Di bandara Bali, saya berputar-putar mencari terminal penerbangan maskapai Citilink yang berangkat ke Perth, Australia Barat pada pukul sepuluh malam. Berulang kali bertanya pada petugas malam itu, meski saya mengenakan kacamata sulit melihat dengan jelas. Setelah nyaris setengah jam mencari, akhirnya menemukan counter check in Citilink di lantai bawah terminal Internasional—ternyata bandara ini sudah renovasi dan jauh berubah sejak saya ke Bali 2017 silam.
Sekitar dua puluh menit mengantri, pegawai imigrasi, memanggil saya, dan bertanya tentang tujuan saya ke negeri kanguru, mengecek paspor. Kemudian bertanya, di Makassar tinggal di mana?, saya menjawab BTP, ternyata dia orang Makassar juga, percakapan kami lalu berubah dalam aksen Makassar, proses wawancara harusnya formal menjadi serupa percakapan antara kawan sesama perantau.
Penerbangan selama tiga jam 46 menit ke Perth, Di pintu keluar bandara, saya meneriakkan nama Tasia. Alberta Anastasia adalah nama panjangnya, merupakan penulis asal Surabaya yang sedang studi PhD di Edith Cowan University.
Di trotoar jalan—depan bandara, Tasia memesan taksi daring dalam udara dini hari Perth yang dingin dan menggigil. Kami menuju kawasan Wembley—rumah Caroline Wood, Direktur Centre for Stories.
Centre for Stories, Menyuarakan yang Tak Terlihat.
Pada jam dua belas siang, Caroline Wood mengajak saya ke Centre For Stories, adalah organisasi yang membiayai saya selama residensi di kota Perth, dan merupakan organisasi seni sastra dan budaya yang dinamis serta inklusif. Didirikan pada 2015 oleh John Wood dan Caroline Wood. Caroline percaya ‘cerita’ yang beragam adalah cara kita terhubung satu sama lain, melintasi laut, negara dan latar belakang. Di sini mereka mengolah cerita yang menginspirasi pemikiran orang-orang, mendorong rasa empati, dan menentang intoleransi. Fokus mereka memberdayakan orang-orang yang pengalaman dan perspektifnya sering terpinggirkan dan tidak terlihat, seperti pengungsi, imigran, kulit berwarna, orientasi seksual minoritas, manula dan penyandang disabilitas.
Tiba disana, seorang penulis perempuan asal India sedang menulis di sebuah ruangan yang begitu nyaman, dikelingi rak-rak buku, karpet bermotif tribal, tempat duduk nyaman dan beberapa tanaman hijau—suasana ruangan yang menunjang kreativitas. Katanya, dia suka menyelesaikan tulisannya di Centre for Stories karena menyediakan kenyamanan dan internet gratis. Setelah itu, Caroline mengantar ke apartemen yang akan saya tinggali selama bermukim 14 hari di Victoria avenue, pusat kota Perth.
Hari kedua, Caroline mengajak mengunjungi Perth Literary and Ideas Festival, tema Festivalnya adalah ‘Land, Money, Sex and Power’ dikuratori oleh Iain Grandage dan Sisonke Msimang. Festival ini berlangsung di lingkungan Western Australia University. Kami mendatangi acara pembacaan puisi di taman terbuka ‘Tropical Groove’, sejumlah penyair datang dari beragam latar belakang akan membacakan puisi-puisinya, seperti Patrick Gunasekera membacakan puisi yang mengeksplorasi seksualitas, Omar Sakr pun begitu, sementara David Stavanger mengolah isu kesehatan mental dalam puisi-puisinya.
Besoknya saya berjumpa guru besar dan penulis buku; Krishna Sen dan suaminya David T Hill, yang merupakan penulis buku media massa Indonesia di era orde baru, buku-buku budaya dan sinema Indonesia.
Pada hari keempat, kami mendatangi obrolan buku Emili Paull—penulis lokal yang mengobrolkan kumpulan cerita pendeknya ‘Well-Behaved Women’ Lalu setelah itu mendatangi obrolan buku Intan Paramadhita, Intan mendiskusikan ‘The Wandering’ yang baru-baru ini diterjemahkan oleh Vintage Books. Intan membicarakan bahwa ‘Gentayangan’ sesungguhnya adalah metafora bagaimana kita melihat pergerakan manusia dari satu titik ke titik lain, melintasi batas-batas, khususnya keinginan perempuan untuk memiliki mobilitas yang merdeka.
Sorenya pada hari kelima, kami bertemu dengan Catherine Noske, David Bourchier dan Tony Hughes. Catherine adalah editor umum di Jurnal Westerly—sebuah jurnal sastra dan kebudayaan di Universitas Australia Barat (UWA). David adalah dosen studi literatur asia, dia bercerita studi sastra Indonesia sangat kecil peminatnya dibandingkan dengan Korea, Jepang dan Cina. Menurut David, ini terjadi karena kurangnya karya-karya sastra Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sehingga tak banyak menjangkau pembaca Australia Barat.
Hari selanjutnya bersama Tasia ke Fremantle Market, mencari buku-buku langka dan ingin melihat-lihat pasar tradisional, beragam pedagang berjualan di sini mulai dari pedagang teh, ramuan tumbuh-tumbuhan Australia barat, piring pinang—sebagai pengganti styrofoam hingga pedagang daging kanguru.
Di hari Minggu, saya bersama Iven Manning pergi menonton ‘Canning Highway to Hell’ di Fremantle Utara. Di Jalan Highway to Hell, musisi-musisi band akan berkendara sambil menyanyikan lagu-lagu AC/DC, akses jalan sepanjang sepuluh kilometer dipenuhi warga lokal dari Jembatan Canning hingga Rainbow—Fremantle. Acara yang merupakan bagian dari Perth Festival ini adalah pesta rakyat Australia Barat. Mereka merayakan group musik legenda mereka AC/DC; going down, party time, my friends are gonna be there too, I’m on the highway to hell—begitu cuplikan lagu legendarisnya.
Sepanjang jalan Highway to Hell, orang-orang berjoget, berteriak kegirangan, bersuka cita. Di keramaian yang dipenuhi ribuan orang, kecemasan dan ketakutan akan virus corona dilupakan sejenak. Semua orang berbaur—dari semua lapisan masyarakat, begitulah Perth, saya hanya merasakan perasaan ganjil di hari pertama, di hari-hari selanjutnya merasakan banyak kegembiraan dan keramahan terutama orang-orang di Centre for Stories, hingga tak terasa masa tinggal saya di kota ini berakhir, 14 hari berlalu tanpa terasa.
Penulis :
Erni Aladjai
Peneliti lepas dan Penulis,
Senior PK identitas Unhas.