Pemerintah saat ini tengah mempersiapkan diri menuju netral karbon pada 2060 mendatang atau lebih cepat. Langkah nol emisi karbon tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden No. 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik.
Dalam peraturan tersebut, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo resmi melarang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Ia pun meminta para menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran atau memensiunkan PLTU yang masih beroperasi saat ini. Sementara itu, perlu diketahui bahwa batu bara merupakan komoditas andalan RI saat ini. Bahkan, pada 2020 Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ketiga di dunia setelah China dan India.
Lantas, apakah menekan pemakaian batu bara adalah sebuah solusi? Simak wawancara khusus Reporter PK identitas Unhas, Miftahul Janna bersama Anggota Dewan Energi Nasional sekaligus Dosen Teknik Geologi Universitas Hasanuddin, Dr Ir Musri MT, Minggu (11/06).
Bagaimana pandangan Anda terkait keputusan presiden yang bertujuan menekan penggunaan batu bara sebagai sumber energi?
Keputusan tersebut sebetulnya didasarkan atas kebijakan energi nasional. Dalam kebijakan itu, bukan berarti pemerintah meniadakan batu bara, tapi hanya mengurangi secara perlahan. Batu bara akan tetap ada dalam sistem energi kita karena potensinya yang cukup besar, bahkan mungkin kita masih memiliki cadangan sampai 66 miliar dari sekarang. Tetapi karena terkait dengan penurunan emisi maka kita perlu program dekarbonisasi.
Dekarbonisasi sebetulnya tidak dimaksudkan untuk meniadakan batu bara, tapi bagaimana menurunkan emisi karbon (CO2) atau gas rumah kaca dari sektor energi. Jadi kalau ada pengembangan pembangkit di masa mendatang, maka akan difokuskan pada energi terbarukan. Sebetulnya keputusan memang didasarkan atas apa yang kita sebut dengan kebijakan energi nasional. Jadi mungkin sekarang ini pemerintah tidak akan mengeluarkan persetujuan untuk pembangunan yang baru dan menyelesaikan yang lama dan sudah mendapatkan kontrak pembelian dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang tentunya tidak bisa dihentikan.
Apakah ada akibat yang ditimbulkan dari transisi energi ini?
Akhir tahun 2022, bauran energi kita hanya 12,2 persen. Artinya ada 87,8 persen masih berasal dari energi fosil dan yang mengambil porsi besar sekaligus paling tinggi emisinya adalah batu bara. Kalau ini kita hentikan total bisa berbahaya juga karena energi surya tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Tak hanya itu, energi terbarukan juga tidak bisa diekspor ke luar pulau.
Kemudian dari segi ekonomi, selain pajak, kita memperoleh pendapatan negara cukup besar dari sektor mineral, utamanya batu bara. Kalau ini ditiadakan maka akan menggerus perekonomian dan otomatis APBN juga ikut bermasalah. Karenanya, saat ini dibuat yang namanya transisi, perubahannya tidak bisa drastis dan selalu ada tes emisinya. Misal sekarang, kita sudah menghilangkan premium BBM dan diganti dengan pertalite, begitu pun minyak tanah diganti dengan gas.
Apa saja tantangan industri batu bara dalam transisi energi baru terbarukan?
Tantangannya adalah teknologi. Memang saat ini lagi digalakkan pengurangan emisi batu bara dengan teknologi yang disebut Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization Storage (CCUS). Pembangkit akan dipasang alat untuk menangkap CO2 lalu diinjeksikan ke dalam tanah dalam satu reservoir (tempat menyimpan karbon) yang disebut carbon storage. Namun lagi-lagi teknologi jenis ini masih dikategorikan mahal dan dikhawatirkan akan lari ke biaya energi. Sementara jika pemerintah berhenti memasok dan mengekspor batu bara juga akan menggerus perekonomian.
Lantas energi terbarukan apa yang dapat digunakan untuk mengganti penggunaan batu bara?
Kita memiliki potensi lain yakni hydropower (tenaga air). Hydropower kita sebagian malah belum mendapatkan persetujuan pembelian karena harganya yang mahal, tentu kita tidak ingin masyarakat membayar listrik yang mahal. Jadi memang tidak mudah mengganti batu bara di sektor tersebut mengingat batu bara masih menjadi sumber energi termurah.
Kemudian kita bisa mengembangkan energi baru terbarukan dengan berganti ke tenaga surya bahkan nuklir yang juga bisa memperkuat dari segi industri. Di dunia saat ini, negara maju seperti Prancis, Jerman, Inggris dan Amerika secara revolusi industri sejak ditemukannya mesin otomotif mereka sudah mengembangkan energi nuklir. Negara tersebut telah menggunakan pembangkit listrik tenaga nuklir. Di Indonesia, kita selalu diskusi terkait hal tersebut dan ada yang mengatakan berisiko. Memang berisiko, batu bara pun sama halnya demikian. Jadi untuk mengganti posisi fosil ini memang tidak ada pilihan lain kecuali nuklir.
Kalau kita hitung-hitung, dalam kebijakan pemerintah ingin mengembangkan sampai 3.000 mega watt dari panel surya, menurut saya bagus idenya tapi Anda tahu satu mega itu butuh satu hektar. Akan tetapi, di negara kita di daerah tertentu bisa terjadi hujan selama tiga sampai empat bulan lamanya dan tentunya sulit untuk mendapatkan cahaya matahari. Oleh karena itu, tidak ada jalan kecuali mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir dan teknologi ini sudah sangat maju.
Menurut Anda yang harus dilakukan pemerintah dalam menyukseskan program Net Zero Emission?
Kita harus mengembangkan kearifan lokal dengan mendorong suatu daerah lebih mandiri dalam memanfaatkan potensi energi di daerahnya, misalnya penggilingan padi. Kemudian, mengajak masyarakat agar hemat energi. Penggunaan kendaraan pribadi sedapat mungkin dikurangi dan mulai menggunakan kendaraan umum. Terakhir, pemerintah juga perlu mempertimbangkan penggunaan nuklir sebagai alternatif sumber energi lain. Ini karena nuklir jauh lebih bersih lantaran hampir tidak mengeluarkan emisi.
Data Diri Narasumber
Nama: Dr Ir Musri MT
Tempat, Tanggal Lahir : Lagundi, Buton, 21 Desember 1961
S1 : Teknik Geologi, Universitas Hasanuddin (1988)
S2 : Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (2001)
S3 : Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (2015)