Fenomena pernikahan dini masih banyak terjadi di Indonesia, khususnya masyarakat di wilayah pedesaan. Ada beberapa penyebab utama, salah satunya karena faktor budaya yang sangat kuat di beberapa wilayah yang masih memegang teguh tradisi pernikahan dini. Misalnya di Tana Toraja, tepatnya di Kecamatan Sanggalangi, di mana masyarakatnya memiliki budaya yang mengharuskan anak perempuan yang sudah menstruasi dan laki-laki yang sudah bekerja untuk menikah karena dianggap sudah dewasa.
Yudho Bawono dalam Jurnal Dinamika Sosial Budaya (2020) mengungkap bahwa jika orang tua tidak segera menikahkan anaknya maka bisa dianggap sebagai aib keluarga. Padahal, ada dampak negatif yang timbul akibat pernikahan dini. Dari yang menyangkut kesehatan seperti potensi kecacatan pada anak yang dilahirkan, hingga berbagai masalah sosial dan ekonomi.
Lantas mengapa fenomena pernikahan dini masih saja terjadi di masyarakat dan mengapa budaya menjadi salah satu pemicunya? Reporter PK identitas Unhas, A Nursayyidatul Lutfiah, berkesempatan untuk melakukan wawancara khusus bersama Prof Nurul Ilmi Idrus PhD selaku pakar gender dan antropologi, Jumat (18/08). Berikut petikan wawancaranya.
Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan tradisi pernikahan dini kian berkembang di beberapa daerah?
Perlu diperjelas dulu bahwa pernikahan dini dan pernikahan anak itu berkaitan tapi tidak identik. Perkawinan anak dilihat dari usia. Anak-anak Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak itu jika usianya di bawah 18 tahun. Sementara pernikahan dini tergantung bagaimana mempersepsikan usia seseorang dikatakan kawin dini atau tidak.
Pernikahan dini di masyarakat berkembang karena faktor budaya. Biasanya mereka yang sudah menstruasi dianggap sudah bisa dinikahkan. Pertimbangan lain untuk menikahkan seorang anak misalnya badannya sudah bongsor, laki-lakinya sudah bekerja, perilakunya bagus dan bukan peminum, itu semua sangat subjektif.
Kemudian orang tua malu kalau anak-anaknya itu selalu pacaran. Orang tuanya juga bangga kalau anaknya cepat menikah. Itu karena faktor budaya.
Kendati sudah diatur dalam Undang-Undang, masih ada orang tua yang abai terhadap aturan dan tetap menikahkan anaknya dengan dalih budaya, bagaimana menurut Anda?
Masyarakat selalu mengatakan, saat ini orang tidak bisa menikah cepat karena ada peraturan. Seakan-akan peraturan itu baru dibuat, padahal peraturannya sudah ada sejak lama. Nanti 2019 baru ada aturan karena dahulu belum computerize, jadi datanya bisa diubah. Sekarang manipulasi tidak bisa dilakukan, dan buku nikah tidak akan dengan mudah dicetak. Jadi tunggu sampai usianya mencukupi baru dibolehkan.
Kita tidak bisa menolak kalau orang tuanya mau menikahkan anaknya karena dia sudah lakukan budayanya semua. Jadi, kalau mereka mau nikah ini budayanya yang dikedepankan dan bukan surat-surat yang diurus terlebih dahulu, tetapi rangkaian acaranya dahulu. Semua sudah selesai baru ke pengadilan. Jadi, pengadilan mau bilang apa? Itu kan menjadi dilema.
Bagaimana dampak dari pernikahan dini di masyarakat?
Pada perempuan, ada kaitannya dengan kesehatan reproduksi. Kalau menikah dan hamil dalam usia yang begitu muda akan berbahaya bagi kesehatan reproduksi. Perkawinan di usia anak seperti itu juga rentan pada banyak hal, seperti beban finansial karena belum bekerja, dan belum tahu mengurus anak. Ini menjadi dilema dan itu konsekuensi pada anak dan orang tua.
Apakah budaya seperti ini dapat dihilangkan mengingat dampak negatif yang ditimbulkan jauh lebih besar?
Kita harus selalu berpikir positif bahwa ini bisa dicegah sedikit demi sedikit. Ini didukung oleh kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya yang semakin tinggi. Namun kalau kita ke desa-desa mencari anak yang menikah dini, itu masih ada.Dia tidak mengira begitu susahnya pernikahan, karena yang dia tahu itu nanti kalau sudah kawin enak, bisa selalu bersama pasangan. Itu yang dia pikirkan, tetapi ternyata bebannya banyak sekali. Beban finansial hingga beban pengasuhan anaknya sendiri.
Apa solusi yang bisa diberikan?
Solusinya yaitu kita tidak boleh pasrah. Kasihan generasi selanjutnya, jadi dengan berbagai gerakan-gerakan yang dilakukan bukan hanya dari kampus dan LSM, tetapi kita kerja sama semua. Tidak bekerja parsial, supaya kita bisa melawan hal itu secara bersama-sama.
Saya tidak mau orang pesimis, karena dari salah satu program yang kami cetuskan yakni Gerakan Ayo Kuliah (GAK) ternyata cukup mempan walaupun ada saja hal tak terduga.
Bagaimana harapan anda untuk pernikahan dini ke depannya?
Anak-anak saat ini harus mampu mengembangkan dirinya sendiri. Selalu saya tekankan agar jangan sekolah hanya sampai sarjana. Mau menikah setelah sarjana boleh, tapi sekolah lagi karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Kalau ingin menikah jangan terlalu euforia, dan harus punya komitmen bersama pasangan di awal.
Data diri narasumber
Prof Nurul Ilmi Idrus PhD
Riwayat pendidikan:
S1 Antropologi Fisip Unhas 1987
S2 Antropologi Sosiologi di Valdosta State University Georgia Amerika Serikat 1992
S3 Antropologi di University of Canberra Australia 2003