Lebaran telah usai, tapi suasananya belum. Aneka kue kering di ruang tamu belum juga habis, minuman kemasan, masih tertata rapi (lengkap), pun baju lebaran yang dibeli karena berburu flash sale, belum juga dikenakan semua. Kejadian di atas adalah gambaran betapa tingginya konsumsi akan barang-barang, hanya karena keinginan (want) dan bukan kebutuhan (need).
Peristiwa ini acap kali terjadi pada momen-momen perayaan besar keagamaan contohnya Idul Fitri, di mana toko-toko, pusat perbelanjaan, ramai dipadati pembeli, karena iming-iming diskon, cashback, subsidi, dan sejenisnya yang terus ditawarkan, apalagi jika sekarang kita sedang dipersiapkan menuju cashless society. Momentum ini tidak akan dilewatkan begitu saja. Meskipun barang-barang yang masih ada terhitung masih terbilang bagus, baik berdasarkan fungsi maupun estetikanya.
Menurut Yayasan Lembaga Konsumen (YLK), konsumtif adalah kecenderungan manusia untuk menggunakan konsumsi tanpa batas. Meskipun definisi konsep perilaku konsumtif amat variatif, tetapi intinya perilaku konsumtif adalah membeli atau menggunakan barang tanpa pertimbangan rasional atau bukan atas dasar kebutuhan.
Belanja makanan dan non makanan yang tinggi. Dapat memicu tumbuhnya PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) bagi suatu daerah, karena populasi yang tinggi pun juga akan membutuhkan ketersediaan pasokan. Disinilah Ekonomi pasar atau mekanisme pasar (market mechanism), berlaku secara masif dan sistematis. Negara pun bergantung pada tingginya intensitas konsumsi masyarakat. Tentu saja pertumbuhan ekonomi akan mengalami pertumbuhan yang positif. Sebab aspek konsumsi adalah aspek yang sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Menilik pemikiran seorang ekonom Walt Whitman Rostow yang menyatakan bahwa step terakhir, dari lima bagian untuk mencapai negara maju, yakni penilaian pendapatannya, yang berimbas pada naiknya konsumsi. Pada tahap konsumsi tinggi ini. Pendapatan riil perkapita meningkat sampai pada suatu titik, di mana sejumlah besar orang dapat membeli barang-barang konsumsi selain kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan.
Kredit Macet
Orang-orang senantiasa akan memaksimalkan sumber daya yang mereka miliki. Untuk mendapatkan tingkat utilitas yang maksimal (maximal utility). Masyarakat akan melakukan segala cara bahkan dengan menghutang sekalipun. Tanpa mereka sadari akan berlaku hukum pertambahan nilai. Di mana jika tingkat utilitas telah mencapai tingkat yang maksimum, terjadilah law of diminishing marginal utility atau dengan kata lain setiap barang yang dikonsumsi, maka tambahan tingkat kepuasaan akan menurun.
Belanja tanpa memperhatikan aspek keuangan sendiri, dengan kemampuan bayar yang rendah, dan hanya melihat faktor kepuasan semata. Akan mengakibatkan beberapa persoalan ke depannya. Kredit macet adalah satu dari masalah yang akan timbul dari penyakit konsumerisme.
Kredit macet masih sering ditemui, bermula dari para pemberi kredit atau perbankan datang ke masyarakat untuk meminjamkan dana segar (fresh money). Ada dua provinsi yakni Provinsi Sulawesi Selatan, dan Kepulauan Riau melebihi ambang batas 5 persen. Rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) .
Data yang dihimpun dari otoritas jasa keuangan (OJK) tercatat rasio NPL industri perbankan pada Maret 2020 berada posisi 2,77 persen, meningkat dari Desember 2019 yang sebesar 2,53 persen, yang berada dalam zona merah. Provinsi Sulawesi selatan sebesar 5,5 persen dan Provinsi Kepulauan Riau 5,7 persen.
Ketimpangan Sosial
Selain masalah kredit macet, gaya hidup konsumtif, memiliki implikasi negatif pada perubahan sosial. Masyarakat akan berbelanja tanpa didasari pikiran yang rasional, sehingga menimbulkan masalah dikemudian hari. Stearns (2009) melihat fenomena konsumerisme sudah muncul pada masyarakat pra modern, lalu semakin meningkat pada era modern. Kebiasaan senator Romawi dan istri-istrinya yang mengenakan kain sutra merupakan contoh konsumerisme di kalangan bangsawani.
Mengonsumsi akhir-akhir ini bukan lagi tentang memenuhi kebutuhan, namun mengalami perubahan makna, Menurut baudrillard, seorang individu atau konsumen dalam masyarakat konsumeris. Tidak lagi mengonsumsi komoditas, melainkan tanda dari suatu produk dengan kata lain, iklan mengarahkan konsumen untuk terus menerus mengonsumsi produk-produk yang diiklankan demi suatu status sosial tertentu.
Contoh Kecilnya, Tantangan (Challenge) tentang berapa harga outfit lo? Tantangan ini tengah viral di media sosial khususnya youtube. Di video tersebut, netizen harus menjelaskan harga barang yang mereka kenakan. Jika dahulu masyarakat enggan memamerkan barang yang mereka kenakan, sekarang justru masyarakat secara terang-terangan menjadikannya sebagai ajang gagah-gagahan, sebab memakai barang ternama branded adalah sebuah pengakuan sosial (prestigious).
Hal di atas berujung pada ketimpangan sosial, biasasanya terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kondisi jiwa konsumtif bisa saja menjadi salah satu unsur yang menakutkan lantaran, akan dorongan tingginya angka kriminalitas demi memunuhi kebutuhan hidupnya. Parahnya lagi tidak hanya terjadi di perkotaan, namun sudah merambah ke pedesaan. Ini sangat berbahaya, kalau tidak dicegah sejak dini.
Ramadhan dan Lebaran adalah sebuah momentum renungan tentang kesyukuran, atas segala nikmat dan anugerah yang diberikan Tuhan kepada umat manusia. Berbagi dan memenuhi kebutuhan dengan konsep mininmalis, akan membawa perubahan pada diri dan lingkungan sekitar, bukankah Tuhan melarang segala bentuk yang berlebih-lebihan (mubazir)?
Penulis Hairialsah Malapu
merupakan Mahasiswa Magister Ekonomi Perencanaan dan Pembangunan
FEB Unhas.