Pada tanggal 2 September 1992, terjadi tawuran antar mahasiswa di Universitas Hasanuddin (Unhas) yang melibatkan mahasiswa Fakultas Teknik dengan sejumlah fakultas lain –terutama yang tergabung dalam fakultas ilmu sosial seperti Fisip, Ekonomi, Sastra dan Hukum. Tawuran ini berujung pada terbakarnya Laboratorium Teknik Perkapalan dan dikenang dengan sebutan Black September 1992.
Identitas mencoba menelusuri kembali salah satu peristiwa kelam sepanjang sejarah Unhas ini, dengan menghubungi dan menemui sejumlah mahasiswa yang ‘terlibat’ saat itu.
“Saya lagi duduk di Bamboo house sama anak Ekonomi, anak Hukum yang pentolan kantin, tiba-tiba ada teman berteriak ‘Caco.. Cacoo FIS diserang, hancur, hancur’,” kata alumni Hubungan Internasional (HI), Fiastaruddin Agam alias Caco, ketika berbincang dengan identitas beberapa waktu lalu.
Caco bercerita, serangan tiba-tiba ini diawali ketika Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (Sospol) mulai melakukan pengenalan kampus pada pagi hari. Mahasiswa baru Sospol diantar untuk mengelilingi kampus atau lebih sering disebut rolling. Hingga sampai di depan ruangan LT 8, samping Gedung Rektorat dan dekat Fakultas Teknik, ada yang teriak,” Sospol!”
Teriakan itu seperti bara yang disiram minyak, saling lempar batu mulai terjadi. Hingga mahasiswa Fakultas Teknik menyerang Fakultas Sospol.
“Setelah itu, serangan balik dilakukan sejumlah fakultas ke Fakultas Teknik, mulai dari siang hari fakultas teknik dikepung dari segala arah,” ujarnya.
Amril Taufik Gobel, alumni Teknik Mesin angkatan 1989 menggambarkan bagaimana mencekamnya situasi saat itu dalam blog pribadinya daengbattala.com.
“Suasana begitu mencekam ketika itu. Beberapa kawan menderita luka terkena lemparan batu ketika ‘perang’itu pecah. Beberapa kali saya –meski berjalan terpincang-pincang karena luka di jempol kaki saya (hanya dibalut robekan kain)– membantu membopong rekan kami yang terluka kembali ke ‘garis belakang’,” tulis Amril.
“Sejumlah kawan menyiapkan bambu runcing atau peralatan tajam lain. Beberapa kawan dari jurusan elektro arus kuat bahkan memasang ‘barikade’ setrum berupa kabel telanjang yang sudah dialiri listrik di depan,” tambah Amril.
Amril juga menuliskan bahwa mahasiswi ikut terlibat dengan mengobati teman laki-lakinya yang terluka dalam tawuran itu.
“Beberapa rekan mahasiswi yang ikut bertahan membantu mengobati kawan-kawan yang sakit dengan peralatan seadanya sekaligus menyiapkan amunisi batu bagi kawan yang ‘berperang’ di garis depan,” lanjut Amril.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Yeri Hermanto, Ketua Senat Fakultas Teknik saat itu. Yeri mengatakan, jumlah mahasiswa yang ada di Fakultas Teknik saat penyerangan terjadi hanya sekitar 50 orang. Ketegangan terus berlanjut hingga malam, di tengah hujan batu, mereka terus bertahan.
“Berbagai isu muncul, berbagai persiapan dilakukan untuk mempertahankan Teknik,” tutur Yeri saat dihubungi Identitas via Whatsapp.
Ketika lewat tengah malam, saat situasi mulai terkendali karena kedatangan aparat, mahasiswa Teknik yang bertahan di dalam kampus mulai dievakuasi. “Sampai kami dipaksa untuk dievakuasi oleh pihak keamanan (tentara) dengan truk,” ucap Yeri.
Setelah evakuasi, Fakultas Teknik kosong. Nah saat itulah menurut Yeri, Laboratorium Teknik Perkapalan terbakar.
“Ada pertanyaan, kenapa kami dievakuasi, sedangkan yang dari fakultas lain dibiarkan masuk ke area Teknik,” kata Yeri yang sekarang bermukim di Jakarta.
Bukan hanya mahasiswa Fakultas Teknik yang dievakuasi, aparat juga menyisir fakultas-fakultas lain dan memerintahkan mereka untuk membubarkan diri. Caco bercerita seluruh mahasiswa dipaksa bubar. Bahkan, para aparat menyisir lagi ke sekretariat Senat.
