Media sosial mulai ribut membahas kebijakan pemerintah untuk melaksanakan ‘New Normal’. Karyawan diharuskan kembali ke kantor namun tetap mematuhi protokol kesehatan. Bagi lembaga pendidikan, proses pengajaran masih berlangsung daring dan kebijakan ini tentu tidak memberikan dampak signifikan bagi proses belajar mengajar.
Di tengah tingginya angka positif corona dan belum ada tanda-tanda kurva virus ini akan melandai, kebijakan kembali bekerja di kantor seakan menjadi ajang coba-coba. Kebijakan pemerintah dibuat seperti main gambling. Jika berhasil dilanjutkan, jika gagal akan dikaji ulang meskipun dengan risiko korban yang lebih besar.
Masih teringat di awal ketika informasi virus mulai merebak. Sektor ekonomi dan lembaga pendidikan ditutup. Tidak sedikit masyarakat mengeluh dan mengalami kesulitan bekerja dari rumah. Bagi lembaga pendidikan, sistem daring ini memiliki kesulitan tersendiri. Materi yang biasanya disampaikan secara langsung dihadapan peserta didik dengan berbagai strategi pembelajaran, ketika WFH strategi ini sangat terbatas sebab kuota dan jaringan peserta didik juga terbatas. Bukan hanya pengajar, peserta didik dan orang tua juga kesulitan untuk mengikuti ritme dan proses pembelajaran daring. Bahkan di suatu wilayah yang jaringannya terbatas, proses pembelajaran sama sekali tidak ada. Andai mas Menteri Pendidikan bisa traveling lebih jauh, pasti akan tahu.
Di sisi lain, kebijakan untuk mengembalikan anak beraktivitas seperti biasa di sekolah maupun kampus, semua orang tua pasti sudah tahu risikonya. Data Kementerian Kesehatan per 30 Mei 2020 menunjukkan 1.851 anak di Indonesia terdampak virus corona. Dilansir Kompas.com angka kematian anak di Indonesia tertinggi di ASEAN. Angka ini sebaiknya menjadi pertimbangan pemerintah untuk menentukan waktu yang tepat untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah atau kampus. Jika pemerintah memutuskan waktu yang tidak tepat, bisa jadi ada orang tua memilih anaknya lebih baik tinggal kelas daripada mendapat risiko tertular virus corona.
Masih jelas diingatan seorang anak bayi berumur lima bulan tertular covid-19 dari ayahnya. Tidak jauh dari rumah tempat saya domisili, sedetik ingatan sudah tahu lokasi rumahnya. Seorang ibu pasti tahu bagaimana resahnya jika anak sakit, meskipun demam biasa pasti dunia seolah berhenti berputar. Apalagi, seorang bayi terjangkit virus corona dan berpotensi menulari orang lain. Pada akhirnya, bayi tersebut sembuh, meskipun ibunya rela menemani di ruang isolasi rumah sakit.
Kemarin, saya juga mendapat kabar seorang anak berumur lima tahun juga terdeteksi terkena virus corona, ayah ibunya juga sama. Ketika mereka positif, keluarga terdekat juga berpotensi terkena karena pernah kontak dengan salah satu di antara mereka. Yah, virus ini memang dekat tapi tidak terlihat. Terlebih, sikap arogansi orang-orang tertentu yang mengabaikan keberadaannya. Imbauan untuk tidak mengadakan perkumpulan justru diabaikan atas nama silaturahmi.
Atas nama kekuasaan, pembuat kebijakan justru lalai. Lihat saja pemberitaan yang melibatkan pejabat publik mengadakan buka puasa bersama atau mengadakan halalbihalal setelah lebaran. Jika pejabat publik tersebut postif maka, satu wilayah seharusnya dikarantina. Jika salah satu pegawai instansi pelayanan publik positif corona maka yang akan jadi korban adalah masyarakat. Apatah lagi, instansi tersebut tidak mungkin mengumumkan kepada masyarakat terkait kondisi lembaganya. Hal ini akan berpengaruh pada kepercayaan publik atas instansi tersebut. Apakah masyarakat tahu? Mungkin menerka-nerka, iya.
Masyarakat mulai ramai-ramai ke mal, karena faktor butuh dan ingin. Butuh di sini karena memang berbelanja kebutuhan sehari-hari di mal atau ‘ingin’ untuk memenuhi hasrat hiburan. Di tengah ketidakpastian penyebaran virus corona, masyarakat mulai merayakan kebebasan setelah tinggal di rumah selama dua bulan. Merayakan kebebasan ini di mal bersama keluarga dan anak-anak, sungguh bahagia. Tapi, apakah kebahagiaan itu nyata di tengah ketakutan virus corona? Mal bisa saja dibuka dengan mempertimbangkan kestabilan ekonomi dan kemaslahatan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Demikian halnya tempat ibadah juga mulai dibuka dengan melaksanakan protokol kesehatan.
Meskipun demikian, tidak ada kondisi pasti menghadapi virus ini. Hingga saat ini belum ada negara yang berhasil mengendalikan virus corona. Perancis dan Korea Selatan kembali menutup sekolah setelah kasus corona di negara tersebut kembali meningkat.
Peristiwa-peristiwa ini seharusnya menjadi pengalaman. Pertemuan yang hanya sejam dua jam bisa meningkatkan angka positif corona, apalagi dengan membuka ruang-ruang kantor atau lembaga pendidikan. Sebagai manusia individu herd imunity inilah pilihan terakhir yang diambil pemerintah.
Kebijakan pemerintah yang cenderung ‘elitis’ dan tidak dipahami oleh masyarakat justru menimbulkan kesimpangsiuran. Ditambah dengan isu-isu di media sosial yang dapat mempengaruhi pandangan masyarakat. Di sinilah kita masuk pada fase kehidupan hyperealitas menurut Baudrillard. Kita tidak dapat membedakan kehidupan realitas dan imajiner. Pandangan ada tidaknya virus ini menjadi hal imajiner. Seseorang akan mengakui adanya virus ini jika telah terjangkit. Jika tidak, seseorang akan menganggap virus ini tidak ada atau menganggap virus ini hanya konspirasi?
Penulis : a Lena,
alumni Unhas,
angkatan 2008.