Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dilakukan serentak di Indonesia pertengahan 2018, termasuk Pemilihan Gubernur (Pilgub) di Sulawesi Selatan. Simpang siur bakal calon sudah terdengar. Mereka tentunya butuh dukungan dari berbagai kalangan. Lantas, dapatkah mereka didukung oleh seorang tenaga pengajar perguruan tinggi?
Mengutip dari tempo.co, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir mengimbau kepada sivitas akademika, tidak menjadikan kampus sebagai tempat berpolitik. “Harus dijauhi dan dihindari,” katanya usai membuka Pertemuan Rektor dan Wakil Rektor LPTK Negeri se-Indonesia, di Medan beberapa waktu lalu.
Imbauan Menristek PT bercermin pada beberapa kasus sebelumnya, adanya politik praktis yang dilakukan oleh oknum pendidik. Seperti, peristiwa yang menimpa Sekretaris Jenderal Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Mataram (Unram), Lalu Onang Wahyu Pratama. Ia memanfaatkan mahasiswa untuk melancarkan aksi politik praktisnya. Onang meminta mahasiswa menyerahkan salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai data dalam memuluskan kemenangan pasangan calon kepala daerah yang didukungnya. Akibat perbuatannya, ia dijemput paksa oleh satuan pengamanan untuk menghadap ke rektor. Kemudian, diminta meminta maaf di media.
Peristiwa seperti Onang, tidak menjadi rahasia lagi di nusantara. Kampus menjadi tempat politik praktis, dan dosen sebagai pelakunya. Aroma dosen ikut mendukung pasangan calon tampaknya akan tercium tak lama lagi. Pilgub Sulsel akan berlangsung bulan Juni mendatang. Latar belakang beberapa bakal calon sebagai alumni Unhas, tentu jadi faktor potensial keterlibatan sejumlah dosen. Seperti, Nurdin Abdullah, alumni Fakultas Pertanian dan Kehutanan 1986 dan Agus Arifin, Sosial Ekonomi Pertanian dan Ekonomi Sumber Daya Agribisnis 1988.
“Tentu saya dukung Prof NA (Nurdin Abdullah), karena saya satu almamater. Mendukung bukan berarti saya jadi tim sukses,” ujar salah seorang dosen yang enggan disebut namanya.
Sejumlah dosen di Fakultas Hukum Unhas juga ditengarai dekat dengan Ichsan Yasin Limpo (IYL). IYL kini mengambil program doktoral-nya di Fakultas Hukum. Bahkan beberapa dosen ikut dalam rombongan IYL saat ke Belanda beberapa waktu lalu.Kendati kepergian mereka dinilai tak identik sebagai tim sukses.
“Kalo kepergian mereka itu sebagai dosen pembimbing. Meskipun secara psikologis pasti terbangun kedekatan,” ujar dosen itu.
Larangan dosen mendukung pasangan calon kepala daerah bukan hanya datang dari Kemenristek Dikti. Hal ini juga diatur dalam peraturan pemerintah nomor 53 tahun 2010 tentang disipilin Pegawai Negeri Sipil (PNS). PNS, termasuk dosen dilarang memberikan keberpihakan terhadap pasangan calon kepala daerah. Jika melanggar, pihak berwenang akan memberikan sanksi ringan berupa teguran hingga pemecatan.
Keterlibatan dosen dalam politik praktis mendapat tanggapan dari dosen Ilmu Politik Fisip Unhas, Endang Sari. Ia berpandangan, dosen sebagai salah satu warga negara memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Hak itu bersifat privasi dari dosen,dan tidak boleh mengganggu netralitas institusi.
“Kampus, tidak boleh dijadikan ruang melakukan mobilisasi dan kampanye untuk memenangkan kandidat tertentu,” katanya.
Sementara itu, aktivis Anti Corruption Committee (ACC) Sulsel, Wiwin Suwandi meminta adanya sanksi sebagai efek jera dosen yang melakukan politik praktis. Menurutnya, dosen harus patuh pada undang-undang Aparatur Sipil Negara. “PNS semata mengabdi pada negara, dia tidak boleh mengabdi pada kepentingan politik,” tuturnya.
Dosen yang berpolitik praktis tentunya tanpa alasan. Bak mutualisme, calon butuh dukungan, sedangkan tenaga pendidik kemungkinan mengharapkan iming-iming dari calon yang didukungnya. Entah itu jabatan di pemerintahan atau ilmunya akan dipakai ketika calonnya berhasil menjadi kepala daerah.
Sri Hadriana