Mendaki gunung atau mengyusuri perbukitan merupakan kegiatan out-door yag sangat menarik untuk dilakukan. Berjalan di tengah keindahan alam membuat badan sehat karena menghirup udara segar dan perasaan bersyukur terhadap keindahan ciptaan Tuhan. Orang awam yang belum pernah menginjakkan kakinya di gunung, dipastikan sel otaknya dipenuhi ribuan pertanyaan galau seperti ini: Amankah aku disana? Bagaimana perjalanannya menuju ke gunung X? Bagaimana kalau aku kesasar dan ketemu ‘hantu gunung yang menyeramkan’, Apakah kurang oksigen disana, bagaimana aku mengatasinya? bagaimana kalau aku mau buang air, apakah ada WC khusus disana?
Perlu diketahui bahwa mendaki gunung adalah panggilan jiwa. Kalau sudah menjadi hobi, tidak akan surut keinginan di dada sebelum menaklukkan gunung A, B, C dan seterusnya. Seorang pendaki gunung yang konsisten dengan cita-citanya harus mempunyai time management yang matang supaya kegiatannya dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Saya ikut dalam kelompok literasi namanya IRo Society, foundernya adalah Prof. Imam Robandi, Ketua Dewan Professor ITS Surabaya. Setiap hari Jumat malam diadakan KSJM (Kajian Spesial Jumat Malam) secara daring menggunakan zoom. KSJM merupakan ajang silaturrahim Prof. Imam Robandi dengan santrinya yang berasal dari berbagai profesi dan pulau di Seluruh Indonesia. Singkat cerita, saya ikut KSJM ke 146 pada hari Jumat tanggal 9 Desember 2022. Topiknya menarik, membahas tentang Extreme Experiences yang menghadirkan Dr. Indra Bachtiar, mount trekker yang berhasil menapakkan kaki di Everest Base Camp (EBC) Nepal.
Jika Pembaca mendaki di gunung yang berada di daerah khatulistiwa rasanya sah-sah saja karena suhunya tidak terlalu ekstrim dibandingkan dengan gunung di negara empat musim yang bersalju abadi. Perjalanan menuju (EBC) terasa begitu spektakuler karena Everest merupakan gunung tertinggi di benua Asia. Saya berpikir perjalanan Dr. Indra karena terdapat sesuatu yang sangat istimewa sampai beliau ‘rela’ melakukan perjalanan yang menelan biaya sampai ribuan dollar Amerika.
Saya sudah masuk ruang zoom dan melihat virtual background berupa gunung es nan kokoh bertuliskan Everest. Bulu kuduk saya meremang. Saya flash back ke kenangan lama saat menjadi mahasiswa S1. Saya sangat terobsesi dengan keindahan Everest, perjalanan spektakuler Sir Edmund Hillary dan cerita tentang orang Sherpa. Saya membuat kliping dokumentasi apapun tentang Seven Summit (daftar nama gunung tertinggi di beberapa benua). Seven summit itu adalah: Everest (8.850 m) di perbatasan Nepal dan Tibet, Asia; Aconcagua (6.962 m) di Chili, Amerika Selatan (Norman Edwin dan Didiek Samsu, pendaki gunung dari Indonesia mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat itu pada bulan April 1992); Denali/McKinley (6.190 m) di Alaska, Amerika Utara; Kilimanjaro (5.895 m) di Tanzania, Afrika; Elbrus (5.642 m) di Rusia, Eropa; Puncak Jaya/Carstensz (4.884 m) di Papua, Indonesia dan Vinson (4.892 m) di Antartika. Saat Norman Edwin meninggal, saya merasa begitu sedih karena kehilangan sumber informasi aktual tentang petualangan ke gunung. Semasa hidupnya, almarhum adalah wartawan Kompas dan penggiat kegiatan di alam terbuka yang rajin menuliskan pengalamannya di media massa.
Di dalam pemaparannya, Dr. Indra bercerita bahwa perjalanannya ke EBC dilakukan dengan persiapan sangat matang antara lain: rencana perjalanan/target, waktu, budget yang tersedia, kondisi fisik, mental dan referensi tentang daerah tujuan. Seperti yang telah saya tuliskan sebelumnya, semua hal ini menjadi pertimbangan vital supaya dicapai apa yang diharapkan. Pemaparan Dr. Indra menjadi sangat menarik karena beliau menyajikan beberapa video perjalanannya. Sambil menonton video, saya mencatat rute yang telah dilalui Dr. Indra yaitu: Lukla – Namche Bazaar – Tyengboche – Dengboche – Tukhla Pass – Lobuche – Gorakshep – Everest Base Camp (EBC). Nama daerahnya aneh terdengar sehingga saya harus berhati-hati menulisnya supaya tidak salah.
