Fenomena fatherless mungkin menjadi istilah yang masih awam di masyarakat. Namun nyatanya fenomena ini cukup besar di Indonesia. Psikolog Amerika, Elmer Smith, menyebut fatherless adalah hilangnya peran ayah di rumah baik fisik maupun psikologisnya.
Indonesia bahkan berada dalam peringkat ketiga sebagai negara dengan peran ayah yang minim. Psikolog asal Indonesia, Elly Risman, dari tahun 2008-2010 telah melakukan studi di 33 provinsi di Indonesia dan menyatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara paling ‘yatim’ di dunia. Fatherless atau yang disebut dengan tidak adanya ayah pada kenyataannya adalah ketika ayah hanya ada secara biologis namun tidak ada secara psikologis di dalam jiwa anak.
Lantas, seperti apa sebenarnya fenomena fatherless ini? Bagaimana pandangan psikolog mengenai hal tersebut? Berikut wawancara langsung Reporter PK identitas Unhas, Yaslinda Utari Kasim, bersama Dosen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, A Juwita Amal SPsi MPsi, Rabu (31/05).
Bagaimana pandangan Anda terkait fenomena fatherless?
Fatherless yang tidak didapatkan secara jelas kapan pertama kali istilah ini muncul merupakan suatu fenomena ketika tidak terdapat peran ayah dalam kehidupan seseorang, terkadang keluarga tersebut utuh tetapi peran ayah tidak ada. Perlu diingat bahwa fatherless bukan berarti tidak adanya ayah secara fisik tetapi tidak adanya peran ayah dalam pengasuhan anak. Berdasarkan literatur, istilah father absence lebih diketahui kapan muncul dibanding istilah fatherless sebab kedua hal tersebut berbeda. Father absence lebih menekankan ketiadaan sosok fisik ayah dalam kehidupan seseorang.
Apa saja faktor penyebab seseorang tumbuh ‘tanpa ayah’ di kehidupannya?
Banyak faktor yang mempengaruhi fatherless, salah satunya yaitu budaya patriarki di Indonesia sehingga terjadinya pemisahan peran antara ayah dan ibu. Peran ayah dianggap hanya untuk mencari nafkah dan tugas ibu untuk mengasuh anak. Budaya patriarki juga menjadi salah satu alasan Indonesia mendapatkan predikat sebagai fatherless country, sebab ayah tidak mengerti bagaimana cara mengasuh anak dengan baik karena tidak memiliki figur ayah yang bisa dijadikan contoh sehingga hal ini menjadi siklus yang berulang. Maka perlu dilakukan edukasi kepada para ayah terkait bagaimana menjadi ayah yang baik. Semoga ada yang bisa menggalangkan hal tersebut.
Bagaimana dampak keberadaan dan ketiadaan seorang ayah dalam kehidupan seseorang?
Secara ideal dalam pengasuhan, harus ada peran ayah dan ibu. Jika dalam pengasuhan tidak ada peran ayah, maka akan berdampak pada terhambatnya perkembangan anak hingga faktor risiko terjadinya psikopatologi. Hal itu disebabkan karena ayah dapat menjadi contoh disiplin hingga motivator. Berdasarkan beberapa penelitian, anak yang dibesarkan tanpa figur ayah mengalami masalah di bagian kognitif terutama di kemampuan kinestetiknya, karena ayah memiliki peran yang besar dalam hal gerak motorik.
Selain itu, terdapat perbedaan dampak fatherless berdasarkan gender. Pada anak lelaki, anak tersebut memperlakukan perempuan di hidupnya sebagaimana ia melihat atau meniru ayahnya memperlakukan ibunya, sedangkan pada anak perempuan adanya sosok ayah menjadi pembelajaran dalam mengidentifikasi lawan jenis yang berbeda dari dirinya.
Anak lelaki yang mengalami fatherless mayoritas memiliki perilaku restriktif, misalnya menggunakan narkoba, merokok dan kenakalan remaja lainnya. Pada anak perempuan yang juga mengalami fatherless, biasanya mencari sosok lain pengganti ayah dari lingkungannya. Dampak fatherless bagi keduanya yaitu mereka dapat menarik diri dan memiliki kepercayaan diri yang kurang ketika berada di lingkup masyarakat. Anak-anak yang mengalami fatherless akan mencari ‘kekurangan’ tersebut di luar untuk memenuhi kebutuhan yang mereka tidak dapatkan di rumah.
Bagaimana lingkungan keluarga atau lingkungan sekolah bahkan kerja dapat membantu seseorang yang tumbuh tanpa ayah dalam menghadapi tantangan hidup mereka?
Bagi anak remaja, jika mereka mengeluhkan permasalah tersebut baru kita memberikan dukungan, jika tidak maka jangan mengacak-acak permasalahan mereka. Salah satu dampak kurangnya peran ayah yaitu kurang percaya diri. Cara menolong teman dengan kepercayaan diri minim, yaitu dengan membantu mereka mengenali potensi dan kelebihan yang mereka miliki. Dengan mengangkat prestasi, menghargai hal-hal kecil yang mereka punya adalah cara yang dapat dilakukan untuk memberikan dukungan.
Apakah pendekatan dari pemerintah atau lembaga terkait yang dapat membantu mengurangi jumlah individu yang tumbuh tanpa sosok ayah?
Saya tidak punya informasi mengenai program seperti itu di Indonesia, yang ada hanya program pengasuhan ibu untuk anaknya. Akan tetapi, di Amerika, terdapat situs khusus yaitu fatherhood.government yang merupakan lembaga pemerintah guna memberikan informasi, pengajaran hingga pelatihan bagaimana menjadi ayah dalam pengasuhan anak. Hal itu yang perlu dikembangkan di Indonesia.
Apa saran yang dapat Anda berikan kepada orang-orang yang tumbuh tanpa ayah?
Ketika terdapat anak yang tidak memiliki peran ayah dalam pengasuhan, saran saya cobalah mencari figur di sekeliling anda yang bisa memenuhi kebutuhan anda misalnya dalam perkembangan diri hingga meningkatkan kualitas diri. Perlu diingat bahwa tidak ada orang yang sempurna tapi kita bisa menjadi terbaik versi diri kita sendiri. Selain itu, teruntuk yang mengalami dan merasakan fenomena ini, jangan pernah berkecil hati. Tetap optimalkan potensi diri yang dimiliki dan tetap terus belajar dari lingkungan sekitar.
Ugi Fitri Syawalyani
Data diri narasumber
Nama: A Juwita Amal, SPsi MPsi
Tempat tanggal lahir: Sinjai, 13 Maret 1981
S1: Psikologi, Universitas Negeri Makassar
S2: Psikologis Klinis Anak, Universitas Padjadjaran