Pernahkah Anda terbersit dalam pikiran sendiri untuk merasakan sensasi anomali pelayanan yang justru memaki dan membuat kita tidak nyaman? Faktanya, secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk dilayani dengan baik dan sopan. Namun mengapa konsumen tertarik untuk merasakan sensasi pelayanan Karen’s Dinner yang justru mendobrak narasi “Pelanggan adalah Raja” dalam pelayanan pada umumnya?
Masyarakat Indonesia memiliki karakter kohesif (kedekatan) sosial yang tinggi dalam kehidupan bersosial. Selain itu, terdapat nilai kultur mengenai sopan santun terhadap hubungan interaksi sosial secara emosional. Gejala masyarakat yang teralihkan dari standar pelayanan umum dapat dilihat dari postingan beberapa influencer media sosial. Mereka pun mengabadikan momennya dalam merasakan pelayanan yang ditawarkan oleh Karen’s Diner.
Perkembangan era teknologi dan digitalisasi kecenderungan mendorong seseorang untuk mencoba sesuatu yang sedang viral. Hal tersebut dengan tujuan membuatnya terlihat baik atau dapat meningkatkan ikatan sosial dengan kelompoknya. Pada dasarnya ini dijelaskan melalui konsep “A Neural Model of Valuation and Information Virality” yang terbit dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
Konsep pelayan yang nyeleneh dan jauh dari kata sopan santun mengundang rasa penasaran dan minat calon pembeli dengan suasa pelayanan berbeda, ditambah lagi dengan pengaruh interaksi influencer. Oleh karena itu, tak heran apabila netizen penasaran untuk berkunjung ke Karen’s Diner yang mendobrak narasi mengenai pelayanan pada umumnya.
Konsep restoran yang mengusung pelayanan unik ini berpotensi menjadi bumerang bagi Karen’s Diner. Disaat ketika terdapat tawaran identitas yang kuat akan suatu produk, terdapat kecenderungan pilihan konsumen menyukainya atau sebaliknya, yakni sangat membencinya. Namun bagaimana proses konsumen memutuskan untuk ikut mencoba sensasi unik tersebut?
Variabel Fear of Missing Out (FOMO)
Masyarakat kini mulai kecenderungan ingin merasakan sensasi hal baru atas trend yang berkembang. Laporan IDN Times menunjukkan bahwa sensasi dan pengalaman baru merupakan sesuatu hal yang memiliki nilai guna bagi generasi saat ini. Nyatanya perspektif tersebut memandang bahwa pengalaman memberi pengaruh besar terhadap identitas dan status pada lingkaran sosial kita.
Secara otomatis hal tersebut membawa kita pada kondisi Fear of Missing Out (FOMO). Kita menjadi ingin merasakan sensasi terhadap suatu hal yang baru, karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap identitas kita, harga diri, dan status sosial kita. Lantas kita mengkonsumsi sesuatu bukan karena butuh, namun karena ketakutan bahwa kita tidak dapat merasakan hal tersebut sedangkan orang lain dapat membeli pengalaman tersebut.
Secara keseluruhan apa yang benar-benar terjadi adalah kecenderungan untuk memperoleh pengakuan. Dalam konteks konsumerisme dan kepemilikan, modernisasi dan globalisasi membawa kita ke dalam era yang penuh hasrat ketidakpuasan. Pengalaman yang kita dapatkan dan peroleh dapat mendefinisikan siapa kita, apa yang kita ingin orang lain pikirkan tentang kita.
Efek residu psikologi
Dari segi psikologis karyawan Karen’s Diner (para Karen), telah diatur demikian untuk bersikap tidak bijak dengan metode merendahkan, me-roasting dan bahkan body shaming terhadap pelanggannya. Hal tersebut berpotensi untuk mengganggu keadaan mental, dikarenakan marah merupakan bagian dari emosi yang seharusnya tidak dikeluarkan secara terus menerus.
Apabila hal tersebut dipaksakan untuk dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang, akan berpotensi mengganggu kesehatan mental orang tersebut. Berdasarkan penelitian mengenai emosional pekerja, hasilnya menunjukkan bahwa dengan perluasan industri jasa, tenaga kerja emosional telah bermanifestasi sebagai pemicu stres kerja baru.
Penelitian tersebut menekankan pentingnya program manajemen dan regulasi stres untuk mengurangi hasil buruk dari pekerjaan dengan usaha emosional serta mengatasi kegiatan yang menimbulkan stress secara berkepanjangan. Selain itu, meningkatkan kapasitas dan kompetensi karyawan dengan memberikan perawatan yang terkesan tidak mengintimidasi konsumen dan memiliki regulasi terukur dalam memaki konsumen melalui modifikasi perilaku yang terkontrol.
Disisi lain dari segi aspek pelanggan Karen’s Diner dapat menyajikan suatu pengalaman dan impresi baru. Ini dapat menjadi suatu hal yang unik dari segi pengalaman bagi konsumen yang datang dan ingin merasakan sensasi emosional baru. Modus orientasi konsumen untuk memperoleh pelayanan yang tidak menyenangkan merupakan ekses yang muncul secara stimulus akibat konstruksi kultur media sosial. Faktanya bahwa penyebaran informasi lewat sosial media dan FOMO berhasil menuntun kita pada cara pandang yang sangat unik dengan membuat kita mencapai antitesis.
Secara jangka panjang untuk mencapai konsumen yang tergolong loyalis, Karen’s Diner harus menawarkan kualitas yang lebih dari sekedar Gimmick Marketing. Semuanya seakan tereduksi untuk kembali merasakan kenyamanan yang konsumen harapkan dari sebuah pelayanan, dikarenakan konsumen memiliki mekanisme psikologis secara opsional agar tidak mengulangi perasaan tidak menyenangkan dari pengalaman sebelumnya. Perlu adanya tawaran lain yang membuat konsumen tertarik untuk berkunjung kembali.
Penulis: Tanisa Humairah, Zandi
Mahasiswa Manajemen Angkatan 2020,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin