Seorang penulis dan peneliti politik Indonesia, Prof Dr Mochtar Pabottingi MA, menghembuskan nafas terakhirnya pada Juni 2023. Peneliti politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini bernama Badan Riset dan Inovasi (BRIN) ini merupakan pria kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, 77 tahun silam tepatnya pada 17 Juli 1945.
Selain menjadi peneliti politik, Mochtar juga merupakan penulis andal yang memulai kariernya sejak duduk di bangku perkuliahan. Ia menulis beberapa karya, salah satunya puisi. Puisi karya Mochtar sering kali terpilih oleh Linus Suryadi AG yang merupakan salah satu penyair puisi terkenal di Indonesia dan dimuat dalam antologi puisi Tonggak 3 pada 1987.
Dalam perjalanan pendidikannya, Mochtar kerap kali berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia sempat mencicipi bangku perkuliahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin (Unhas) lalu pada tahun kedua ia berpindah ke Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas dengan jurusan Sastra Inggris. Saat itu, ia juga mendapatkan beasiswa berkuliah di Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Mochtar kembali berpindah dan menyelesaikan sarjananya di UGM. Pendidikan magisternya ditempuh di Universitas Massachusetts, Amerika Serikat, hingga meraih gelar MA pada 1980. Tiga tahun setelahnya, Mochtar melanjutkan pendidikan untuk meraih gelar doktor di University of Hawaii, Amerika Serikat.
Karier Mochtar dirintis ketika menjadi wartawan mahasiswa bersama Andi Syaifuddin Makka, Syarifuddin Husain, Thamrin Ely, Ronald Ngantung, dan Syamsu Nur yang semuanya tergabung dalam Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia. Berawal dari situ, Mochtar menjadi redaktur aktif di surat kabar KAMI Sulawesi Selatan (cikal bakal lahirnya Harian Fajar Makassar) yang saat itu dipimpin oleh HM Alwi Hamu. Hingga pada 1975, Mochtar berpindah ke Jakarta untuk menjadi co-editor majalah Titian yang dikelola oleh Kedutaan Besar Amerika.
Salah satu hal yang paling menonjol dari sosok Mochtar adalah kepiawaiannya dalam menulis puisi. Karya-karyanya kerap kali dimuat dalam majalah dan surat kabar hingga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dan dimuat di antologi puisi On Foreign Shores: American Images in Indonesian Poetry pada 1990. Ia juga menerbitkan buku yang berisi kumpulan karya puisinya seperti Suara Waktu (Erlangga, 1999) dan Rimba Bayang-Bayang (Kompas, 2003), serta menerbitkan sebuah novel dengan tajuk Burung-Burung Cakrawala pada 2013 yang bercerita mengenai kisah perjalanan hidupnya sejak masih di Bulukumba hingga melintasi tiga zaman dari berbagai kota di Indonesia dan mancanegara.
Perjalanan panjangnya dalam bidang kepenulisan memang tidak dipungkiri, namun orang lebih banyak mengenal Mochtar sebagai seorang peneliti dibandingkan penulis puisi. Mengapa tidak, ia sempat menjabat sebagai peneliti utama bidang perkembangan politik nasional di LIPI sejak 1990 hingga era reformasi. Dirinya dikenal sebagai kritikus masa orde baru. Tak hanya itu, dari kacamata beberapa kerabatnya, Mochtar juga dikenal sebagai seorang pakar politik yang selalu berbicara kebenaran dengan penuh kesantunan, dan tidak pernah menghardik orang lain.
Hingga saat memiliki empat anak dan lima orang cucu, Mochtar tetap mempertahankan aktivitas penulisannya mengenai kondisi politik saat ini. Ia merupakan orang yang sangat peka terhadap kondisi politik di Indonesia melalui berbagai referensi yang didapatkan, mulai dari televisi hingga koran. Kerap kali saat fokus mendengarkan atau membaca berita, Mochtar tidak dapat diganggu karena sangat berkonsentrasi dalam menulis apa yang ia rasakan.
Tak hanya aktif menulis, Mochtar juga merupakan sosok yang turut andil dalam hal melestarikan kesenian. Ia kerap kali manggung bersama beberapa seniman, salah satunya yaitu Aspar Paturusi yang merupakan seniman dan aktor asal Bulukumba. Kecintaannya pada kesenian ditunjukkan melalui beberapa karya yang dihasilkan. Mochtar pernah menjadi juara dalam lomba deklamasi hingga bermain drama dalam kelompok Teater Gadjah Mada.
Perjalanan panjang yang penuh dedikasi dari Prof Mochtar Pabottingi harus terhenti ketika ia menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu dini hari 4 Juni 2023 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Peneliti dan penulis Indonesia ini dimakamkan di Blad 36 Taman Pemakaman Umum (TPU) Penggilingan Layur, Pulo Gadung, Jakarta Timur setelah Zuhur, 4 Juni 2023.
Ugi Fitri Syawalyani
Ditulis dari berbagai sumber