“Kurikulum itu inti dari suatu proses pembelajaran yang dijanjikan ke mahasiswa.”
Begitulah pentingnya kurikulum menurut Ketua Lembaga Penjaminan Mutu dan Pengembangan Pendidikan (LPMPP) Universitas Hasanuddin (Unhas), Dr Ir Musrizal Muin MSc ketika di temui di ruangannya, Kamis (24/08).
Bukan hanya sebagai janji, kurikulum pada perguruan tinggi memiliki andil besar terhadap pencapaian generasi penerus bangsa. Hal ini dikarenakan kurikulum dibangun untuk memikirkan output mahasiswa yang lulus. Kurikulum berarti profil yang dijabarkan universitas kepada mahasiswanya.
“Itu dibangun untuk memikirkan output mahasiswa yang lulus seperti apa nanti pada lima tahun ke depan,” ucap Musrizal.
Untuk menciptakan output terbaik pada lulusannya, universitas tak henti melakukan evaluasi hingga menghadirkan perubahan pada kurikulum. Lazimnya, kurikulum dievaluasi sekali dalam lima tahun. “Jadi desain kurikulum diciptakan untuk kebutuhan lima sampai sepuluh tahun dan relevan dengan dunia kerja,” katanya.
Bertalian dengan itu, Unhas pada November 2022 kemudian menghadirkan kurikulum baru bernama Kurikulum 2023 (K23) setelah sepuluh tahun memakai kurikulum berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof drg Muhammad Ruslin MKes PhD SpBM(K), menjelaskan perubahan tersebut bukan tanpa sebab, terdapat beberapa pertimbangan Unhas hingga menetapkan K23 sebagai pedoman yang akan memandu proses pembelajaran mahasiswa, terutama angkatan baru 2023.
“Itu dibuat untuk melihat jauh ke depan. Kita menyusun kurikulum dengan mengadaptasi beberapa tahun yang akan datang,” ungkapnya, Senin (14/08).
Terbatasnya ruang pembelajaran untuk peningkatan keterampilan mahasiswa di Kampus Merah menjadi alasan pertama perubahan kurikulum. Ruang kelas yang diharapkan mahasiswa dapat melakukan pembelajaran berbasis kasus ataupun projek belum sepenuhnya dapat mewadahinya.
Tidak jarang pula, mahasiswa yang ingin mengembangkan karakter, soft, dan hard skills dengan ikut aktif dalam beberapa kegiatan di luar kampus cenderung memiliki masa studi yang panjang dikarenakan kegiatannya tidak terakomodir oleh kampus. “Banyak yang melakukan (kegiatan di luar kampus) tapi tidak diakui, nah inikan masalah,” ungkap Ruslin.
Sejalan dengan itu, masalah sama juga terjadi pada mahasiswa yang mengikuti salah satu program terobosan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Nadiem Makarim, yaitu Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Acapkali, mahasiswa terkendala ketika melakukan pengajuan kredit SKS (Satuan Kredit Semester) untuk program tersebut.
Upaya internasionalisasi turut menambah satu dari banyaknya alasan reorientasi kurikulum ini. Unhas menyadari keterserapan kerja para jebolannya sebesar 63,4 persen masih berorientasi di tingkat lokal maupun regional sedangkan lulusan kerja pada perusahaan dan instansi asing sekitar 9,6 persen. Bahkan, jumlah alumni Unhas yang bergaji layak hanya sekitar 27,1 persen. Belum lagi kerja sama didominasi oleh mitra nasional sekitar 92,8 persen. Hal-hal tersebut berdampak pada reputasi Unhas.
“Kita sangat berharap mereka bisa memiliki kemampuan yang diterima langsung kerja di dunia usaha, dunia industri, dan di perusahan-perusahan terbaik nasional maupun asing,” jelas Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi itu.
Dari sekian alasan tersebut, K23 pun lahir dengan struktur yang terbagi menjadi dua dan pembagian SKS yang berbeda pula, yaitu Kurikulum Kesehatan membutuhkan minimum 155 SKS dan Kurikulum Non-Kesehatan mengumpulkan 144 SKS.
Untuk desain mata kuliah yang akan diemban mahasiswa angkatan 2023 sendiri terbagi dalam tiga kelompok, yaitu Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU), Mata Kuliah Kompetensi Program Studi (MKKPS), dan Mata Kuliah Penguatan Kompetensi (MKPK).
Pada semester awal penerapan K23 oleh mahasiswa baru terdapat 12 SKS Mata Kuliah Wajib Umum dari kementerian dan terdapat dua dari Unhas. Sedangkan untuk MKKPS bernilai 112 SKS. “Kalau dari kementerian itu ada Pendidikan Agama, Pancasila, Bahasa Indonesia, dan Kewarganegaraan maka dari universitas ada dua, yaitu Bahasa Inggris dan Wawasan Sosial Budaya Maritim dan Ipteks (WSBMI),” jelas Direktur Pendidikan, Dr Risma Illa Maulany SHut MNatRest, Jumat (30/05).
Adapun untuk MKPK yang membedakan K23 ini dengan kurikulum sebelumnya bernilai 20 SKS untuk struktur non-kesehatan dan sepuluh SKS untuk struktur kesehatan. Berbeda dengan mata kuliah lainnya, MKPK bersifat non-akademik yang diperoleh dari kegiatan atau prestasi mahasiswa. Mata kuliah tersebut dilaksanakan dengan dua metode, yakni terencana dan rekognisi pembelajaran lampau.
Seperti sapuan kuas di atas kanvas, K23 menciptakan gambaran yang lebih utuh tentang mahasiswa yang tangguh dan berwawasan. Ini adalah tempat di mana pengetahuan akademik, keterampilan interpersonal, kemampuan analitis, dan ketekunan dipoles, menciptakan karya seni berupa lulusan yang siap menghadapi berbagai medan, termasuk yang belum terjamah. Lantas, dengan konsep sedemikian ‘mewah’, akankah implementasi praktis dari terobosan ini sesuai dengan konsepnya?
Tim Lipsus
Baca berita selanjutnya: Adaptasi Implementasi Kurikukulum Baru