Menjadi seorang dengan segudang prestasi merupakan impian semua mahasiswa. Tentunya, hal semacam itu tidak mudah. Dibutuhkan pengorbanan besar dalam meraihnya. Hal itulah yang setidaknya dirasakan Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Satu Tingkat Universitas Hasanuddin, Rifli Mubarak.
Mahasiswa Ilmu Hukum itu mengaku tidak menyangka akan menjadi bagian dari jajaran pemenang ajang tahunan tersebut. Baginya, keikutsertaan dalam Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Pilmapres) menjadi momen sekali seumur hidup yang bisa menjadi ajang perubahan baginya dalam memberi manfaat bagi orang lain, terutama untuk nama baik kampus.
“Walaupun harus menunda beberapa hal dalam perkuliahan, saya tidak pernah menyesal melakukan hal-hal yang membawa saya menjadi Mawapres. Usaha untuk membawa nama baik Unhas ini, semoga dapat memotivasi dan menjadi kenangan untuk saya kelak,” ungkapnya kepada identitas dalam iDialog.
Seleksi ketat dalam Mawapres juga Rifli bagi dalam wawancara. Ia berkisah bahwa dalam tahapan penilaiannya, terdapat salah satu penilaian karya tulis ilmiah di mana ia mengangkat kasus soal pemberdayaan ekonomi terhadap narapidana terorisme Indonesia, khususnya di tempat asalnya, Palu.
Kasus yang ia angkat awalnya dipandang sebagai hal yang sensitif. Namun, karya itu disebutnya dapat berkontribusi dalam merongrong poin Sustainable Development Goals (SDGs) kedelapan tentang pertumbuhan ekonomi dengan melibatkan tiga pihak yakni pelaku bisnis, akademisi, dan pemerintah yang disebutnya konsep ‘Mandaya Helix’.
Usai terpilih menjadi Mawapres tingkat Universitas, kini Rifli tengah disibukkan untuk mempersiapkan diri ke tahap nasional.
Dalam kesempatan itu pula, ia mengungkap bahwa prestasi tidak selamanya harus berkaitan dengan juara. Prestasi itu ada banyak macam bentuknya, bisa mencakup prestasi keikutsertaan relawan, penerbitan jurnal, wirausaha, paten, dan lain sebagainya.
“Jadi prestasi itu sebenarnya bukan cuma soal juara, tetapi banyak bentuknya,” tuturnya.
Sementara itu, di samping memiliki segudang prestasi, Rifli rupanya juga mengaku pernah mengikuti ajang pertukaran mahasiswa secara internasional yakni program IISMA. Di awal pendaftaran, ia sempat merasa pesimis karena situasi pandemik saat itu, tetapi ia tetap nekat untuk mendaftar.
Rifli membagikan berbagai pengalaman menariknya tatkala berada di California, Amerika Serikat, untuk mengikuti program tersebut. Salah satunya ketika ia tinggal bersama seorang nenek, di mana hanya mereka berdua bersama kucingnya.
“Saya tinggal berdua sama seorang nenek di sebuah rumah, tidak ada anggota keluarga lain, hanya bertiga, nenek, saya, dan kucingnya,” katanya sembari tertawa kecil.
Dari program itu, mahasiswa Fakultas Hukum itu mengaku belajar banyak hal, terutama bagaimana harus terbuka dengan keberagaman budaya yang dimiliki orang di negara lain. Dari pengalaman itu ia juga mengatakan betapa pentingnya untuk hidup di tengah-tengah orang pintar agar termotivasi menjadi seperti mereka.
“Ada yang bilang ‘kalau kamu adalah orang yang paling pintar di suatu ruangan maka kamu adalah orang yang paling sedikit berkembang.’ Jadi kalau bisa orang yang berada di samping kita itu yang paling pintar, karena kita bisa belajar banyak dari orang-orang ini,” katanya.
Selain itu, Rifli kendati memiliki segudang prestasi, ia juga kerap dihantui pikiran buruk yang membuatnya kurang produktif. Ia tidak menampilkan sikap tersebut yang memang sewajarnya sering muncul.
Menurutnya sedih itu manusiawi dan untuk mengatasinya yakni hanya menerima dengan tangan terbuka dengan tidak membohongi atau memaksakan diri sendiri.
“Sedih itu tidak bisa dihindari, sih. Saya terkadang sedih paling lama seminggu. Jadi kemampuan untuk bangkit dari kegagalan itu sangat penting untuk dilakukan. Intinya jangan membohongi diri,” tegasnya.
Begitu pula dengan rasa malas, yang mana menurutnya muncul karena orang tersebut tidak tertarik dengan hal yang sedang dikerjakan. Ia menambahkan, eksplorasi diri itu penting agar dapat menemukan .
Selain aktif di bidang akademik, Rifli juga menjadi pendiri dari komunitas Bara Asa Project, sebuah organisasi non-profit untuk pengembangan soft-skills anak muda Kota Palu dan Sulawesi Tengah. Keputusannya untuk mendirikan komunitas itu berkaitan dengan minimnya komunitas serupa di wilayah itu.
“Jadi saya dan beberapa pendiri ingin anak-anak Palu memiliki sumber informasi tentang karier. Programnya adalah pendampingan hingga career talkshow dengan orang-orang hebat Palu,” tuturnya.
Lelaki yang mengagumi sosok Maudy Ayunda itu juga mengungkapkan bahwa apa yang ia lakukan saat ini bisa menjadi kenangan manis selama hidupnya. Ia berkeinginan untuk bisa meraih sukses dengan memanfaatkan segala kesempatan untuk terus berkembang dan bermanfaat bagi orang lain.
Di penghujung dialog, ia memberikan beberapa pesan dan kesan kepada mahasiswa dengan meminta agar tetap optimis dalam menjalani hidup dan tidak membanding-bandingkan diri dengan orang lain.
“Hidup itu butuh aktualisasi dan bukan sekadar argumentasi. Dan sering-seringlah mengapresiasi diri. Kalian harus meyakini bahwa pencapaian itu bukan hanya soal medali perak atau emas di tingkat nasional atau internasional. Cintai diri sendiri dengan apresiasi kecil setiap hari itu cukup,” pungkasnya.
Zidan Patrio