Jar of life atau toples kehidupan harus diisi dengan bongkahan batu besar atau prioritas sebelum toples ini terisi oleh pasir dan kerikil trivial yang bukan menjadi prioritas kita. Menentukan prioritas dan mengelola sumber daya membantu kita tetap fokus, produktif, dan seimbang menjalani rutinitas.
Perjalanan karir Biondi Sanda Sima cukup unik. Biondi kini bekerja sebagai konsultan pemerintahan berbasis digital di Bank Dunia, setelah sebelumnya terjun sebagai praktisi unit digital di Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar).
Setelah dipertemukan dengan Gubernur Jabar, Mochammad Ridwan Kamil pada akhir 2018, Biondi kemudian dipercaya sebagai Kepala Impementasi unit digital, Jabar Digital Service (JDS). Salah satu pembelajaran sekaligus pencapaian gemilang Biondi selama di JDS diantaranya adalah konseptualisasi dan eksekusi program Desa Digital serta pemakaian sistem informasi terpadu untuk penanganan pandemi, Pikobar. Di Bank Dunia, Biondi berharap mampu mereplikasi proses bisnis dan dampak unit digital seperti ini ke skala nasional.
Alumnus Departemen Hubungan Internasional (HI), menjelaskan, Bank Dunia membuka Young Professionals (YP) bagi siapapun yang tertarik melanjutkan karir. Sebagai jalur penerimaan, program ini dibuka setiap tahun dengan melibatkan tes, wawancara dan berbagai tahap lainnya. Namun sayangnya, proses rekrutmen ini masih sangat terbatas.
“Selain YP, umumnya Bank Dunia membuka kesempatan bekerja sebagai konsultan dengan mempertimbangkan pengalaman kerja dan kecocokan kompetensi. Untuk jalur ini, tidak ada tes yang terlalu rumit. Saya hanya perlu memahami lingkup kerja dan kecocokan kompetensi yang dibutuhkan dan melakukan beberapa kali wawancara,” terang Biondi.
Terkait aktivitasnya, pria yang pernah aktif sebagai co-chair di Indonesian Youth Diplomacy tersebut menyebut kemampuan riset sebagai salah satu hal kunci yang dibutuhkan di Bank Dunia. Riset umumnya dilakukan melalui pembandingan ke best practice dari negara lain, konsultasi dengan ahli dari dalam dan luar negeri, serta interaksi aktif dengan kementerian atau lembaga terkait substansi yang sedang digarap.
Selain itu, Biondi juga menitikberatkan pada digitalisasi pemerintahan. Biondi menekankan bahwa digitalisasi sangat krusial, terlebih di tengah pandemi Covid-19.
“Sayangnya, regulasi di Indonesia masih mengupayakan perubahan dari analog ke electronic-based government. Padahal, digital justru mencakup peranan lebih luas, yakni mengintegrasikan layanan dan menciptakan nilai tambah untuk meningkatkan efisiensi,” ungkap Biondi.
Contohnya dapat ditemui pada pembuatan dokumen sipil. Jika hanya berprinsip pada sistem e-Gov, hal yang didigitalisasi adalah proses dari masing-masing loket. Sedangkan sistem pemerintahan digital dapat menghubungkan semua layanan terkait. Masyarakat hanya perlu mengakses satu situs untuk menyelesaikan permasalahan.
“Jika menilik situasi di luar negeri, semua urusan penduduk yang ada hubungannya dengan pemerintah berada pada satu portal yang terintegrasi. Contoh idealnya, yakni United Kingdom (UK) yang hanya memiliki satu situs resmi pemerintah untuk semua layanan publik. Di Indonesia, gebrakan layanan terpadu digital umumnya masih dominan dilakukan oleh pihak swasta dan startup, namun kesadaran untuk mentransformasi sektor publik dan birokrasi pemerintah masih terfragmentasi,” ujar Biondi.
Selain aktif berkecimpung di Bank Dunia dengan fleksibilitas jam kerja, pria yang pernah menjadi spesialis komunikasi di Humanitarian OpenStreetMap Team ini juga memutuskan kembali mengabdi sebagai dosen Departemen HI FISIP Unhas. Ia ingin membagikan pengetahuan yang didapatkan. Nyatanya, sejak dulu Biondi berkeinginan untuk mengajar sebagai bentuk kontribusinya.
“Saya sudah punya kerinduan untuk mengajar sejak lama, tapi bukan menjadi dosen yang mengajar full time. Saya bersyukur, teknologi di tengah pandemi memudahkan saya mengajar secara daring di samping saya tetap menjadi praktisi,” tutur Biondi.
Menjalani aktivitas yang beragam, pria yang menyelesaikan magister di bidang Pembangunan Berkelanjutan di Peking University Beijing dan Kebijakan Ekonomi di SciencesPo Paris itu menegaskan pentingnya memiliki perencanaan 10 hingga 15 tahun ke depan. Hal tersebut tentu memudahkan siapapun untuk meraih visi yang diinginkan. Meski tidak semua hal sesuai rencana, motivasi untuk bisa melakukan yang terbaik harus dimiliki.
“Kita harus mampu menyiapkan masa depan, namun tetap fleksibel dengan dinamika perubahan. Saya tidak pernah membayangkan akan berada pada jabatan atau posisi A B C D E. Saya lebih menekankan keahlian apa yang harus dikuasai ke depannya. Karena jabatan tergantung dengan kesempatan, kompetensi, jaringan, dan juga keberuntungan, sedangkan keahlian bergantung pada keuletan kita sendiri” ungkap alumni Fisip Unhas ini.
Seusai mengerti arah yang ingin dituju, menentukan prioritas adalah hal kedua yang harus dilakukan, antara lain pola pikir yang luas, mengelola keuangan, hubungan dan jaringan, kesehatan, baik fisik dan kesehatan mental. Ibarat toples kehidupan, toples berisi banyaknya pilihan itu harus diisi dengan bongkahan batu besar prioritas sebelum diisi oleh hal lainnya.
“Adapun hal-hal remeh seperti kerikil dan pasir dapat masuk dengan sendirinya. Namun, bongkahan besar prioritas terkadang tidak bisa dimasukkan akibat keberadaan kerikil dan pasir yang terlebih dahulu memenuhi waktu kita. Mengetahui prioritas diri adalah hal utama, tapi harus tetap menjaga keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan,” jelas Biondi.
Lebih lanjut, pria yang pernah melakukan magang di Markas Besar UNESCO di Paris ini beranggapan, waktu adalah satu-satunya sumber daya yang didapatkan secara adil oleh semua orang. Meski demikian, ada harga yang harus dibayar dalam bentuk biaya kesempatan. Makanya penting agar kita mampu menentukan prioritas. Setelah mengetahui arah dan prioritas, siapapun tentu lebih mudah mengatur waktunya.
“Dalam membagi waktu, pola pikir juga menjadi penting. Kita harus belajar menghargai waktu. Lalu, kita juga perlu mempertahankan daftar tugas agar segala sesuatu dapat dilakukan runtut tanpa terlalu memberikan tekanan ke diri sendiri. Ingat kita manusia, bukan robot,” tegas Biondi.
Reporter: Nadhira Sidiki