Forum Kajian Magister Sejarah Universitas Hasanuddin (Unhas) mengadakan diskusi tentang Dewan Kesenian Makassar (DKM) dan Ekspresi Kesenian Masyarakat di Masa Orde Baru. Kegiatan diselenggarakan melalui Zoom Meeting, Senin (10/4).
Menghadirkan Alumni S2 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas, Fajar Sidiq sebagai narasumber. Ia menjelaskan, periode kesenian di Kota Makassar saat Masa Order Baru sudah ada sebelum berdirinya DKM, yaitu berkisar pada 1950-an.
Fajar menambahkan, pada 1930-an perdebatan tentang arah kebudayaan sendiri sudah ada. Puncaknya diakhir 1950-an muncul blok-blok yang mengklaim dirinya sebagai kubu kiri atau kubu kanan.
“Setelah itu, di awal 1960 beragam tendensi mulai terbangun, termasuk munculnya lembaga kesenian di dalam tubuh partai atau ormas, seperti Lembaga Kebudayaan Masyarakat (Lekra),” ungkap Fajar.
Fajar menceritakan, saat 1965 dikeluarkan instruksi pelarangan aliran kiri. Sementara Lekra menjadi salah satu korban penuduhan bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga keberadaannya dilarang. Kelompok kesenian di Makassar akhirnya merasa bahwa pengotak-ngotakkan kiri kanan atau adanya lembaga-lembaga kesenian tidak baik dalam suasana berkesenian.
“Dibutuhkan suatu wadah yang mempersatukan kita secara utuh. Maka diadakanlah Kamar Pertemuan Seniman di Benteng Rotterdarm pada 1969 agar lembaga seperti Lekra tidak muncul kembali,” tutur Fajar.
Ia mengatakan, berdasarkan kesepakatan 11 tokoh seniman Makassar, pada 25 Juli 1969, DKM resmi didirikan untuk mengakomodir kegiatan kesenian yang ada di Makassar. “Beberapa tahun setelah berdirinya DKM muncul kelompok kesenian lain, seperti Sanggar Merah Putih. Adanya taman budaya, dan berkembangnya kesenian di lingkup kampus,” jelasnya.
Iftita Aspar