The kingdom of butterfly yang membuat Alfrerd Russel Wallace terkagum-kagumakan keindahannya, kini terancam populasinya akibat ulah manusia.
Siapa yang tidak tahu kupu-kupu? Serangga dengan sayap lebar bercorak warna-warni yang indah, terbang dengan anggun dari satu bunga ke bunga lainnya. Berbicara tentang kupu-kupu, tentu kita tidak asing lagi dengan sebuah daerah yang dijuluki sebagai The Kingdom of Butterfly. Di mana lagi kalau bukan Taman Nasional Bantimurung, Sulawesi Selatan. Keindahan kupu-kupu yang ada di Bantimurung ini banyak menarik perhatian para peneliti dalam negeri maupun luar negeri, salah satunya Dr Sri Nur Aminah Ngatimin SP MSi.
Kekaguman yang luar biasa terhadap kupu-kupu membawa Dosen Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian itu menulis berbagai penelitian tentang kupu-kupu. Salah satunya adalah penelitian yang berjudul “Teknologi Perbanyakan Kupu-Kupu di Resort Pattunuang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.”
Penelitian yang dilakukan sejak 2018 itu bermula dari keprihatinan Sri, sapaan akrabnya, terhadap perburuan kupu-kupu liar yang tidak terkendali yang dilakukan oleh oknum masyarakat setempat. Penangkapan kupu-kupu liar secara terus menerus, membuat populasi kupu-kupu semakin menurun dari tahun ke tahun. Yang tidak kalah memprihatinkan adalah ketidak tahuan masyarakat tentang regulasi pemanfaatan kupu-kupu.
“Aktivitas penangkapan kupu-kupu ini menurunkan populasi, sehingga kalau kita datang kesana, ada jenis tertentu yang sudah sangat-sangat menurun. Padahal dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999, ada 4 jenis kupu-kupu yang dilindungi. Troides Hypolitus, Troides Helena, Troides Holiphron, dan Cethosia Myrina.” Jelasnya.
Penangkapan kupu-kupu liar seakan sudah menjadi tradisi turun-temurun bagi masyarakat. Banyak warga sekitar Resort Pattunuang yang menggantungkan hidupnya pada penjualan kupu-kupu untuk cindera mata bagi para wisatawan.
Sri beserta empat orang rekannya, Dr Ir Andi Nasruddin MSc, Dr Ir Tamrin Abdullah MS, Dr Ir Ahdin Gassa MSc, mulai melakukan penelitian tentang upaya koservasi kupu-kupu di Resort Pattunuang. Resort Pattunuang dipilih karena menjadi habitat yang ideal untuk kupu-kupu.
Terdapat aliran sungai, serta masyarakat yang berinteraksi langsung dengan kupu-kupu. Upaya konservasi mulai dilakukan dengan mendata jumlah dan keanekaragaman jenis kupu-kupu di lokasi tersebut. Sri bersama ketiga rekannya kemudian melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya konservasi dan pengendalian perburuan liar demi terjaganya populasi kupu-kupu.
Maraknya perburuan kupu-kupu liar juga dikarenakan masih banyak masyarakat yang kurang paham tentang pentingnya menjaga populasi kupu-kupu. Bahkan, ketika dilakukan sosialisasi, masyarakat mempertanyakan dan merasa heran dengan upaya konservasi yang dilakukan, ‘Untuk apa dipelihara na banyak ji?’. “Padahal meskipun banyak, jika terus diburu, bisa saja suatu saat akan habis.” Ungkap Sri prihatin.
Sebenarnya, masyarakat sudah diberi fasilitas konservasi berupa kandang budidaya. Namun, pemanfaatannya sangat kurang hingga akhirnya rusak termakan usia. Mindset yang lebih nyaman berburu kupu-kupu dari alam juga menjadi salah satu penyebabnya.
Sedikit demi sedikit, Sri mulai mengedukasi masyarakat bahwa metode koservasi sangat mungkin untuk dilakukan, yang terpenting adalah kita mengenal jenis ulat dan jenis daun tanaman yang dimakan. Salah satu upayanya adalah dengan menanam tanaman yang dapat menjadi media untuk kupu-kupu meletakkan telur. Mengingat setiap jenis ulat kupu-kupu memakan daun dari tanaman yang berbeda-beda sesuai dengan jenisnya.
Selain itu, Sri dan rekannya, dibantu warga sekitar, bersama-sama menanam tanaman yang dapat menghasilkan bunga di pekarangan rumah warga, serta di beberapa tempat yang potensial. Tujuannya adalah agar kupu-kupu memiliki sumber makanan dan tidak bermigrasi dari Resort Pattunuang ke tempat lain. Karena kupu-kupu memiliki fungsi yang cukup vital dalam ekosistem. Selain sebagai serangga penyerbuk, kupu-kupu juga menjadi indikator kesehatan lingkungan.
Proses konservasi tersebut rutin dicek kondisinya setiap dua minggu sekali. Dan hasilnya, berbagai jenis kupu-kupu mulai kembali berdatangan sedikit demi sedikit. Sebagian kecil masyarakat pun mulai melirik metode konservasi untuk meningkatkan perekonomian. Meskipun masih banyak masyarakat yang tetap melakukan perburuan liar.
Sri berharap, para peneliti, pemerintah, masyarakat dan balai taman nasional dapat saling bersinergi untuk memelihara habitat dan populasi kupu-kupu. Tidak adanya pengawasan yang ketat, membuat masyarakat bebas berburu meskipun tahu kalau hal tersebut dilarang. Apalagi beberapa spesies kupu-kupu yang ada di Taman Nasional Bantimurung adalah spesies yang dilindungi.
Namun, di sisi lain, hal ini sulit dikendalikan lantaran masih banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari penjualan kupu-kupu. Oleh karena itu, diperlukan pendampingan yang menyeluruh, agar masyarakat dapat teredukasi dan sadar akan pentingnya menjaga pupulasi kupu-kupu.
“Harus ada monitoring rutin kondisi populasi. Saya juga berharap ada regulasi khusus terhadap tata kelola kupu-kupu serta penyuluhan dan pendampingan masyarakat. Karena uang yang menurut masyarakat itu besar, tidak ada apa-apanya dibanding kerugian yang akan dialami ketika kita kehilangan aset keanekaragaman hayati.” Harap Ibu tiga anak itu.
Risman Amala Fitra