejabat Kampus Merah pernah mengatakan dana kampus beberapa dialokasikan untuk pencegahan dan penanganan Covid-19. Namun, argumentasi tersebut perlu data keuangan terbuka untuk membuktikannya.
Di tengah situasi ini, Unhas ditantang membuktikan diri dengan berbagai kebijakan strategis. Realitas hari ini, pelaksanaan kuliah online yang masih semrawut, mulai dari belum optimalnya sistem e-learning, hingga jeritan mahasiswa terhadap biaya kuota dalam pembelajaran yang belum bisa sepenuhnya diwadahi.
Padahal uang kuliah tunggal (UKT) untuk semester genap 2019/2020 sudah dibayarkan oleh mahasiswa. Kondisi perekonomian yang menjepit di tengah pandemi, ditambah dengan tidak adanya kebijakan yang solutif dari kampus justru mempengaruhi efektifitas proses pendidikan. Jadi tidak salah jika hari ini mahasiswa berteriak UKT kami digunakan untuk apa.
Transparansi anggaran dari pihak rektorat tentunya akan memberikan angin segar di tengah kondisi yang serba ‘abu-abu’. Ini merupakan momentum yang tepat bagi rektor dan jajarannya dalam memenuhi salah satu kewajiban untuk dapat membuktikan diri bahwa Unhas layak dengan gelar PTN-BH.
Ataukah rektor dan jajarannya akan kembali bungkam dan tutup mulut dalam hal transparansi anggaran seperti tahun-tahun sebelumnya. Terlebih lagi keterbukan informasi keuangan universitas sudah diatur dalam PP No. 4 tahun 2014, PP No.53 tahun 2015 (Statuta), dan Peraturan MWA Unhas tahun 2016, itu artinya civitas akademika punya hak untuk mengetahui.
Hari ini, pihak rektorat ditantang dalam dua pilihan, transparan atau bungkam. Tidak transparan dapat diartikan juga ada hal-hal kotor yang disembunyikan dari permukaan. Sudah saatnya seluruh civitas akademika bersatu padu dalam menjalankan kewajiban yaitu “proyek bersama: menjaga anggaran kampus”.
Penulis : Muhammad Shidiq
Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP Unhas,
angkatan 2017.