Judul : Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan
Penulis : Ihsan Abdul Quddus
Penerbit : Alvabet, 2012
ISBN : 978-602-9193-16-9
Jumlah Halaman : 228 halaman
“Aku tidak menemukan bahwa keberadaanku sebagai wanita telah memberikanku batasan”
Pada masanya, budaya patriarki sangat eksis di tengah masyarakat. Hal ini membuat perempuan selalu dinomorduakan setelah laki-laki. Seperti didominasinya hak sosial perempuan baik itu dalam hal berpendapat dan menjadi pemimpin. Seperti halnya kisah dalam buku “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan” yang ditulis Ihsan Abdul Quddus. Novel ini mengisahkan seorang perempuan yang berusaha melawan dominasi peran laki-laki dan memimpikan tentang menjadi wanita independen. Di balik sosoknya itu, ia seorang yang teguh menghadapi rintangan hidupnya hingga pada kisah peliknya dalam urusan percintaan. Siapakah ia?
Kisah ini berlatar belakang di Mesir, menceritakan tentang perjalanan Suad, perempuan yang cerdas dan berprestasi. Pada masanya, ia adalah seorang perempuan yang mempelopori gerakan nasionalisme di sekolahnya sewaktu masih menginjak usia lima belas tahun. Kepercayaan diri yang ia tunjukkan saat itu membuatnya mendapatkan dukungan dari pihak sekolah dalam memobilisasi teman-temannya untuk mengikuti unjuk rasa. Di awal cerita, pembaca akan mulai melihat gambaran arah kehidupan sang tokoh yakni saat Suad menunjukkan ketertarikannya dalam percaturan politik dengan memilih fakultas hukum sebagai destinasi studinya.
Ambisi Suad ditunjukkan sejak ia menentang pemikiran konservatif. Ia berkeyakinan bahwa setiap individu memiliki haknya untuk menentukan pasangan yang akan dicintainya. Meski berseberangan logika dengan Sang Ibu yang memintanya untuk menikah, namun Ayahnya mendukung penuh keputusan Suad yakni tidak ada kata pernikahan sebelum sarjana. Banyak pemuda yang mengejar cinta Suad, namun ia lebih memilih menjadikan mereka sebagai sahabat karibnya. Lantas, apakah Suad tidak tertarik untuk menikah? tentu saja ia juga seorang perempuan yang mendambakan sebuah pernikahan.
Meski dikemas dengan muatan politik, namun novel ini tak terlepas dari kisah cinta pelik sang tokoh utama, Suad. Setelah menjadi sarjana, ia diceritakan menjalin hubungan dengan berbagai deretan figur dengan latar belakang yang berbeda-beda. Pernikahan pertamanya dengan Abdul Hamid membuat Suad dikaruniai anak bernama Faziah, sayangnya pernikahan Suad hanya bertahan selama tiga tahun lamanya. Selepas perceraian, ia diceritakan dekat dengan tokoh bernama Adil, namun Suad enggan membawanya hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Akhirnya, ia menikah untuk kedua kalinya dengan dokter Kamil, nahasnya pernikahannya kali itu tak berjalan mulus hingga dihadapkan lagi pada kata terlarang dalam pernikahan, yakni perceraian.
Perjalanan rumah tangganya tak sesederhana pemahaman teori pernikahan atas dasar perasaan satu sama lain. Novel yang beralur maju ini, tak hanya membahas tentang sisi feminis Suad, setelah perceraian pertamanya, ia berhasil mendapatkan gelar doktor. Kala itu setelah revolusi, aktivis berlomba dalam meraih gelar doktor, membuatnya diajak untuk bergabung dalam organisasi politik. Tak cukup dengan kiprahnya sebagai aktivis, ia memutuskan untuk terjerembab ke dalam lingkar elit penguasa. Suad semakin dekat dengan ambisi kepemimpinannya. Kini ia menjadi seorang anggota dewan.
Secara gamblang, novel ini memang sarat akan pembahasan seputar perpolitikan Mesir dan bermuatan filsafat, namun bahasa yang digunakan penulis disajikan dengan cara sederhana sehingga masih dapat dipahami. Antara ambisi dan cinta sang tokoh, digambarkan oleh penulis secara seksama. Hal ini terlihat saat sang tokoh menghadapi polemik karena status jandanya kala bercerai dengan Abdul Hamid. Suad memilih untuk tidak menikah dengan Adil karena khawatir akan risiko aliran politik yang dipegang Adil. Keputusannya saat itu benar dengan memilih ambisinya sehingga ia tak ikut terseret dalam kekacauan.
Suad adalah seorang wanita karier yang masih memerlukan sosok laki-laki di hidupnya. Berkali-kali kisah cintanya dihadapkan pada jurang kegagalan. Perceraiannya dengan Kamal membuat ia semakin merasa gagal dalam membina rumah tangga, kala revolusi, isu kesetaraan gender memang sangat seksi dibicarakan. Kamal ingin melakukan dominasi terhadap Suad atas nama suami, sedangkan Suad ingin mendapatkan kebebasan berekspresi dan berkarir.
Novel ini membawa pembaca dalam memahami keinginan sang tokoh untuk keluar dari belenggu pemikiran konservatif terhadap perempuan, fenomena-fenomena yang dialami Suad dalam perjalanan karirnya, membuat ia jatuh pada dilema antara ambisi dan cinta, hingga salah satu harus dikorbankan, pada akhirnya ia gagal dalam mempertahankan cintanya, cintanya redup hingga ia lupa bahwa ia perempuan.
Ivana Febrianty