Judul Buku: Sekolah Itu Candu
Penulis: Roem Topatimasang
Penerbit: INSISTPress
ISBN: 978-602-0857-96-1
Tebal: 161 Halaman
“Sekolah kini menjadi milik dan alat dari satu kekuatan raksasa yang atas nama dan dengan label ‘demi pembangunan, industrialisasi, modernisasi, globalisasi.’”
Bisa ditebak bahwa ketika kita mendengar kata “sekolah”, pikiran kita akan mengarah ke satu bangunan di mana kita bisa bertemu teman-teman sebaya, belajar mata pelajaran yang tiap harinya berbeda-beda, tentang keseruan ketika jam kosong, atau mendengarkan ceramah guru yang biasanya memiliki durasi super panjang.
Pasti semua dari kita pernah merasakan duduk di bangku sekolah, dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), atau bahkan sekarang kamu mungkin sedang berstatus mahasiswa. Tentunya masa-masa itu memiliki segudang cerita yang mungkin ketika dituliskan tidak cukup dengan sebuah buku kosong setebal 300 halaman, apalagi dalam selembar kertas yang disebut ijazah.
Tapi pernahkah kita bertanya-tanya sebelumnya tentang apakah sekolah itu? Atau yang lebih gila lagi kita bertanya-tanya tentang apakah kita betul-betul butuh sekolah? Pertanyaan-pertanyaan kritis itu semestinya pernah terlontar dari mulut kita.
Itulah yang mungkin juga ditanyakan Roem Topatimasang dalam bukunya, ‘Sekolah itu Candu”. Roem banyak melontarkan opini-opininya yang kritis dan gamblang dalam melihat sistem pendidikan di Indonesia yang ia rasa tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan negara ini.
Jika kita melihat sejarah dari sekolah itu sendiri yang dimulai pada masa Yunani Kuno, orang Yunani Kuno terbiasa untuk berkunjung ke tempat seseorang yang mereka rasa pandai, mereka menanyakan tentang suatu ihwal atau belajar mengenai suatu ilmu yang mereka butuhkan dalam kehidupan. Dan semua itu mereka lakukan hanya sekedar mengisi waktu luang.
Mereka menyebut kegiatan itu dengan istilah skhole, scola, scolae, atau schola. Keempat kata itu memiliki arti yang sama yaitu “waktu luang yang digunakan khusus untuk belajar”. Seiring berkembangnya zaman, kegiatan ini berevolusi menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap individu yang kini semakin sistematis.
Kini sekolah menjelma sebagai lembaga yang bisa menentukan nasib seseorang. Hal ini membentuk stigma seseorang yang tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan dicap masyarakat sebagai orang yang bodoh atau gagal. Padahal jika kita melihat secara substansial, sekolah hari ini tidak betul-betul mencetak siswa yang sesuai dengan yang diharapkan. Kebanyakan dari mereka ketika lulus hanya akan menambah barisan para pencari kerja yang tak kunjung diterima di perusahaan yang diinginkan.
Seorang pakar psikologi Pendidikan, Benjamin S Bloom mengatakan bahwa sekolah itu pada dasarnya memiliki tiga fungsi pembentukan kepribadian manusia, yaitu untuk membentuk watak dan sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), dan melatih keterampilan (psychomotoric atau conative domain). Ketiga fungsi tersebut menjadi alasan bahwa seseorang butuh akan yang namanya sekolah.
Namun, Ketika kita melihat lebih jauh dan kritis, sekolah tidak menjalankan fungsi yang telah disebutkan tadi. Bukankah orang-orang yang melakukan korupsi hari ini juga merupakan lulusan dari lembaga-lembaga pendidikan? lalu seberapa banyak penemuan-penemuan dan teknologi baru yang ditemukan oleh sekolah di banding oleh lembaga militer dalam mempercanggih alat tempur mereka.
Jika dibandingkan, lebih hebat mana sih seorang lulusan teknik mesin dengan seorang anak berusia 15 tahun yang telah bekerja sebagai montir di sebuah bengkel karena harus mencari nafkah di usianya yang sangat dini. Pertanyaan-pertanyaan itu dilontarkan oleh penulis yang dengan berani mengambil kesimpulan bahwa sekolah itu sudah mati.
Semestinya, sekolah seharusnya menjelma seperti oasis, kebun, atau taman, yang bermakna bahwa sekolah itu sebagai tempat memuaskan dahaga atas ilmu. Sekolah juga sebagai tempat berteduh dalam kegersangan pemikiran yang usang, atau sebagai tempat menyulam ilmu dan mimpi-mimpi agar bisa menjadi kenyataan yang begitu indah.
Secara lebih lanjut, buku ini membahas lebih banyak persoalan-persoalan pendidikan di Indonesia, mulai dari banyaknya jumlah sekolah, seragam sekolah, sekolah kejuruan, kasat-kusut proses penerimaan siswa baru,hingga eksistensi sekolah itu sendiri. Dengan gaya penulisan yang sedikit jenaka namun berani, penulis berhasil menyinggung masalah-masalah yang dihadapi oleh lembaga pendidikan di Indonesia. Selamat Membaca teman-teman!
Achmad Ghiffary M