Pemutaran video menunjukkan pemandangan indah sepanjang perjalanan Dr. Indra menuju ke EBC. Terlihat adanya beberapa bangunan etnis, kondisi alam dan aktivitas masyarakat Nepal memberikan banyak sekali informasi tentang kondisi perjalanan menuju ke EBC. Saya mempunyai sahabat yang bertinggal di Kathmandu- Nepal, namanya Sandhya Neupane. Saat bertemu di Belanda pada tahun 2015, saya bercerita ingin mengunjungi Lukla dan EBC. Bola mata Sandhya membelalak tidak percaya. Dia mengatakan bahwa perjalanan menuju EBC sangat mahal dan resikonya besar. Suhu dingin membeku di daerah itu disertai tipisnya kandungan oksigen dapat berakibat fatal pada paru-paru. Selain itu Tenzing Hillary Airport di Lukla sangat ekstrim kondisi bandaranya. Landasan pacu yang berada di tengah gunung panjangnya sekitar 400 m, terdapat tikungan tajam di depannya. Jika pilot salah prediksi, dipastikan pesawatnya terjun bebas ke dalam jurang. Intinya, kondisi saya tidak akan baik-baik saja jika memaksakan diri ingin ke EBC. Mendengar cerita Sandhya, saya melupakan cita-cita melihat Everest. Malam ini bagaikan mimpi, semua informasi tentang EBC tersaji nyata di depan saya. Rasanya bahagia sekali bertemu Dr. Indra secara daring via zoom. Sinyal internet kurang mendukung sehingga saya menyampaikan pertanyaan di dalam kolom chat. Tanpa sadar, tangan saya selalu mengetikkan komentar jika melihat pemandangan unik. Komentar bercampur pertanyaan saya menjadi sangat banyak karenanya. Saya sangat berterima kasih kepada moderator KSJM yang baik hati, dr. Izzuki Mohashonah yang telah membacakan pertanyaan saya untuk Dr. Indra. Alhamdulillah jawaban beliau menuntaskan semua keingintahuan saya tentang situasi perjalanan ke EBC.
Walaupun situasi Kathmandu (ibukota Nepal) bagaikan kondisi Jakarta tiga puluh tahun yang lalu, negara ini tetap percaya diri membuka pintu untuk pendatang dengan fasilitas apa adanya. Informasi yang sangat menyenangkan tentang Kathmandu, terdapat Islamic Center berdekatan dengan Masjid Thamel. Thamel merupakan kota turis mancanegara, terdapat kuil Budha yang lapangannya dipenuhi burung merpati berwarna gelap. Sepanjang video yang diputar oleh Dr. Indra, saya lihat di setiap pintu masuk desa terdapat kuil dengan perangkat silinder logam berukir yang harus diputar oleh pengunjung searah dengan jarum jam. Seperti kata pepatah dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung dilakoni oleh Dr. Indra saat memutar silinder tersebut karena menghormati kebiasaan masyarakat daerah yang didatanginya. Menariknya lagi, di jalan setapak berdebu seringkali Dr. Indra bertemu dengan rombongan kuda dan yak. Pengunjung harus menepi ke pinggir tebing memberi jalan kepada rombongan itu. Tipsnya jika bertemu rombongan hewan pengangkut barang, orang harus menepi ke dinding tebing supaya tidak jatuh ke jurang akibat tertendang oleh hewan pengangkut barang. Namanya hewan tidak punya akal, para gembalanya harus paham untuk menjaga perasaan piaraannya supaya tidak melakukan gerakan tambahan yang berakibat fatal kepada orang lain.
Di daerah Monjo terdapat Hillary Bridge yang membentang lurus panjang sekali. Saya sudah tidak mendengarkan pemaparan Dr. Indra akibat terpukau melihat jembatan spektakuler yang sepanjang tepinya diikat kain warna warni. Hal inilah membuat saya bertanya ke Dr. Indra apa makna kain warna warni itu. Ternyata di Tukhla Pass terdapat monumen orang meninggal di Everest. Untaian kain warna warni merupakan rangkaian doa untuk jiwa yang kembali kepada Sang Pencipta. Keunikan lainnya yang berhubungan dengan keberadaan kuda dan yak adalah kondisi daerahnya kering dan banyak debu beterbangan. Menurut informasi Dr. Indra, daerah yang dilaluinya berbau kotoran hewan. Debu tertiup angin beterbangan kesana kemari sangat berbahaya karena mengandung partikel mikro kotoran hewan yang mengganggu kesehatan saat terhirup masuk ke paru-paru dan menyebabkan demam. Sangat dianjurkan untuk memakai masker saat menuju ke EBC. Perjalanan ke EBC tampaknya sangat rentan dengan dehidrasi dan memerlukan kondisi fisik prima. Hal inilah membuat Dr. Indra harus melakukan aklimatisasi selama dua hari untuk menyesuaikan tubuhnya dengan ketinggian tempat yang akan didatanginya plus menentukan dengan cermat jarak tempuh harian sesuai dengan umurnya. Kondisi minim oksigen, kurangnya pasokan air minum dan suhu yang tidak stabil merupakan tantangan terberat dalam perjalanan ke EBC.
Video yang diputar oleh Dr. Indra memberikan gambaran nyata perubahan kondisi lingkungan dari banyaknya vegetasi, perlahan mulai berkurang karena pengaruh ketinggian tempat sampai bertemu dengan salju abadi di EBC. Saya terhenyak saat melihat Dr. Indra tiba di Tukhla Pass, tempat peristirahatan terakhir manusia yang tidak mampu menuntaskan keinginannya menaklukkan Everest. Jasad dari berbagai bangsa terkubur di lapangan berbatu berisi untaian kain warna warni. Perjalanan mencapai EBC selesai saat Dr. Indra tiba dan bergaya di batu besar bertuliskan ‘Everest Base Camp’ 5366 m dpl. Rasa lelah dan refleksi kemampuan diri berbaur menjadi satu atas pencapaian itu. Tips penting sebelum melakukan perjalanan ke suatu daerah adalah mengenal daerah itu dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya untuk mendapat hasil maksimal.
Penulis: Dr. Sri Nur Aminah Ngatimin, SP., M.Si
Sekretaris Departemen HPT, Fakultas Pertanian,
Universitas Hasanuddin, Makassar