“Kalau ‘aku’ berubah, dunia akan berubah. Ini berarti dunia hanya dapat diubah oleh aku dan tidak ada orang lain yang bisa mengubahnya untukku……” Kutipan halaman 312~Berani Tidak Disukai
Seberapa besar keinginan kamu untuk berubah ? Seberapa banyak hal dari dirimu yang tidak kamu sukai, yang secara tidak kamu sadari sering kali kamu bandingkan dengan orang lain ?
Pertanyaan di atas akan kita jumpai saat membuka pembahasan awal yang ada dalam novel semi psikologi berjudul Berani Tidak Disukai. Judulnya memang cukup nyentrik dan terkesan gambang di telinga, agak berbeda dengan buku-buku di umumnya yang menggunakan judul tersirat.
Namun, seperti peribahasa ‘Don’t judge a book by it’s cover’ makna yang terkandung dalam karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga ini tak sedangkal artinya. Apa yang tersurat tak selalu sama dengan yang tersirat bukan ?
Manusia sejatinya adalah makhluk sosial yang memiliki peran dalam lingkungan. Dan untuk itu, manusia seharusnya membaurkan diri dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Bagaimana jika ada orang yang mengasingkan diri dari masyarakat? Menjadi asosial misalnya, seperti kisah yang diceritakan di awal pembahasan buku ini.
Buku ini akan menghantar pembaca seolah-olah menjadi pengamat percakapan antara tokoh filsuf dan seorang pemuda yang merasa hidupnya tidak bermakna. Pembaca turut tenggelam dalam pikiran-pikiran kedua tokohnya. Narasi yang diangkat pun dikemas dalam bentuk diskusi aktif, disertai subjudul yang menarik tiap bab. Membawa suasana seakan pembaca menjadi tokoh Sang Pemuda yang mencari makna hidupnya.
Tajuk yang diangkat pun bersumber dari teori psikologi Adler, yang disebut Teleologi. Dibanding dengan melihat hari ini sebagai ‘akibat’ dari kemarin, teori ini justru menganggapnya sebagai pilihanmu saat ini, di sini. Sehingga, Teleologi milik Freud, yakni teori tentang hubungan sebab-akibat sesungguhnya tidak ada. Dengan kata lain, masa lalu dan trauma tak dibenarkan.
Cukup rumit? Tentu. Tidak ada yang akan percaya jika menganggap trauma itu tidak ada dan masa lalu itu tidak berhubungan dengan sekarang. Suguhan percakapan di bagian awal ini membuat saya sedikit keki dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Sang Filsuf.
Bagi saya pribadi, trauma dan masa lalu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari diri tiap manusia dan merupakan identitas seseorang sebagai makhluk sosial. Sama halnya dengan menganggap tidak bernilai biaya yang dibayarkan kepada psikolog atau psikiater, jika kamu pernah ke sana dengan alasan trauma. Konflik yang diangkat Ichiro ini memang tampaknya kompleks untuk ditangkap orang awam.
Namun, menyimak isi buku ini dari awal, membuka pandangan kita lebih luas tentang perasaan inferior. Sumber semua perasaan negatif yang kita miliki.
Sang Filsuf dengan pembawaan tenang yang dalam, meladeni perdebatan pemuda naif yang menyimpan perasaan minder selama hampir seumur hidupnya. Percakapan yang berpesan bahwa ia–si pemuda, mengharapkan dirinya untuk bisa berubah menjadi lebih baik, populer, bersinar di mata lawan jenisnya, seperti pemuda lain yang seumuran dengannya di luar sana.
Dengan lantang menggebu-gebu, ia mengungkap kemarahannya yang terpendam selama bertahun-tahun pada ayah dan saudara-saudaranya. Menjadi akibat dari masa lalu yang terus membawa perasaan terasingkan dan dibanding-bandingkan oleh keluarganya. Seandainya ia bisa memilih, ia ingin berubah namun tidak tahu harus memulai dari mana.
Apa yang dialami oleh pemuda ini jika saya pandang dengan perspektif pribadi, tentu sangat relevan untuk orang menjelang umur 20 tahun. Perasaan memberontak dan kecewa pada orang tua terus terbawa, membuat kita berpikir mungkinkah sekarang terbentuk dari kemarin. Atau pertanyaan, “Mungkinkah hari ini tercipta karena kemarin (masa lalu)?” serta keyakinan bahwa, “Aku tercipta dari masa lalu.” Pemikiran ini yang tertanam dalam benak si pemuda dan saya sebagai pembaca.
Pemikiran ini kemudian yang dibantah. Semua rasa itu tidak muncul dan terbawa atau pun tercipta dari masa lalu. Dan kutipan, “aku tercipta dari masa lalu”, tidak pernah dibenarkan dalam psikologi Adler.
Teleologi menganggap apa yang terjadi sekarang karena kamu menghendakinya. Kamu membenci sesuatu, sedih, tertekan, atau pun kecewa, karena tidak sengaja kamu menghendakinya. Tak lagi dipungkiri, otak adalah organ tercerdas yang mampu menerima dan merespon dalam kecepatan cahaya.
Beberapa hal yang ditekankan Ichiro dan Fumitake dalam buku yang terbit tahun 2019 tersebut; Masa lalu dan saat ini tidak saling berhubungan sehingga menyalakan masa lalu atas ketidakmampuanmu hari ini adalah kesalahpahaman. Kedua, jangan pernah menunggu untuk berubah, tidak akan pernah ada waktu yang pas untuk itu. Sekarang, saat inilah waktu terbaiknya. Terakhir, semua sumber perasaan manusia adalah perasaan inferior. Walaupun hal tersebut ada dalam diri tiap manusia, tidak ada gunanya untuk menyimpan perasaan itu berlarut-larut, apalagi menjadikannya patokan atas segala tindakan yang kita miliki.
Untuk menunjang argumen tokohnya, plot yang diangkat beralur maju mundur. Agak disayangkan, cara pembahasan dalam buku agak berbelit, dan ditunjang bahasa khas novel terjemahan yang sedikit asing di telinga. Meski demikian, buku ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang tengah bingung dengan jenis pilihan yang diambilnya. Dan bagi mereka yang sedang merencanakan masa depan tanpa masa lalu yang menghantui, khususnya remaja atau pemuda yang memasuki usia 20-an.
Data Buku
Penulis: Ichiro Kishimi Dan Fumitake Koga
Penerbit: Gramedia
Tebal: 345 hlm
Cetakan: Cetakan pertama 7 Oktober 2019
Oktafialni Rumengan