Media sosial dan pemberitaan seketika riuh, seliweran berita ditangkapnya sindikat pinjaman online (pinjol) beberapa pekan lalu. Sontak hal ini menjadi buah bibir di masyarakat, tak ada seorang pun luput dari pembicaraan akan peristiwa ini. Kecurangan yang dilakukan sekelompok orang, guna mendapatkan keuntungan secara ilegal. Kian marak terjadi dalam kehidupan sekarang ini, dengan memanfaatkan kondisi di tengah pandemi. Apa-apa serba sulit dan butuh duit.
Modusnya pun sederhana, pelaku menawarkan pinjaman dana segar kepada masyarakat melalui aplikasi di smartphone. Tak tanggung-tanggung persyaratan pinjaman dinilai teramat mudah, hanya dengan bermodal Kartu Tanda Pengenal Elektronik (E-KTP), dan mengikuti beberapa arahan langsung melalui gawai. Setelah itu, kreditur tinggal menunggu uang pinjaman akan masuk dalam rekening yang telah didaftar.
Dengan kemudahan mendapat fresh money, menjadi daya tarik masyarakat kelas bawah, pelbagai persoalan yang membutuhkan dana, seketika terselesaikan. Mau bayar cicilan kendaraan, uang sekolah anak, atau hanya sekedar bertahan hidup membeli sembako. Dari sini cikal bakal persoalan terjadi, batasan waktu yang dibilang cukup singkat untuk melunasi dan ditambah lagi dengan bunga hutang serta ketidakmampuan dalam mengembalikkan dana dengan tenggang waktu yang singkat.
Gali Lubang Tutup Lubang
Ketika waktu sudah masuk jatuh tempo pembayaran. Menutup lubang yang lama dan membuka lubang baru adalah jalan keluar yang paling banyak ditempuh oleh kreditur, guna menyelesaikan persoalan pinjaman. Sayangnya opsi ini menjadikan efek bola salju bagi para pengguna jasa keuangan digital. Membekaknya hutang yang berakibat gagal bayar dengan waktu yang telah ditetapkan.
Apabila hal di atas terjadi, maka ada jalur intimidasi kreditur menjadi opsi lanjutan yang ditempuh pihak lintah digital tersebut. Ini sesuai dengan pengakuan sejumlah korban yang terjerat tipu daya pinjaman online. Salah satu korban Aan (bukan nama sebenarnya), seorang karyawan swasta di Jakarta buka-bukaan perihal jahatnya praktik penagihan pinjol ilegal.
Ia mengatakan pihak pinjol bisa mengakses galeri ponselnya untuk mengambil foto yang digunakan sebagai senjata ancaman. Aan menduga, akses tersebut bisa dilakukan lantaran pihak aplikator mewajibkan penggunanya untuk memberi akses dukungan seperti kontak, galeri, pesan singkat dan riwayat telepon. Kebocoran data masyarakat tidak bisa dihindari.
Kebocoran Data
Dalam pengakuan tersangka sindikat penyedia jasa pinjol, mereka menawarkan pinjaman melalui pesan singkat. Nomor-nomor mereka dapatkan dari lapak penjual pulsa, setelah mendapatkan nomor yang acak (random), pelaku pun mengirimkan sms, dengan muatan pesan mengajak para calon peminjam, pastinya dengan iming-iming bunga rendah dan segala fasilitas kemudahan. Dengan begini siapa yang tak tergiur.
Pada 2019, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerima 19.711 aduan terkait pinjol. Dari hampir 20 ribu aduan tersebut, sebanyak 9.270 atau 47,03 persen kategori berat. Sedangkan 10.441 atau 52,97 persen pelanggaran ringan atau sedang dilansir dari Kompas 2021.
Disamping hal tersebut, OJK juga menyarankan beberapa langkah pencegahan untuk masyarakat lakukan agar tidak menjadi salah satu korban pinjol ilegal, di antaranya : Memeriksa legalitas fintech lending tersebut apakah telah terdaftar dan berizin OJK. Hal ini dapat dilakukan dengan menghubungi kontak OJK di 157 atau memeriksa daftar pinjol legal yang tercantum pada situs resmi OJK.
Kedua, segera menghapus SMS tawaran pinjol yang diterima, karena pinjol legal berizin OJK tidak diperbolehkan menawarkan pinjaman melalui saluran komunikasi pribadi, baik SMS atau pesan instan pribadi lainnya tanpa adanya persetujuan. Ketiga, menjaga data pribadi, yaitu lebih waspada untuk mengunduh sembarang aplikasi kemudian mengunggah dokumen pribadi seperti KTP. Selanjutnya, hindari bertransaksi keuangan yang menggunakan jaringan Wi-Fi umum.
Action by accident, laju perkembangan teknologi, selangkah lebih di depan ketimbang kecepatan regulasi. Era digitalisasi, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus ada extraordinary action yang cepat agar masyarakat tidak jadi korban kejahatan dunia digital.
Literasi Keuangan
Belakangan ini memang, banyak orang membicarakan fintech. Otoritas Jasa Keuangan, menargetkan sekitar 75 persen dari penduduk dewasa di Indonesia bisa mengakses layanan institusi finansial, dan masyarakat pun semakin beramai-ramai memanfaatkan jasa fintech untuk mencapai tujuan finansialnya.
Di sisi lain kemampuan akan literasi keuangan atau dengan kata lain kemampuan mengelola keuangan sangat buruk. Berdasarkan OCBC NISP Financial Fitness Index, diketahui tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia pada 2021 baru berada di level 37,72 dari total skor 100. Masih jauh lebih rendah dibanding negara tetangga Singapura yang pada tahun lalu tercatat di level 61.
Menurut Manurung (2009:24) literasi keuangan adalah seperangkat keterampilan dan pengetahuan yang memungkinkan seorang individu untuk membuat keputusan dan efektif dengan semua sumber daya keuangan mereka. Mencegah lebih baik daripada mengobati, ungkapan ini sangat tepat untuk mengigatkan kita pentingnya memilah dan memilih lembaga keuangan yang kredibel (terdaftar di OJK) dalam menyelesaikan masalah keuangan.
Ada beberapa langkah awal dalam menyikapi masalah financial. Pertama menghindari hutang itu sendiri. Jikalau terpaksa berhutang lakukanlah pencatatan keuangan. Kedua membuat rencana keuangan perperiode semisal sebulan. Ketiga menyisihkan 10-15 persen pendapatan untuk tabungan atau menyiapkan dana darurat yang sewaktu-waktu bisa digunakan.
Yang menjadi poin penting yakni, membuat prioritas belanja untuk memenuhi kebutuhan dan bukan karena hasrat keinginan. Tetap menjadi diri sendiri (be your self), jangan ikut-ikutan orang lain. Tips terakhir adalah menambah pendapatan keluarga.
Penulis Hairialsah Malapu,
mahasiswa Magister Ekonomi Perencanaan dan Pembangunan,
FEB Unhas