Sulawesi merupakan salah satu pulau utama yang masuk dalam Wallacea, kawasan biogeografis yang mencakup kepulauan Indonesia tengah dan timur dan terdiri atas ribuan pulau. Dikenal sebagai habitat bagi banyak spesies fauna endemik. Hal ini tidak lepas dari pembentukan pulau sulawesi yang secara historis berbeda dengan pulau besar lainnya di Indonesia
Beberapa waktu terakhir, Sulawesi mengalami penurunan keanekaragam hayati yang signifikan, khususnya pada penyebaran fauna. Penurunan itu salah satunya disebabkan maraknya aktivitas perburuan dan perdagangan terhadap satwa liar secara ilegal.
Wilayah Makassar menjadi salah satu tempat terbesar bertemunya para pihak yang terlibat dalam jual beli satwa liar. Melihat maraknya aktivitas ini, Dr Risma Illa Maulany SHut MNatResSt bersama tim penasaran dan akhirnya melakukan penelitian yang mengungkap lebih jauh terkait perdagangan satwa liar tersebut. Hasil penelitiannya kemudian dituangkan dalam sebuah artikel berjudul “Tracing Current Wildlife Trade: An Initial Investigation in Makassar City, Indonesia”.
“Menurunnya kualitas dan kuantitas keanekaragam hayati kita itu karena kerusakan habitat, modifikasi habitat, fragmentasi habitat, dan penyebab terbesar lainnya adalah perdagangan dan perburuan satwa liar,” ungkap Risma ketika ditemui langsung di ruangannya di lantai tujuh Rektorat Unhas, Kamis (8/7).
Temuan Risma memperlihatkan bahwa ada 13 titik yang menjadi tempat pemasaran satwa liar di Kota Makassar. Titik itu terdiri dari enam kecamatan, di mana sebagian besar berada di Kecamatan Rappocini dan Ujung Pandang. Jumlah titik yang menjual hewan paling banyak berada di wilayah Rappocini yang mencapai hampir 50 toko.
Di pasaran, jumlah hewan yang diperdagangkan sebanyak 62 spesies dengan total 2.642 ekor dari berbagai satwa termasuk burung, mamalia, dan reptil. Sebanyak 18 persen dari hasil temuan memperlihatkan fauna endemik Sulsel.
Terdapat lima spesies hewan yang dilindungi dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) seperti burung lovebird fishcer (Agapornis Fischeri), burung hantu lumbung (Tyto Alba), kura-kura kotak Wallacea (Coura amboinensis amboinensis), dan dua jenis ular piton (python molurus dan malayopython reticulata).
Lebih paranya lagi, beberapa satwa yang diperdagangkan tersebut merupakan spesies yang berstatus genting seperti nuri ungu dan kura-kura kotak Wallacea. Terdapat pula hewan yang berstatus rentan seperti ular sanca burma, dan tiga spesies lainnya berstatus hampir terancam punah seperti lovebird fischer, nuri belang-biru, dan kakatua tanimbar.
Tidak mengherankan bahwa aktivitas perdagangan satwa liar di Makassar seperti ini dimotivasi oleh permintaan pasar yang sangat tinggi. Kebanyakan kolektor didorong oleh gaya hidup atau hobi karena memelihara satwa dianggap sebagai sebuah tren di masyarakat.
“Mereka (kolektor) punya komunitas. Tren ini yang menurut saya menjadi salah satu pemicu. Pet shop di mana-mana dan mereka bukan hanya menawarkan jasa ataupun dagangan satwa ordinary atau domestik, tetapi merambah ke satwa yang unik seperti iguana, ular piton, itu kan beberapa satwa liar,” kata Risma.
Tidak hanya itu, perdagangan satwa liar oleh kolektor juga diyakini berkaitan dengan status sosial seseorang. Mayoritas yang diperdagangkan merupakan satwa dari jenis burung yang dijual sebagai hewan peliharaan. Di Jawa, pemelihara burung seringkali dianggap sebagai orang kaya dan berkelas, dan tampaknya pandangan ini turut merambah ke wilayah lain seperti masyarakat Bugis dan Makassar.
Sementara dari sisi ekonomi, satwa banyak diperdagangkan dengan harga beragam, dari yang termurah seharga satu dolar AS hingga yang termahal mencapai 350 dolar.
Beberapa wilayah yang menjadi pemasok utama satwa yakni Maluku, Papua, Kalimantan, Jakarta, dan Sulawesi. Bahkan Filipina juga turut menjadi negara yang memasok satwa liar ke Indonesia yang kemudian diperdagangkan di Makassar.
Satwa yang diperdagangkan kemudian akan dijual ke berbagai wilayah Indonesia. Tidak hanya mengakomodir permintaan domestik, bahkan juga mancanegara. China adalah salah satu negara tujuan penyelundupan utama untuk dimanfaatkan sebagai bahan obat atau makanan.
“Kalau perdagangan satwa liar ini kan pintu masuknya ada di airport dan pelabuhan, ini yang sebenarnya membutuhkan perlakuan khusus pemerintah,” beber Risma.
Selama proses penelitian, Risma bersama tim yang terdiri dari mahasiswa mendapat beberapa kesulitan, khususnya dalam memperoleh informasi dari beberapa narasumber. Ia mengaku, bahwa para pihak yang terlibat dalam aktivitas ilegal ini tidak mudah untuk diwawancarai dan memerlukan pendekatan khusus.
Misalnya saja dari pihak pedagang satwa di Makassar, beberapa di antaranya mengaku tidak tahu terkait status konservasi satwa liar yang diperdagangkan. Padahal setiap tahunnya, sebanyak 10-12 kali Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) rutin melakukan sosialisasi serta patroli. Beberapa pedagang juga berupaya menyembunyikan satwa liar yang diperdagangkan untuk menghindari inspeksi petugas.
Risma kemudian berharap agar pemerintah bisa bertindak lebih maksimal lagi. Menurutnya, beberapa instansi yang terlibat dalam upaya pencegahan perdagangan satwa liar ini perlu meningkatkan kolaborasi dan komunikasi antarsesama.
“Perlu ada kerja sama dari level transnasional ke level nasional untuk mencegah proses penyelundupan ini. Tentunya harus bekerja sama dengan pihak yang terkait,” ungkapnya.
Risma juga berharap penelitiannya ini menjadi pemicu munculnya penelitian-penelitian lainnya sehingga praktik perdagangan satwa liar ini bisa diberhentikan. Makassar yang merupakan center point dan penghubung antara beberapa wilayah di Indonesia yang sangat rentan terhadap aktivitas ilegal tersebut.
Zidan Patrio