Mahasiswa Unhas berhasil memangkas harga alat biopsi dari 24 juta menjadi 5,6 juta.
Tumor merupakan benjolan atau jaringan yang tumbuh secara tidak normal, dapat bersifat jinak maupun ganas (kanker). Untuk mengetahui hal itu, perlu dilakukan pengambilan sampel jaringan tubuh seperti kulit. Sampel kemudian di bawa ke laboratorium untuk mengetahui kelainan secara spesifik. Tindakan itu dinamakan biopsi.
Ada bebera cara melakukan biopsi, salah satunya Core needle biopsy, yaitu pengambilan sampel padat jaringan menggunakan hollow core needle (jarum). Prosedur ini terbilang efektif dan efisien. Namun, besarnya ukuran jarum dapat menyebabkan infeksi, bekas luka pada area biopsi dan penyebaran sel ganas pada rute jarum.
Berangkat dari hal tersebut, Mahasiswa Kedokteran Unhas, Ilma Rasyida Budi Taufid bersama dua temannya, Muhammad Yusuf T dan Zaenal Abidin (Fakultas Teknik) mencoba memodivikasi alat biopsi. Ide itupun dituangkan dalam Program Kreatif Mahasiswa bidang Karsa Cipta (PKM-KC), berjudul “Pen Core Biopsy: Alat Biopsi Kinetik dalam Upaya Meminimalkan Luka Pra-Operasi Pengangkatan Jaringan Tumor untuk Penegakan Diagnosis.”
Ilma selaku ketua tim menceritakan, awal mula buah pemikiran itu saat ia berkunjung ke Rumah Sakit (RS) Unhas dan bertemu Dr dr Prihantono Sp BK Onk pada akhir Tahun 2019. Ia mendapat keluhan dari Prihantono mengenai alat biopsi yang digunakan. Kata Ilma, alat itu harus mengunakan dua tangan, selain itu masih ada alat lain yang perlu dioperasikan, sehingga membutuhkan satu orang lagi dalam melakukan tidakkan pra oprasi.
“Alat ini juga hanya tersedia dua di Makassar, sehingga tidak langsung menghambat proses diagnosis dari pengunaan yang secar bergantian, dari satu RS ke RS lainnya. Padahal jaringan tumor cepat berkembang dan menyebar,” tambahnya, Sabtu (5/12).
Mahasiswi angkatan 2018 itu melanjutkan, alat yang mereka buat memiliki prinsip yang sama dengan sebelumnya, digunakan untuk tumor yang bisa diraba atau yang ada di permukaan kulit, misalnya tumor payudara. Hanya saja ukurannya diperkecil yang bisa digunakan dengan satu tangan.
“Alat yang sebelumnya sebesar senter menjadi sebesar pena. Sehingga alat tersebut bisa digunakan dengan satu tangan. Selain itu harganya lebih murah, dari sekitar 45 juta menjadi 6 juta,” tutur Ilma.
“Dengan desain, bentuk yang lebih kecil dan ramping serta berat yang bisa dikatakan ringan maka dokter tidak akan kesulitan dalam mengoperasasikannya. Sehingga goyangan yang ditimbulkan dari energi kinetik berupa pegas dapat terminimalisir jika dibandingkan dengan alat yang sudah ada sebelumnya,” lanjut Ilma.
Meskipun sudah memilki berbagai keunggulan, namun inovasi itu belum dibuat. Hal tersebut dikarenakan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNas) untuk PKM-KC hanya meminta luaran video animasi dan desain.
“Sebenarnya kami mendesain alatnya pada Januari dan sudah berencana langsung membuat alatnya. Tapi dibatalkan karena adanya pandemi dan kebetulan luaran yang diharapkan oleh PIMNas bukanlah prototype,” jelas perempuan kelahiran Makassar tersebut.
Saat ini, Ilma dan timnya sedang mengurus Hak Cipta di Pusat Diseminasi dan Hak atas Kekayaan Intelektual Unhas. Pengurusannya diperkirakan memakan waktu tiga bulan. Sembari mengurus itu, meraka mencoba membuat alat untuk kemudian di uji coba. Setelah dianggap layak, diusahakan untuk produksi massal.
“Untuk pembuatan alatnya kami sudah konfirmasi ke Fakultas Teknik, katanya di sana bisa Untuk buat alat. Adapun uji cobanya mungkin kita akan lakukan ke mencit (tikus berwarna putih) atau hewan sejenisnya,” tuturnya.
Ilma berharap alat tersebar dan bukan hanya di dokter spesialis atau dokter bedah saja. “Untuk produksi massal kita belum tentukan partner atau kerjasamanya kemana jadi untuk saat ini kita berfokus pada pembuatan alat dulu kemudian dilakukan uji coba,” pungkas Ilma.
Hafis Dwi Fernando