“Jadi ada dilihat polisi (langsung) sembunyi. Bayangkan, magrib waktu itu kalau tidak salah, ada yang sembahyang, ditunggu (oleh) tentara, bahkan ada teman yang tahu dia ditunggu tentara, dia sampai lima rakaat Salat Magrib, tapi ini cerita dari teman,” ujarnya sambil tertawa.
Akibat kejadian ini, bukan hanya menyebabkan Laboratorium Teknik Perkapalan terbakar, tapi juga puluhan mahasiswa luka-luka terkena batu dan pecahan kaca. Juga enam orang mahasiswa yang termasuk pengurus inti Senat Mahasiswa Fakultas Hukum harus mendekam di penjara.
Pemicu Black September 1992
Banyak asumsi pemicu terjadinya Black September 1992. Mulai dari sistem penerimaan mahasiswa baru alias Ospek di Unhas, hingga spekulasi permainan politik masa itu.
Menurut Caco, sebelum peristiwa September 1992 terjadi, sebelumnya sudah sering terjadi konflik mahasiswa antar fakultas yang terjadi saat prosesi penerimaan mahasiswa baru. “Saya itu masuk di Unhas 1988, (awalnya) saya di Sastra, di situ sudah kita lihat fenomena konflik,” ujarnya.
Begitu pula menurut Yeri Hermanto. Setiap bulan Agustus dan September, ketegangan antar fakultas kerap terjadi.
“Dari tahun ke tahun pemicunya adalah masalah penerimaan Maba. Tegangan dan tekanan masing-masing fakultas membuat suasana tegang semakin tegang,” tuturnya.
Yeri mengatakan, Ospek bila dijalankan sesuai dengan koridor sangat bagus maksud dan tujuannya.
“Ospek menumbuhkan karakter, keegoan masing-masing fakultas dengan hembusan musuh bebuyutan yang menodai maksud dan tujuan ospek itu sendiri. Maba yang masih polos akan mudah dipengaruhi oleh senior mereka, itu dari fakultas apapun, pelencengan dari keegoan dari senior masing-masing fakultas yang menyebabkan nilai ospek itu menjadi jelek,” jelasnya.
Sementara itu, Mukhlis Amans Hady, wartawan Koran Kampus Identitas saat itu, menilai peristiwa ini tak bisa dilepaskan dari kisruh lembaga mahasiswa saat itu serta agenda Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulsel tahun 1993.
“Di tengah kisruh mahasiswa yang mencoba keluar dari NKK (Normalisasi Kegiatan Kampus) yang mencoba kembali ke zaman Dema (Dewan Mahasiswa) dengan munculnya Senat Mahasiswa Universitas Hasanuddin (SMUH), dicurigai pihak luar sehingga secara tidak langsung menunggangi kisruh ini,” jelasnya.
“Meski saat itu pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bukan Pilkada langsung, tetapi ada dua calon kuat dari Unhas, yakni Rektor Unhas Prof Dr H Basri Hasanuddin, MA, dan Guru Besar Fakultas Hukum, Prof Baharuddin Lopa,” ungkapnya.
Mukhlis melanjutkan, kedua tokoh Unhas ini bersaing dengan Pangdam VII Wirabuana, Mayjen TNI H Zainal Basri Palaguna.
“Kita ketahui saat itu peran dwifungsi ABRI dengan menugaskaryakan sejumlah perwiranya menjadi Gubernur, Kepala Daerah (Bupati), dan mendudukan perwira TNI sebagai anggota dewan dengan satu fraksi yakni Fraksi TNI/Polri,” bebernya.
Menurut Mukhlis, saat itu kemungkinan besar cuma Sulsel yang gubernurnya bukan dari TNI melainkan dari sipil, yakni mantan Rektor Unhas Prof Dr Ir Achmad Amiruddin.
“Bahkan dulu kita di Identitas, yang mencoba menurunkan berita tentang ini, langsung diintervensi Pak Rektor. Tak jarang, sebelum terbit, Rektor Basri Hasanuddin memeriksa naskah sebelum diterbitkan. Jadi sempat jadi banyolan teman-teman, bahwa Identitas ini hebat, korektornya saja adalah Rektor,” jelas Mukhlis yang kini salah seorang wartawan senior di Harian Fajar Makassar.
Mukhlis berharap peristiwa Black September 1992 dan tawuran antar mahasiswa di Unhas tidak lagi terjadi. Mengenang boleh, tapi jangan sampai kasus ini terulang kembali. “Ini peristiwa memalukan, dan sampai sekarang masih dirasakan dampaknya sebagian para alumni Unhas, terutama yang melamar pekerjaan,” tutupnya.
Reporter: Musthain Asbar Hamsah