Pilkada serentak 2020 kini berada di depan mata, namun pelaksanaannya masih menuai berbagai perdebatan. Utamanya kasus Covid-19 dari waktu ke waktu yang masih mengalami peningkatan dan belum melandai.
Di sisi lain, pelaksanaan pilkada serentak di masa pandemi ini telah memasuki beberapa tahapan pelaksanaan pilkada. Dalam tahapan tersebut terbukti menurut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), di lapangan ditemukan 243 dugaan pelangaran protokol Covid-19 yang dilakukan bakal calon kepala daerah seperti yang dilansir dari kompas.com.
Dugaan pelangaran ini perlu menjadi perhatian serius oleh pemerintah agar mampu menciptakan pilkada yang sehat. Apalagi dengan virus Covid-19, pemerintah harus mampu menjamin hak kesehatan masyarakat, dalam memilih dan dipilih.
Perlu diketahui paradigma pilkada pada hakikatnya adalah bagian dari langkah mewujudkan agenda demokrasi secara menyeluruh, atau salah satu perwujudan komitmen negara demokrasi sebagaimana telah digariskan konstitusi menurut Zubakhrum Tjenreng. Akan tetapi dalam kondisi adaptasi kebiasaan baru, pilkada memperoleh tantangan dalam menjawab agenda demokrasi.
Dimana kini pilkada serentak 2020 memasuki babak baru dengan munculnya dua persepsi bahwa pemerintah bersikap optimis pilkada berjalan sesuai protokol kesehatan. Sedangkan beberapa kalangan seperti organisasi masyarakat dan akademisi bersikap pesimis pilkada digelar di masa pandemi Covid-19. Persepsi ini tentunya berdasar atas analisis kajian dan fakta di lapangan.
Namun, menyikapi agenda demokrasi, pemerintah opitimis bahwa pilkada mampu terlaksana di tengah pandemi. Pasalnya menurut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pilkada memiliki urgensi yang harus dilaksanakan. Seperti pelaksanaan pilkada 2020 merupakan keputusan bersama antara pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu.
Kedua diyakini sebagai wujud kedewasaan Bangsa Indonesia dalam demokrasi serta menjadikan pilkada momentum untuk memerangi pandemi Covid-19. Ketiga, menimalisir praktek kepemimpinan yang dipimpin oleh pejabat sementara atau pelaksana tugas (Plt) yang memiliki wewenang terbatas. Terakhir, diharapkan terpilihnya kepala daerah yang dipercaya publik mampu menangani Covid-19 di daerahnya masing-masing dikutip dari kompas.com.
Oleh karena itu, betapa diperlukannya pilkada dilaksanakan. Pilkada pada dasarnya bukan hanya persoalan pergantian kepemimpinan semata-mata, akan tetapi terkait hajat hidup orang banyak dan menentukan nasib daerah tersebut.
Meskipun munculnya penolakan agar pelaksanaan ditunda, yang berasal dari masyarakat sipil, akademisi epidemilogi dan oraganisasi masyarakat islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dasar penolakannya adalah situasi negara yang masih mengalami peningkatan pandemi Covid-19.
Namun, keputusan presiden jelas mengambarkan betapa bahaya pandemi Covid-19 bagi kesehatan masyarakat. Bahkan Ahli Epidemilogi Universitas Indonesia mengatakan pelaksanaan pilkada memunculkan resiko tinggi penularan dan sulit mematuhi protokol kesahatan seperti dikutip dari tribunnews.com. Tentu saja jika tetap dilanjutkan akan ada konsukuensi yang harus diterima pemerintah. Kemudian, pelaksanaan pilkada ini pertama kali dan belum ada pengalaman dalam kondisi bencana nasional non-alam. Sehingga wajar, ketika timbul sikap pesimis pelaksanaan pilkada.
Jadi, pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus mempertimbangkan segala aspirasi atau tuntutan yang diterima menuju pilkada, 9 Desember 2020. Pengambilan kebijakan ini tentu sangat dilematis antara kesehatan dan amanat konstitusi. Namun, dengan segala pertimbangan akhirnya pilkada tetap dilanjutkan. Sehingga menjadi tantangan kita semua bahwa pilkada di tengah pandemi, harus disiplin dalam menaati protokol kesehatan agar pilkada tidak menjadi bom waktu.
Oleh karena itu, bersikap optimis atas keputusan melanjutkan pilkada boleh saja tapi jangan sampai terlena. Pemerintah, peserta dan pemilih beserta penyelenggara pilkada wajib bersinergi dan berkolaborasi untuk menciptakan pilkada serentak 2020 yang sehat dan berkualitas. Pilkada seperti ini akan menjadi bukti keberhasilan dalam perhelatan pilkada serentak 2020.
Penulis Mohd Riswan B Jamal
merupakan Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik,
angkatan 2016.