Kasus kekerasan seksual bukan hal baru bagi beberapa orang. Tidak ada satu organisasi pun yang memiliki data pasti kasus kekerasan seksual di Indonesia, khususnya di perguruan tinggi. Informasi perkara kekerasan seksual di kampus tidak merata dan hanya mencuat di beberapa titik tertentu, entah persoalan tersebut mencuat di jejaring sosial, atau hanya menjadi bahan ‘bisik-bisik’ antara sivitas akademika. Oleh karena, pelaku dan jajarannya yang mampu menutupi kasus tersebut dengan sempurna hingga korban tidak tahu ke mana harus melapor atau tidak memiliki kepercayaan untuk mengadu.
Perlu kita ketahui data kasus kekerasan seksual adalah fenomena gunung es, data yang diketahui hanyalah pucuk dari keseluruhan data perkara kekerasan seksual. Jumlah korban yang memutuskan tidak melaporkan perkara yang dialami kepada pihak kampus, aparat negara, hingga organisasi yang bergerak dalam bidang pendampingan korban kekerasan seksual didasari oleh budaya patriarki yang masih dianut di Indonesia, yang dapat menyebabkan budaya victim blaming kepada korban yang berani melaporkan kasusnya.
Salah satu penyintas dari perkara yang ditangani oleh Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas menyatakan tidak ingin melaporkan kasusnya kepada pihak kampus, dengan alasan “dia (pelaku) berpengaruh, saya takut di persulit ke depannya.”
Menurut data yang dirilis oleh Seruan Perempuan, mencatat total responden sebanyak 48 orang telah mengalami pelecehan dan atau kekerasan seksual (beberapa orang korban mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan seksual) di 10 Perguruan Tinggi di Kota Makassar.
Pelaku kekerasan tertinggi oleh mahasiswa dan dosen. Artinya, kasus-kasus kekerasan seksual ini terjadi di kampus atau dilakukan oleh sivitas akademika ataupun terjadi di luar kampus tapi, dalam acara-acara resmi, seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN), magang, penelitian, konsultasi hingga acara kemahasiswaan. Data di atas dapat menggambarkan bagaimana lingkungan perguruan tinggi yang tidak aman dari kekerasan seksual.
Status perguruan tinggi, gawat kekerasan seksual. Menurut Komnas perempuan sepanjang 2015-2020 Komnas perempuan menerima 27 persen aduan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Data hasil survei Mendikbud Ristek (2019) kampus menempati urutan ketiga terjadinya tindak kekerasn seksual, yaitu sebanyak 15 persen, setelah jalanan dan transportasi umum. Survei Ditjen Dikristik (2020) juga diketahui 77 persen dosen menyatakan “kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.”
Dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di kampus sangat banyak kesulitan yang dialami, mulai dari korban yang dilapor balik oleh pelaku dengan tuduhan pencemaran nama baik, ancaman Drop Out (DO), intimidasi dan kriminalisasi kepada korban. Perkara yang sulit di proses lantaran pelaku adalah pemegang kuasa di birokrasi serta investigasi kampus yang dilakukan secara tertutup dan berujung tidak adanya putusan yang berpihak bagi korban.
Dari data di atas memunculkan pertanyaan, apakah kampus tidak menjadikan kekerasan seksual sebagai suatu fenomena yang mendesak?
Sejak 10 Februari 2020, inisiasi tentang Permendikbud telah hadir. Audiensi dilaksanakan pada 6 Maret 2020, kemudian Mendikbud menyetujui rekomendasi tersebut pada bulan Mei 2020.
Selanjutnya, Selasa, 26 Oktober 2021 menjadi kabar baik untuk seluruh jaringan yang berjuang dalam pengawalan kasus kekerasan seksual. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Nadiem Makarim, akhirnya mengeluarkan Peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkup Perguruan Tinggi (Permen PPKS).
Berdasarkan pernyataan sikap yang dirilis oleh Jaringan Muda Setara (sebuah jaringan perempuan dari 15 kampus di Indonesia mendorong pemerintah segera mengeluarkan peraturan stop kekerasan seksual di universitas.) “Bagi kami, Permen PPKS ini akan sangat mendukung gerakan orang muda kampus melawan kekerasan seksual. Terutama Permen PPKS ini menyediakan pedoman bagi perguruan tinggi untuk membudayakan praktik pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berpihak pada korban.”
Budaya berpihak pada korban tersebut tertuang dalam komitmen Permen PPKS, seperti:
- Mengenal konsep relasi kuasa dan gender dalam mendefinisikan kekerasan seksual (Bab I Ketentuan Umum), hal ini membantu perguruan tinggi untuk secara tegas melihat definisi dan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sering kali tidak diakui terjadi di kampus. Dalam banyak kasus pelaporan kekerasan seksual, acapkali korban kembali menjadi korban karena disudutkan dengan pertanyaan terkait dengan penampilan, ekspresi, hubungan dengan pelaku, dsb. Pemahaman ini akan mencegah keberulangan atau reviktimisasi pada korban.
