Dari balita hingga saat ini saya dominan tumbuh tidak bersama kedua orang tua, melainkan bersama nenek. Sejak kecil, saya menyapanya dengan sebutan Ibu.
Ibu selalu mengantarkan saya menyeberang dari rumah ke Masjid untuk belajar mengaji. Saya mulai diajarkan mengenal huruf Hijaiyah seperti a ba ta tsa dan seterusnya. Menjelang Isyah kami beramai-ramai salat berjamaah, setelahnya diajarkan materi klasikal seperti doa harian, kisah nabi, surah pendek.
Melakoni kebiasaan tersebut, hampir enam tahun lamanya. Saya menemui banyak orang yang datang dan pergi. Teman yang dekat juga tiap tahun hampir silih berganti. Pada awal-awal belajar mengaji di Masjid, rasanya malu-malu dan kebanyakan diam. Sampai pernah kejadian uang seribu rupiah yang diberikan ibu menjadi pajakan anak-anak yang lebih besar. Saya pasrah saja memberikannya.
Hingga suatu ketika, ibu merasa curiga tiap hari uang habis dengan tidak ada satupun yang dibeli. Kecurigaan ini menjurus dengan ibu mendatangi Masjid dan mencari tahu keganjilan tersebut. Melapor ke guru dengan keresahannya. Anak-anak yang sering memajaki saling tunjuk-menunjuk, takut, dan tidak ingin disalahkan.
Setelah peristiwa itu, saya malah menjadi bual-bualan di Masjid, sebab disinyalir anak yang manja karena pajamma (istilah Makassar yang artinya suka melapor ke orang tua).
Beranjak naik kelas 5 Sekolah Dasar (SD), teman-teman seusia mulai masuk mengaji. Saya masuk dengan cepat sehingga hanya sedikit yang bisa menjadi teman. Saat sebaya saya baru mulai masuk, kami dengan cepat berteman baik. Apalagi adanya kegiatan perlombaan antar Taman Kanak-Kanak dan Taman Pendidikan Al-Quran (TKA-TPA). Berdelapan kami membentuk tim, tiap pulang mengaji, kami memanfaatkan setengah jam berlatih mempesiapkan lomba. Seiring waktu berlalu, meski banyak perdebatan, kami melebur membentuk geng antar santri.
Menjelang akhir masa SD, kami semua sudah sampai tahap Al-Quran, sebentar lagi akan selesai. Di Masjid, tempat saya belajar jika sudah menjadi santri bisa mengikuti kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) untuk dikader menjadi remaja masjid.
Kami yang masih sering ke Masjid, diminta membantu guru mengajarkan mengaji. Hal itu berlanjut hingga mulai berkurang yang datang ke Masjid, beranjak kelas 3 SMP, saya menjadi guru termuda di masjid.
Saat SMA, jarak antara rumah dan sekolah harus ditempuh sejauh 17 km. Setiap hari pulang balik mengendarai sepeda motor, program full day school, sore hari baru pulang. Tiba di rumah menjelang maghrib, biasa masih dengan ransel di pundak dan berpakaian putih abu-abu, saya langsung singgah di Masjid untuk mengajar. Lelah seharian berkegiatan terbayarkan dengan tingkah lucu dan obrolan anak-anak yang sangat menghibur.
Masa-masa akhir SMA saya bergabung dalam bimbingan belajar @alifiqra dan beberapa privat panggilan, walau diimingi dengan materi yang lebih besar dibanding di Masjid. Saya tidak pernah ingin meninggalkan Masjid, seperti memiliki ikatan batin. Hampir separuh masa pertumbuhan saya di tempat tersebut. Hingga terbiasa dengan kebiasan ini dan terasa aneh rasanya bila meninggalkannya.
Saya banyak belajar cara membimbing anak-anak dan menarik hatinya untuk belajar. Belajar bersikap dengan anak yang satu dengan yang lain. Saya kemudian menyadari anak-anak, orang dewasa atau tua punya rumus berbeda untuk menghadapinya. Tak hanya itu, saya juga belajar memberi klasikal, berbicara di depan ratusan anak-anak dan melatih diri untuk berani mengemukakan banyak hal.
Namun, begitu tak sedikit mendapat penolakan dari mereka dalam bentuk tidak ingin diajar, tapi tak sedikit pula ada yang mencari saya. Dari itu saya menyadari bahwa reaksi atau penilaian orang terhadap diri sendiri bukan sesuatu yang bisa dikontrol. Sebaik-baiknya pribadi pasti ada saja yang tidak suka.
Memiliki kekurangan walau tidak nampak, bahkan sempat marah dengan tuntutan beberapa orang terdekat ‘kau itu guru mengaji, masa begini, kenapa begitu’ dan tuntutan lainnya yang kadang membuat marah dengan predikat ini.
Pengalaman ini membuat saya belajar menghadapi tiap individu yang berbeda. Dapat berdaptasi dan sadar akan banyak hal. Hingga, saya memilih untuk tetap belajar melalui kondisi seperti itu. Bangga dengan apa yang menjadi kebiasaan saat ini dan berusaha untuk bisa terus berbuat kebaikan.
Seorang guru pernah berkata kepada saya. “Bukan hak atau kemampuan kita untuk membuat seseorang pintar, tapi haknya Allah. Kita hanya perantaranya, mau anak itu memahami atau tidak yang penting sudah mengajarkan dengan kepasitas kita dan tak lupa mendoakannya.”
Penulis Nurul Hikma
Mahasiswa Agroteknologi, Fakultas Pertanian
angkatan 2019
Sekaligus, Admin Media Sosial PK identitas Unhas