Perempuan sejatinya memiliki status dan kedudukan sama dalam kehidupan ini. Upaya mewujudkan kesetaraan perempuan merupakan isu global yang kompleks. Selama ini gerakan emansipasi perempuan selalu berhubungan dengan budaya patriarki yang sudah mengakar selama bertahun-tahun.
Gerakan emansipasi perempuan pun sudah berlangsung bertahun-tahun dengan corak gerakannya masing-masing. Bahkan telah menembus batas-batas teritorial, dengan berbagai pendekatan gerakan, dari misalnya marxisme, liberal, radikal, anarkis dan sosialis.
Serangkaian gerakan baik bersifat sosial, politik dan ideologi, pada intinya memiliki tujuan yang sama yakni kesetaraan bagi perempuan. Selain upaya dari perempuan sendiri, timbul pula kesadaran untuk memberdayakan sesama perempuan, yang dapat dilakukan dalam segi kebudayaan.
Pendekatan budaya dilakukan di salah satu perbukitan wilayah Sinjai dengan kondisi lingkungan alam yang masih alami berupa perkebunan, sawah dan hutan. Di sana terdapat Kampung Adat Karampuang, kampung dengan pemukiman tradisional masyarakat suku Bugis Sinjai.
Karampuang dulu sebuah kerajaan, dengan cerita munculnya seorang perempuan di tengah lautan secara tiba-tiba berbentuk seperti tempurung kelapa yang terpelungkup. Peristiwa itu, menjadikannya sebagai raja pertama di Karampuang. Setelah itu, perempuan ini menghilang dan akhirnya datang bersama enam orang laki-laki dengan sebutan tujuh to manurung.
Perempuan ini kemudian bertitah kepada enam lelaki itu untuk pergi menjadi raja di tempat lain, namun kebesaran kerajaannya kelak harus melindungi Karampuang. Implikasinya, pada zaman dahulu perempuan sangat mendominasi dan memegang tampuk pemerintahan di Karampuang, perempuan juga mewadahi serta memerintah enam raja-raja kecil itu.
Setelah seratus tahun lebih kepemimpinan di desa Adat Karampuang oleh empat pemangku adat yang terdiri hanya satu perempuan. Ada dinamika secara struktur kepemimpinan desa adat ini berubah. Di mana didominasi oleh perempuan, sekarang didominasi laki-laki.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas, Ery Iswary yang melakukan penelitian di kampung Adat Karampuang mengatakan salah satu ciri perempuan dulunya dihormati di wilayah ini. Berupa rumah adat tradisional yang terbuat seperti anatomi tubuh perempuan.
“Rumah juga menganalogi kepada seorang perempuan sebagai tempat reproduksi dan berproduksi,” ucap Kaprodi Magister Ilmu Linguistik ini.
Oleh karena itu, menurut perempuan yang biasa dipanggil Ery ini. Riset berangkat dari rumah Adat Karampuang dengan menggunakan model analisis bahasa dalam perspektif gender dan ekofeminisme.
Ery ingin melihat bagaimana sebenarnya simbol-simbol bahasa, simbol-simbol yang ada pada tradisi baik rumah adat maupun istilah-istilah yang digunakan. Serta bagaimana rekonsolidasi gender, karena tidak ada protes para perempuan di sana setelah raja perempuan meninggal dan kemudian jatah pemimpin hanya satu orang perempuan. Padahal seharusnya jika berdasarkan historis perempuan memiliki andil yang besar dalam memimpin Karampuang.
Penelitian dilakukan sejak 2019 hingga 2020. Awalnya membahas strategi pemberdayaan perempuan dengan simbolisme gender berbasis budaya lokal masyarakat Karampuang.
Kemudian penelitian kedua membahas mengenai strategi pemberdayaan perempuan berbasis kearifan ekologisnya. Hal ini didasari karena perempuan Karampuang sangat bersahabat dengan alam, pun jika memanfaatkannya mereka tidak merusaknya.
“Pada penelitian kedua, kami melihat bagaimana memberdayakan perempuan berbasis kearifan ekologisnya, karena mereka dekat dengan alam dan juga memanfaatkan alam,” jelas Ery
Sayangnya, para perempuan Desa Adat Karampuang sangat tertutup sehingga keinginan memberikan pelatihan kadang-kadang mendapat kebuntuan. Namun dalam kaca mata Ery perempuan Karampuang perlu diedukasi dengan pelatihan. Melihat mereka punya banyak keterampilan. Misalnya mencari kemiri, memecahkan dan menjualnya di pasar.
Kebuntuan akses ke masyarakat Karampuang, dapat ditaktis dengan pendekatan budaya, menghargai adat mereka. Meminta mereka bekerja sama untuk lebih diberdayakan,
Sayangnya ini masih belum berlanjut, menurut Ery masih perlu melakukan penelitian lanjutan sebagai bentuk pengimplementasian dari konsep pemberdayaan yang telah mereka buat.
“Belum tuntas jika dijadikan inovasi. Karena dikatakan inovasi bila sudah digunakan masyarakat setempat,” jelasnya pada Rabu (05/05/2021).
Dengan dibantu dua rekannya, yakni Dosen Sosial Politik, Rabina Yunus dan Dosen Sastra Daerah Firman Saleh. Mereka masih butuh minimal setahun lagi untuk menguji konsep ini untuk pengimplementasian.
“Kami ingin menguji coba strategi ini, misalnya membuat mesin pemecah kemiri. Meskipun tidak lebih modern, karena mereka tidak menerima modernisasi begitu saja.”
Dalam wawancara via telepon WhatsApp, Ery menutup pembicaraan dengan harapan dapat menemukan strategi dan gagasan fundamental serta orisinil. Basisnya tentu kearifan lokal dan kearifan ekologis di bidang pemberdayaan perempuan dan peduli lingkungan bagi masyarakat Karampuang.
Reporter : Winona Vanessa HN