Seorang pemenang dan pecundang terletak pada mental dan cara berpikir. Mental seorang pemenang memandang setiap masalah, termasuk Covid-19, sebagai batu loncatan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik untuk menuju kesuksesan, sementara mental seorang pecundang, masalah adalah beban yang membelenggu langkah dan semangatnya. Oleh karena itu, pasca Covid-19, agar kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dapat melangkah pada pencapaian kesuksesan yang sesungguhnya maka diperlukan semua pihak mewujudkan revolusi mental secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Efek Covid-19 sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang wajib memakai masker dan putusnya interaksi langsung dengan orang lain. Hal ini betul-betul mendobrak semua tatanan dan etika sosial yang sudah mapan. Memusnahkan kebiasaan berjabat-tangan apalagi cipika-cipiki. Menahan diri untuk tidak menghadiri pertemuan, menziarahi sanak saudara tak boleh, dan mengunjungi kekasih hati tak lagi dizinkan serta menjenguk orang sakit jadi terlarang.
Kondisi ini menyebabkan banyak orang menghabiskan seluruh waktunya di rumah, sisi lain mengarahkan orang untuk memperoleh keterampilan dan hobi seperti membaca, melukis, main musik, menjahit, memasak, memelihara bunga dan lain-lain. Dengan begitu Covid-19 ini juga banyak orang terbantu untuk menemukan kembali bakat yang tersembunyi atau memulai kebiasaan baru lainnya yang aman dari infeksi virus.
Selain itu, praktik kehidupan baru berupa biososial dalam konteks jaringan dan dunia maya meningkat drastis. Semua orang, dari seluruh tingkatan umur, jejang pendidikan, jenis profesi dapat dipastikan menggunakan jejaring dan dunia maya. Saat ini, masyarakat merasakan dunia maya dalam rangka memanifestasikan diri dalam percakapan, pertemuan hingga sampai pada dialog keilmuan maupun transaksi ekonomi.
Walau demikian tetap saja Covid-19 telah menghalangi sebagian besar kegiatan perdagangan, transportasi, budaya, keagamaan, olahraga, film, teater sepanjang tahun 2020. Hal itu juga terjadi pada program percetakan dan penerbitan buku dalam jumlah yang besar, serta penyelenggaraan program ilmiah dan budaya ditunda atau dibatalkan karena pembatasan kerumunan massa dan lockdown di wilayah tertentu.
Covid-19 juga menghalangi manusia untuk sering makan di restoran dan sebagai gantinya manusia kembali memasak di rumah dengan menghidupkan masakan tradisional serta mengembalikan tradisi makan bersama dengan keluarga. Bersamaan dengan itu menghidupkan kembali komunikasi, interaksi, dan pertemuan keluarga.
Beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa dialog dan interaksi verbal di antara anggota keluarga sangat jarang terjadiyang disebabkan oleh banyak alasan dan faktor. Dengan pandemi Covid-19 meningkatkan dialog, interaksi, dan toleransi dalam keluarga. Perspektif ini menggambarkan kembalinya nilai-nilai dasar dan penting dalam sebuah keluarga yakni kebersamaan dan komunikasi verbal maupun batin. Menghabiskan waktu dengan cara terbaik dan berkualitas bersama keluarga menjadi lebih banyak.
Di segmen pendidikan juga membuat perubahan drastis. Selama ini pengajaran hanya di maknai dengan pertemuan tatap muka. Efeknya memaksa proses pendidikan baik tradisional, modern, keagamaan harus menggunakan teknologi komunikasi di dunia maya. Namun, bukan sekadar adanya himbauan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim untuk kemungkinan adanya pertemuan tatap muka dalam sistem pengajaran tetapi memang ada banyak keluhan dari berbagai tingkat pendidikan yang mengeluhkan pengajaran dengan cara online. Tampaknya para penuntut ilmu pengetahuan merasakan pembelajaran tatap muka di luar jaringan lebih baik dan efektif dari proses belajar mengar dalam jaringan.
