Seperti dua sisi koin yang berbeda, kelebihan dan kekurangan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam diri manusia.
Halo, kita bertemu lagi, yah? Kali ini aku ingin menceritakan sebuah kisah padamu. Tentang aku yang masih belajar menerima dua sisi berbeda dalam diri.
Jadi kisahnya seperti ini ….
Suatu hari, di antara bisik-bisik diskusi kelas, aku diam termenung memegang pulpen di atas selembar kertas putih bergaris. Memikirkan dengan serius jawaban atas satu tugas dari dosen muda yang berdiri di depan kelas, mengawasi dengan senyum yang sesekali terbit di bibirnya. Mungkin … merasa lucu melihat mahasiswa kelabakan hanya karena satu pertanyaan darinya.
Hanya satu pertanyaan yang pada dasarnya sederhana. Sangat.
Aku tidak harus menyusuri lembaran kertas buku atau mencari di antara ratusan jawaban yang disediakan tuan Google untuk menemukan jawabnya. Karena semuanya ada pada diriku, bahkan jika aku menjawab dengan asal-asalan, dosen di hadapanku akan tetap membenarkannya. Dia tidak akan tahu apakah yang ku tuliskan kebenaran atau hanya sebatas kalimat asal-asalan untuk menyelesaikan tugas dengan cepat.
Namun, tidak. Karena aku tertarik dengan satu pertanyaan itu. Aku ingin mengenal siapa diriku.
“Siapa kamu? Apakah kamu mengenal siapa dirimu? Coba kalian tuliskan segala kelebihan dan kekurangan yang kalian miliki di atas selembar kertas, kenali diri kalian dari selembar kertas itu.”
Perkataan dari wanita muda yang baru setahun memegang gelar dosen itu kembali terngiang di kepalaku. Bak kaset rusak yang tidak akan berhenti sampai ku goreskan jawabannya dia atas selembar kertas.
Setelah mengambil nafas panjang, ku putar pulpen hitam di tanganku kemudian menuliskan beberapa kata yang telah terpikirkan.
Kelebihan:
Selalu mau belajar hal baru
Pendengar yang baik
Bisa menerima kritikan dan saran
Dapat melayout buku dan majalah
…..
Ternyata setelah menuliskan satu kata, segalanya terasa lebih mudah. Tidak ada yang begitu sulit dari pertanyaan itu.
Iya, ku pikir begitu. Namun, nyatanya, sesudah menulis lebih dari sepuluh poin kelebihan termasuk sifat dan skill yang ku miliki, tangan yang memegang pulpen itu kembali mematung.
Bukan, bukan karena aku tidak tahu jawabannya. Aku tahu. Bahkan semuanya sudah terlintas di kepalaku, terputar berulang-ulang. Namun … saat itu keraguan melandaku. Seolah menjadi tali tak kasat mata yang menahanku melanjutkan.
Aku tidak ingin menampilkan kekurangan itu. Aku tidak mau ‘cacat’ itu muncul ke permukaan. Mantra itulah yang menjadikanku enggan menulis kebenaran dalam secarik kertas.
Pernahkah kamu mengalami hal yang sama? Berusaha menyembunyikan kekurangan yang kamu miliki, tidak ingin orang lain mengetahuinya. Kamu ingin dianggap sempurna oleh orang lain.
Setelah kelas hari itu, aku sering kali merenungkannya, apakah kekurangan itu sebegitu buruknya? Mengapa aku ingin dianggap sempurna oleh orang lain? Apakah itu membuatku senang? Berbagai pertanyaan timbul di kepalaku hanya karena satu pertanyaan sederhana dari dosen itu.
Hingga kemudian, suatu kali, saat bosan dengan segala tugas yang menumpuk, aku memilih membaca sebuah buku best seller dari Korea Selatan, mungkin beberapa dari kalian sudah pernah membacanya. Judulnya I Want to Die But I Want to Eat Tteokbokki. Sebuah buku yang diciptakan dari pengalaman sang penulis yang mengidap distimia.
Pada buku itu ku temukan jawaban atas pertanyaan yang selama ini menghantuiku. Dari perbincangan seorang psikologis dan pasiennya, ku dapatkan bahwa untuk mengenal diri, aku harus bisa menerima dua sisi yang menjadi bagian dalam diriku. Baik dan buruk.
Setelah kita mampu menerima bukan hanya kelebihan namun juga sesuatu yang kita anggap ‘cacat’, segala hal menjadi sangat mudah.
“Di saat anda bisa menerima diri Anda apa adanya, Anda akan merasa lebih bebas dan nyaman.”
Itu adalah kutipan yang paling berkesan dari buku ini. Aku ingin membuktikan apakah pernyataan itu benar adanya atau hanya sekedar omong kosong belaka.
Kemudian, aku mencoba menunjukkan kekuranganku pada orang-orang terdekat yang telah lama ku kenal. Ku katakan pada mereka, “Aku adalah seorang pemalas, di rumah bahkan jarang menyentuh cucian piring. Kamar pun ku biarkan berantakan.”
Apakah aku merasa buruk tentang itu setelahnya? Tidak, aku malah merasa lega. Aku tidak perlu berpura-pura menjadi ‘perempuan rajin’ di depan mereka. Tidak perlu lagi menjadi sempurna.
Melihat eksperimen kecil itu berhasil. Ku coba lagi dengan kekuranganku yang lain. Selama ini aku selalu berpura-pura menjadi seseorang yang memiliki kepercayaan diri tinggi, berbicara di hadapan umum adalah hal yang mudah untukku. Karakter itulah yang coba ku bangun diantara teman-temanku. Namun, saat harus dihadapkan pada situasi di mana aku harus berdiri di depan puluhan pasang mata, aku takut, tertekan, tak berdaya, dan bahkan pada akhirnya mengacaukan semuanya.
Tekanan untuk menjadi sempurna dengan menyembunyikan kekurangan atas ketidakpercayaan diri yang ku miliki malah menjadi sesautu yang membebaniku untuk menjadi sosok ‘ideal’ yang aku inginkan.
Namun setelah ku ungkapkan kekurangan itu kepada teman-temanku, beban yang selama ini menumpuk di pundak seolah terangkat. Segalanya terasa lebih ringan dan mudah.
“Aku adalah seorang introvert, aku akan merasa gugup bahkan gagap jika harus berbicara dihadapan pasang mata. Maaf jika nanti nilai kita rendah karena presentasi ku yang buruk.” Suatu hari, ku katakan itu pada teman kelompokku. Setelah kata-kata itu keluar dari mulutku, ketakutan-ketakutan yang ku harapkan ternyata tidak terjadi. Teman-temanku bukannya menyalahkan, mereka bahkan mencoba memahami dan memaklumi kekurangan itu. Selain itu, aku juga jadi lebih santai dalam membawakan presentasi dari biasanya.
Pada intinya, kekurangan dan kelebihan dalam diri kita adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Kalau kata Tulus, keduanya adalah sepasang sepatu, berpasangan. Saat kita mencoba menerima keduanya sebagai bagian dari dalam diri kita, hidup akan lebih terasa nyaman dan mudah. Bahkan, mungkin saja bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan. Jadi, terimalah keduanya, jangan menganaktirikan salah satunya, oke?
Mungkin itu saja ceritaku dan dua sisi yang menemaniku. Sampai jumpa!
Penulis Annur Nadia Felicia Denanda
Merupakan Mahasiswa Agribisnis Fakultas Pertanian Unhas,
Angkatan 2019
Sekaligus Koordinator Liputan PK identitas Unhas 2022