Brkolaborasi dengan Extinction Rebellion Makassar, Environment Law Forum (ELF) Fakultas Hukum (FH) Unhas menyelenggarakan diskusi terkait urgensi dan dampak ekologis akibat pengabaian Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Makassar. Kegiatan tersebut berlangsung melalui siaran langsung Instagram, Jumat (21/5).
Dipandu perwakilan XR Makassar, Fuad Makarim, turut hadir perwakilan ELF FH Unhas, Royan Juliazka sebagai pembicara. Di awal pemaparan, Royan menjelaskan latar belakang pengadaan RTH dan definisinya.
“Konsep RTH lahir pertama kali ketika Deklarasi Rio, sejarah perkembangan hukum lingkungan internasional di Brazil. Deklarasi tersebut memperkenalkan RTH, sebuah wilayah berbentuk memanjang, melebar, atau seperti jalur di perkotaan yang sifatnya terbuka. Di area ini ditanami pohon secara alami maupun buatan,“ ungkap Royan.
Lebih lanjut, Deklarasi Rio juga mengatur jumlah minimal RTH di perkotaan. RTH sendiri adalah istilah urban khusus untuk daerah perkotaan, karena perkotaan memiliki kepadatan penduduk yang lebih besar dibandingkan di desa. Aktivitas perekonomian, serta lalu lintas darat dan udara pun lebih masif dibandingkan dengan desa.
“Padatnya aktivitas perkotaan dapat menghasilkan dampak bagi lingkungan, berupa emisi dan sampah yang mengakibatkan pencemaran di udara, air, dan tanah. Deklarasi itu pun mengatur, minimal RTH adalah 30%. Terdiri dari RTH publik sebanyak 20%, dan RTH privat sebanyak 10%,” jelas Royan.
Adapun RTH publik sengaja dibangun khusus untuk masyarakat umum. Sedangkan RTH privat hanya dimiliki oleh swasta dan bisa diakses oleh pemiliknya. Royan menambahkan, di Indonesia sendiri, RTH diatur dalam Undang-Undang (UU) 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
“UU itu mengatakan, setiap kota di Indonesia wajib memiliki RTH. Namun, kendalanya ada pada kesadaran terkait paradigma kebijakan bernuansa lingkungan. Dalam proses pembangunan lingkungan di pengambil kebijakan, hal tersebut belum menjadi tren,” sesal Royan.
Kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan lain-lain justru mengalami penurunan tren RTH selama 30 tahun terakhir. Sedangkan di Makassar, tren RTH selama 4 tahun terakhir mengalami kenaikan dan mengalami penurunan di tahun 2016.
Royan mengatakan, RTH publik di Makassar dapat ditemukan di Unhas, Taman Pakui, dan Taman Macan. “ELF FH Unhas pernah mendiskusikan kebijakan minimal RTH 30% tidak perlu mencakup RTH privat. RTH privat dapat dianggap sebagai bonus, karena UU sudah mengatur bahwa hak atas lingkungan yang baik dan sehat adalah hak setiap manusia,” sebutnya.
Pemenuhan RTH ini mencakup pemenuhan hak dasar, karena fungsi RTH secara ekologis ialah pencipta mikro iklim di perkotaan, media pelestarian tanah, penahan angin, serta ameliorisasi iklim. Di antaranya menyerap panas dan mencegah radiasi balik, serta tempat tinggal habibat liar seperti kunang-kunang, kupu-kupu, lebah, burung, dan lain sebagainya.
Sementara itu, kendala lainnya pada perkotaan di Indonesia sehingga belum mampu memenuhi syarat RTH 30% ialah proses pembebasan lahan yang terhambat, APBD terbatas untuk pembelian lahan RTH, Dan kelemahan regulasi.