Penulis Buku “Democracy For Sale,” Ward Berenschot punya tiga tujuan menulis buku tersebut. Pertama ia ingin memperlihatkan dimensi informasi (belakang layar) demokrasi di Indonesia.
“Di dalam dimensi informal terdapat fenomena yang sangat penting yaitu klientelisme atau tukar kepentingan, serta masih tingginya ongkos politik di Indonesia,” jelasnya saat menjadi narasumber pada Diskusi Buku yang diadakan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jumat (4/12).
Selain itu, Ward pula ingin membandingkan politik di Indonesia dan negara lain, khususnya Argentina dan India. Disampaikannya bahwa terdapat satu perbedaan yang sangat penting dan terlihat jelas antara praktik demokrasi di Indonesia dengan praktik demokrasi di Argentina dan India. “Kami lihat, di sana kampanye diurus oleh partai politik dan tidak ada fenomena tim sukses karena sudah ada jaringan partai politik yang cukup kuat,” ujarnya.
Dan yang terakhir, Ward hendak membandingkan politik-politik yang ada di dalam Indonesia itu sendiri. Ia melihat bahwa demokrasi di Indonesia bisa terus diperbaiki, salah satunya sistem pemilihan.
Untuk menghasilkan bukunya tersebut, Ward bersama rekannya mewawancarai lebih dari 500 orang pengamat politik yang tersebar di 18 provinsi di Indonesia. “Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah praktik politik di setiap daerah berbeda-beda atau sama,” jelasnya.
Pegiat Literasi, Dhianita Kusuma Pertiwi yang bertindak sebagai moderator mengataakn bahwa buku Buku “Democracy For Sale” adalah hasil penelitian komprehensif dan kajian kritis yang dilakukan oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot atas budaya kontemporer Indonesia.
Walaupun tidak bisa menjawab sepenuhnya, Ward berharap bukunya bisa membantu, mendorong serta menemukan langkah agar Indonesia dapat meraih demokrasi yang sebenarnya.
M203