- Mekanisme pencegahan yang komprehensif dan melibatkan setiap unsur sivitas akademika melalui penguatan tata kelola seperti pembentukan satuan tugas, penyusunan pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, penyediaan layanan pelaporan kasus, sosialisasi, pemasangan tanda informasi serta jaminan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas (BAB II Pencegahan). Dengan demikian tidak perlu lagi ada kekhawatiran bahwa aturan ini hanya mengakomodasi kelompok tertentu dan meninggalkan kelompok rentan lainnya.
- Menjamin pemulihan korban (Bab Penanganan Bagian Kelima) dengan intervensi yang sesuai dengan apa yang diperlukan dan disetujui oleh korban. Orientasi dari aturan ini bukan hanya penghukuman terhadap pelaku namun juga memperhatikan pemulihan yang korban perlukan baik akibat dari kekerasan seksual yang dialaminya atau pun yang diakibatkan dari proses investigasi.
- Mencegah kriminalisasi korban dan pembela dalam penanganan kasus yang sedang berlangsung (Bab Penanganan Bagian Ketiga). Sebagai bagian dari pelindungan korban dan pembela, Permen PPKS ini menjamin keberlanjutan hak serta perlindungan dari ancaman fisik, non-fisik hingga kriminalisasi, bagi korban dan saksi yang melaporkan peristiwa kekerasan seksual.
- Sanksi yang tegas dalam penanganan kekerasan seksual di kampus (Bab Penanganan Bagian Keempat). Sanksi yang diatur terbagi menjadi tiga bagian yaitu ringan, sedang dan berat. Sanksi ringan mewajibkan pelaku untuk menyatakan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa. Selain itu, pelaku yang mendapatkan sanksi ringan dan sedang juga diwajibkan untuk mengikuti pembinaan konseling untuk memberikan efek jera sehingga tidak terjadi keberulangan.
- Menjamin ruang partisipasi warga kampus untuk mendukung korban melalui pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Bab IV Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual). Partisipasi dari setiap unsur sivitas akademika yang berpihak pada korban seperti mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan lainnya adalah kunci dalam implementasi Permen PPKS ini.
- Memberikan perlindungan hak korban dan saksi (BAB III Penanganan Bagian Ketiga Perlindungan). Aturan ini memberikan jaminan perlindungan bukan hanya kepada korban, melainkan juga kepada saksi. Perlindungan tersebut di antaranya adalah perlindungan akademis dan/atau pekerjaan sebagai pendidik maupun tenaga pendidik, perlindungan dari ancaman fisik maupun non-fisik, perlindungan akan kerahasiaan identitas, perlindungan dari ancaman pidana atau perdata hingga penyediaan rumah aman bila korban dan saksi memerlukan.
- Memastikan tanggung jawab perguruan tinggi dalam meningkatkan keamanan kampusnya dari kekerasan seksual. Permen PPKS ini mewajibkan kampus menjadi salah satu kunci yang mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Apabila perguruan tinggi tidak melaksanakannya, maka akan berakibat pada pengurangan-pengurangan hak yang dimiliki perguruan tinggi tersebut.
- Mengakomodasi kebutuhan disabilitas dalam tiap proses pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Hal ini merupakan bentuk perlindungan Permen PPKS terhadap hak-hak disabilitas yang sering kali diabaikan. Selain itu, pengakomodasian kebutuhan disabilitas juga menunjukkan inklusivitas Permen PPKS terhadap ragam kerentanan korban kekerasan seksual.
- Mengakomodasi keragaman kondisi kampus di Indonesia sehingga Pemimpin Perguruan Tinggi diberi wewenang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang belum diatur di Permen PPKS (Pasal 50) dan kepastian hukum untuk meminta bantuan dari Mendikbud Ristek dalam penanganan kasus-kasus yang berat (Pasal 56).
Permen PPKS tidak dapat menjadi tolak ukur keberhasilan penghapusan kekerasan seksual di kampus, tetapi dapat menjadi dasar pergerakan dalam melahirkan kampus aman dan bebas dari kekerasan seksual.
Mari bersama-sama belajar tentang Permen PPKS dan mengawal pengimplementasiannya di seluruh Indonesia, khususnya Universitas Hasanuddin. Karena, Mahasiswalah yang akan menjadi penggerak utama aturan ini. Organisasi mahasiswa yang bersentuhan langsung dengan korban dan tanpa mahasiswa, aturan ini tidak akan bertahan.
Penulis Siti Khafidzah Mufti, mahasiswa Kehutanan,
angkatan 2017.
Sekaligus Koordinator Umum Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas.