Yang fana adalah waktu, kita abadi
Memungut detik demi detik
Merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa
”Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu
Kita abadi.
(Sapardi Djoko Damono)
Gelapnya malam begitu pekat bersanding dengan air yang bercucuran dari pelupuk mata, kaki yang tadinya kokoh tiba-tiba lemas dan tubuh rasa-rasanya seperti ditindih oleh batu raksasa. Hampir saja tubuhmu ambruk ke tanah sebelum akhirnya tanganmu menggapai tiang besi yang agak kokoh itu. Kau bersusah payah mengambil kendali atas dirimu yang sudah sesegukan, semuanya nampak gelap, “Inikah rasanya kehilangan orang yang begitu penting dalam hidup manusia?” batinmu sesaat.
Suara telepon genggam berdering, diikuti suara turut berduka cita dari ibumu, kau ingin menjawab ucapan itu, namun kata-kata itu tercekat di tenggorokan. Samar-samar suara wanita dari ujung telepon itu menenangkan.
”Masih adakah kata maaf, bu? Sudah tidak ada lagi yang bisa saya lakukan,” katamu yang penuh rasa sesal.
Malam itu seluruh ingatan masa lalu berkelebat dan enggan untuk menghilang. Kau mencari-cari ingatan tentang ayahmu tapi hanya ada dua sampai tiga ingatan saja yang terlintas seperti kaset lama yang biasa ayahmu berikan saat masih kecil.
Ingatan ketika tanpa sengaja kau terjatuh dalam kubangan yang berisi air dan kau tak dapat berenang, sangat jelas terekam ketika ayahmu melompat ke dalam dan menyelamatkan nyawamu yang hampir saja tak tertolong hari itu, atau ingatan saat senja di beranda rumah nenek, ayahmu menunjuk burung gereja yang terbang berombongan dan sedang mencari tempat untuk menghabiskan malamnya.
Kau duduk di pangkuannya, mengamati ayahmu yang sibuk menghitung jumlah burung yang melintasi rumah panggung itu. Cuma itu yang bisa kau ingat, selanjutnya hanya sekumpulan foto-foto ketika kau digendong olehnya.
”Mengapa saya terlalu bahagia di foto ini? Dan kenapa kebahagiaan itu harus direnggut? Siapa yang merenggut semua kebahagiaan ini?” katamu bertanya-tanya ketika melihat deretan foto pada album tua yang masih disimpan oleh nenek.
Ibarat sebuah buku, kau mengidentifikasi ingatan tentang ayahmu layaknya sepertiga halaman pertama saja, dan halamannya selanjutnya adalah kekosongan yang harus ibumu isi dengan tertatih-tatih. Darahnya memang mengalir deras di tubuhmu, namun menyentuh telapak tangannya pun tak pernah. Sehingga kau tumbuh dengan rasa canggung pada ayahmu sendiri, apalagi saat mendengar dirinya menolak untuk bertemu walaupun kau merasa sudah benar-benar siap, serta telah bersusah payah pada malam harinya untuk menyusun kata-kata yang perlu dikeluarkan nantinya.
Sebenarnya sudah seminggu sejak pertama kali kau mendapat kabar bahwa ayahmu sakit, dan perlu dirawat intensif di rumah sakit. Namun ego itu, masa lalu yang sunyi dan penuh rasa benci masih tumbuh dan mengakar di sanubari. Seringkali ketika mendengar nama ayahmu, kau seperti kembali tenggelam pada memori masa kecil yang tidak pasti dan terlunta-lunta, atau menyaksikan punggung ibumu yang kian menjauh karena harus berperan sebagai orang tua tunggal.
Tetapi entah mengapa semua sikap itu runtuh ketika berdiri di hadapan rumah nenek yang terakhir kamu injak pada waktu balita. Kerumunan orang berbaju hitam yang wajahnya nampak kuyuh dengan kesedihan, dan saut-sautan ayat suci Al-Quran yang jelas terdengar dari para pelayat, membuat dadamu sempat sesak. Semua mata tertuju padamu, kau seakan dilemparkan ke jurang yang dipenuhi tanda tanya, namun tak berselang lama, derik anak tangga rumah panggung yang agak rapuh itu menyadarkanmu jika tak lama lagi dirimu akan melihat ayah setelah belasan tahun tak bertemu.
Tak jauh dari pintu masuk, ayahmu terbaring di sana, kaku dan dingin. Kau membisu, tunduk di hadapan tubuh yang tak lagi mampu memberi penjelasan atau setidaknya pesan. Tangismu kembali pecah, bayang-bayang penyesalan merekah, menyelimuti pikiran yang sebenarnya telah menyiksamu sejak semalam.
Jenazah akhirnya dibawa ke pemakaman dengan menggunakan mobil ambulans, suara sirine yang memekakkan telinga dan iring-iringan pengantar melesat melintasi jalan menuju keabadian. Tubuh ayahmu perlahan dimasukkan ke dalam lubang yang dirancang seukuran tubuhnya. Kau berdiri di situ, menatap kelemahan manusia yang kadang sok berkuasa, membayangkan seramnya makam ketika jiwa tak lagi bisa apa-apa.
Hari-hari selanjutnya, kau melihat ayahmu duduk di sebuah kursi, kau menghampirinya dan ia tak bersuara sama sekali, hanya tersenyum manis padamu. Kau berdiri di hadapannya, memberanikan diri melihat bola mata itu, ketika kata maaf mulai kau ucapkan, yang terdengar adalah doa-doa dengan harapan ayahmu bisa tenang dan masuk ke dalam surga-Nya.
Di tengah hiruk-pikuknya kehidupan, izinkanlah aku tak membiarkanmu dalam sepinya kematian.
Achmad Ghiffary M
Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Angkatan 2021
Sekaligus Koordinator foto PK identitas Unhas