Covid-19 juga punya efek positif pada turunnya polusi dan pencemaran lingkungan. Pembatasan aktivitas manusia sehari-hari telah menciptakan kesempatan bagi lingkungan untuk bernafas dan memperbahurui dirinya sendiri. Pemulihan spesies hewan dan tumbuhan, pengurangan pencemaran lingkungan adalah contoh nyata dari dampak positif fenomena ini terhadap lingkungan dan makhluk hidup lainnya. Hal itu terjadi karena minimnya pengguna kendaraan di jalan raya maupun beroperasinya pesawat dan juga pabrik yang berkonsekuensi pada penggunaan bahar bakar yang sangat minimal.
Plus-minus efek Covid-19 juga dapat dibaca lewat keputusasaan dan ketidak mampuan negara adidaya, khususnya Amerika Serikat dan Eropa dalam menghadapi Covid-19. Corona membuka tabir dengan sangat jelas bahwa negara yang dibanggakan dan ditakuti oleh nyaris semua negara di dunia ternyata juga tak berdaya dalam menghadapi Covid-19.
Kenyataan dari Covid-19 seharusnya mampu memantik tekad yang kuat bagi rakyat Indonesia untuk melakukan revolusi mental untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan yang adil dan merata. Dengan mengandalkan kekuataan dan kemampuan yang dimiliki baik berupa sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya sendiri. Tak perlu ada rasa rendah diri dan merasa terbelakang dari negara lainnya.
Sesungguhnya istilah kategorisasi negara berkembang, terbelakang dan maju serta kategori lainnya adalah stigma dengan sengaja diciptakan untuk menjajah pikiran dan mental. Semua dengan tujuan menjadikan dirinya sebagai penguasa dunia dan yang lain sebagai negara yang harus menjadi follower saja dari mereka.
Mereka melakukan politisasi mental agar terpatri dalam diri kita untuk mengakui dan menerima mereka sebagai bangsa dan negara yang superior. Padahal sesungguhnya, sekali lagi, semua itu hanya rekayasa semata dari bangsa imprealis. Itu hanya fiksi dan ilusi yang disebarkan lewat program dan gerakan kapitalisme global.
Oleh karena itu, sejak awal diingatkan sedianya ada pencerahan baru dan revolusi mental lebih nyata implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga agenda yang disusun dan aktivitas yang dilakukan adalah sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan, pola hidup, budaya, sejarah dan tradisi serta lingkungan di negara kita sendiri. Terutama sekali dilingkungan akademik agar tidak lagi memproduksi wacana dan keilmuan yang berbasis pada narasi dan teori dari luar.
Semestinya diyakini bahwa ilmu yang mencerahkan adalah ilmu yang berbasis pada budaya, tradisi, sejarah dan lingkungan di mana sebuah keilmuan diproduksi. Tak ada lagi agenda globalisasi dan instruksi negara adidaya atas apa yang berlaku dan diprogramkan di negeri ini. Sebab ternyata telah terbukti bahwa mereka sendiri pada akhirnya menunjukkan hasil dari perilaku dan kebiasaan mereka mengarah pada titik nadir yang kritis.
Sebuah harapan besar bahwa pasca Covid-19 semestinya memberikan injeksi yang kuat bagi bangsa dan negeri ini untuk mewujudkan revolusi mental secara nyata di mana tidak lagi mengharap dan juga takut pada bangsa dan negara lain. Kemudian menggantinya dengan sebuah situasi dan kondisi keyakinan mental yang baru dengan kekuatan dan kebersamaan. Persatuan dan kesatuan anak bangsa maka segala masalah yang ada akan bisa diselesaikan. Semua cita-cita ideal yang diinginkan pasti, Insha Allah, akan tercapai.
Penulis Supratman SS M Sc PhD merupakan Dosen Departemen Sastra Asia Barat,
FIB, Unhas