Indonesia mencatat kasus kematian akibat Covid-19 tertinggi di dunia selama tiga hari berturut-turut pada 18-20 Agustus. Angka ini terlihat pada 19 Agustus lalu di mana menyentuh 1.492 kasus, yang sebelumnya sekitar 1.128 kasus.
Pemerintah Republik Indonesia Presiden Joko Widodo telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang diharapkannya bisa menekan laju penyebaran Covid-19 di Indonesia.
Peraturan paling pertama adalah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 dasarnya adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Lalu, diikuti dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non alam Penyebaran Covid-19, sebagai Bencana Nasional, dasarnya adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kemudian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Di sisi lain, terdapat asas yang mengikat yakni lex posteriori derogate legi priori atau hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama. Secara tegas Keputusan Presiden No. 11/2020 lebih dahulu terbit ketimbang Keputusan Presiden No. 12/2020, sehingga jika merujuk pada asas di atas, maka seharusnya digunakan adalah Keputusan Presiden No. 12/2020.
Setelah diterbitkannya 2 keputusan presiden tersebut, terdapat pula Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 sebagai derivasi dari Keputusan Presiden No. 11/2020.
Perlu dijelaskan, istilah PSBB hanya ditemukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b UU Kekarantinaan Kesehatan yang menyebutkan salah satu tindakan kekarantinaan kesehatan adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Berdasar dari itu, tentunya terjadi sebuah pembangkangan terhadap asas hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama, sebab yang seharusnya diberlakukan adalah Keputusan Presiden No. 12/2020 tersebut yang dasarnya adalah UU Penanggulangan Bencana dan UU Wabah Penyakit Menular bukan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Maka seluruh pengambilan kebijakan harus dilandaskan pada UU Penanggulangan Bencana dan UU Wabah Penyakit Menular. Di sinilah awal kerancuan pengambilan kebijakan oleh Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Pemerintah layaknya tidak menghiraukan segala pandangan ahli hukum yang sejak awal mengomentari kebijakan yang diambil pada tahun 2020. Sebagai contoh pandangan Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun yang menilai terbitnya Keputusan Presiden No. 11/2020 dan Keputusan Presiden No. 12/2020 adalah tumpang tindih.
Apalagi lagi terbitnya Keputusan Presiden No. 12/2020 tidak didahului dengan pencabutan Keputusan Presiden No. 11/2020. Akhirnya muncul kerancuan dan kebingungan di tengah masyarakat sebagaimana diungkapkan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti adanya kedua Keputusan Presiden tersebut berpotensi tumpang tindih dalam hal pengalokasian anggaran dan koordinasi, serta kebingungan di tengah masyarakat.
Kedua pandangan akademisi tersebut sangat logis, karena berdampak pada pengambilan kebijakan teknis penanganan Covid-19 di masa yang akan datang. PSBB yang merupakan bagian dari UU Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tidak menjadi langkah akhir pemerintah dalam menangani Covid-19.
Kebandelan Pemerintah semakin diperparah dengan munculnya berbagai istilah baru yang menurut penulis adalah sebuah dagelan. Disebut dagelan, sebab istilah yang digunakan dalam kebijakan tersebut tidak ditemukan pada peraturan perundang-undangan manapun.
Masih hangat di telinga terdengar istilah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Istilah PPKM menjadi viral pembahasannya mana kala diterbitkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Covid-19 di Wilayah Jawa dan Bali.
Serta terakhir kali diperpanjang melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2021 tentang PPKM Level 4, Covid-19 di Wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
PPKM yang berlevel tersebut menjadi dagelan, karena mempunyai level-level. Serta dasar hukum tertingginya (undang-undang) tidak jelas. Hanya didasarkan pada arahan Presiden. Tentunya hal ini menjadi persoalan akademis dan teknis. Melihat PPKM ini hanya dimuat dalam mendagri yang secara teknis yuridis keberlakuan hanya mengikat ke dalam instansi.
Berbeda halnya apabila dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya adalah berlaku secara universal di masyarakat. Apabila melihat kondisi tersebut memang sangat krusial, mengingat UU Wabah Penyakit Menular, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Penanggulangan Bencana sudah secara konkret mengatur teknis penanganan apabila terjadi pandemi seperti hari ini. Akan tetapi, terlihat sebuah pengabaian terhadap hal tersebut. Justru Pemerintah membuat istilah baru yang tidak jelas dari mana arahnya. Masyarakat semakin bingung dan angka fatalitas juga semakin meningkat.
Berdasarkan hal demikian, sudah seyogianya pemerintah melakukan perombakan kebijakan dengan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menangani Covid-19. Hal itu penting dilakukan agar tercapai kepastian hukum di masyarakat. Sebagaimana maksim hukum yang berbunyi insertum lex non est lex (jika tidak ada kepastian hukum, sama dengan tidak ada hukum sama sekali).
Penulis Aris Munandar, S.H., M.H.
Alumnus Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin