Lebih tujuh dekade telah berlalu sejak Indonesia merdeka membuat kita sudah sepatutnya memberi penghormatan kepada setiap tokoh yang berkontribusi dalam sejarah pencetusan konsep negara. Nama Soekarno maupun Hatta memang terdengar begitu nyaring dengan kemerdekaan Indonesia. Namun, di antara nama besar tersebut, ada satu pejuang kemerdekaan revolusioner yang kerap terlupakan. Ia adalah Tan Malaka.
Pria bernama asli Sutan Ibrahim itu memiliki gelar Datuk Tan Malaka. Ia merupakan anak dari pasangan Rasad Caniago dan Sinah Sinabur yang lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Sumatera Barat. Tan Malaka merupakan lulusan Kweekschool Bukittinggi 1913 saat usianya masih terbilang sangat muda, yakni 16 tahun. Berkat bantuan guru Belanda bernama Hendrikus Horensma dan uang saweran sekampung pada pesta perpisahan, Tan Malaka berhasil melanjutkan pendidikan di Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda.
Enam tahun menimba ilmu di Belanda tak kunjung membuat Tan Malaka mendapat izin mengajar di Negara Kincir Angin itu. Hingga akhirnya setelah Perang Dunia 1 berakhir pada 1919, ia memutuskan kembali ke tanah air dengan tekad mengubah nasib bangsanya. Tan Malaka membawa pulang pengetahuan politik yang telah diperoleh selama masa pendidikan, termasuk keterlibatannya pada sejumlah gerakan sosialis dan komunis yang radikal.
“Mengajari anak-anak Indonesia saya anggap pekerjaan tersuci dan terpenting,” tulisnya dalam memoar Dari Penjara ke Penjara.
Tan Malaka lalu menjadi guru di salah satu sekolah yang didirikan oleh perusahaan perkebunan teh Belanda di Deli, Sumatera Utara. Di sana, ia menyaksikan ketimpangan sosial antara kaum buruh dan tuan tanah. Semangat radikalnya pun bergejolak. Tidak tahan menyaksikan orang-orang ditindas, Tan Malaka akhirnya memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai guru lalu pindah ke Semarang.
Saat di Semarang, ia membangun sekolah rakyat bersama Semaun dan Ketua Sarekat Islam Semarang. Sekolah itu diberi nama Sekolah Sarekat Islam. Selain itu, Tan Malaka juga aktif mendukung gerakan melawan ketidakadilan dan pernah terlibat sebagai anggota Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang kemudian disebut Partai Komunis Indonesia (PKI). Tan Malaka bahkan terpilih sebagai pimpinan partai saat Kongres PKI di Semarang 24-25 Desember 1921.
Seiring berjalannya waktu, Sarekat Islam Semarang pun sepenuhnya menjadi Partai Komunis Indonesia pada 1924. Pada waktu yang bersamaan, Tan Malaka sendiri berada di Belanda karena diasingkan oleh pihak berwenang. Sejak 1925, ia pun hidup sebagai pelarian, berpindah dari satu negara ke negara lainnya. Meski demikian, ia tetap aktif menulis selama masa pengasingan.
Salah satu bukunya yang terkenal berjudul Naar De Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang terbit pertama kali di Katon, Cina. Buku ini dikenal sebagai salah satu sumber inspirasi tokoh kemerdekaan dalam merumuskan visi misi Indonesia. Dari buku ini pula, Tan Malaka memperoleh julukan Bapak Republik Indonesia sebagai penghormatan atas perjuangannya.
Keberadaan Tan Malaka pun menjadi incaran polisi Hindia Belanda, Inggris, hingga Cina. Akibatnya, ia berkelana menjelajahi banyak negara dengan nama dan latar belakang yang berbeda-beda. Kemampuannya dalam membuat identitas yang beragam membuatnya juga dikenal sebagai ahli penyamar. Setelah 20 tahun mengembara dalam kejaran polisi, ia akhirnya pulang ke Indonesia setelah masa kemerdekaan.
Kecerdasan dan kemampuan Tan Malaka dalam merumuskan strategi politik membuat Soekarno terkesima dan menunjuknya sebagai pengganti presiden jika terjadi sesuatu pada Soekarno. Meski tawaran tersebut begitu menggoda, Tan Malaka tetap menolak dengan alasan status pemerintahan Indonesia belum stabil dan negara masih berkolaborasi dengan Jepang.
Sayangnya, Tan Malaka kembali dipenjara pada 17 Maret 1946. Kali ini, ia ditahan atas tuduhan mengacaukan keadaan dan melakukan tindakan yang mengganggu ketertiban umum. Selama dua setengah tahun menjadi tahanan negara sendiri, Tan Malaka telah menulis beberapa buku, termasuk autobiografinya yang terkenal Dari Penjara ke Penjara.
Pemikiran Tan Malaka kadang kala tidak sejalan dengan gagasan Soekarno dan Hatta. Ia sempat menulis keinginannya yang mau menjadikan Indonesia sebagai negara sosialis. Tan Malaka bahkan seringkali mengkritik politik diplomasi Indonesia. Namun, propaganda itu dinilai sebagai ancaman oleh pemerintah sehingga pada malam 21 Februari 1949, Tan Malaka ditangkap dan ditembak di Desa Selopanggung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Begitu naas hidup Bapak Republik Indonesia itu, dieksekusi mati oleh kaum negerinya sendiri.
“Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi!” seru Tan Malaka ketika ditangkap polisi Hong Kong pada 1932.
Ajaibnya, pernyataan itu justru menjadi kenyataan setelah kematian Tan Malaka. Sejumlah kalangan pun berusaha menguak dan menyuarakan pemikirannya yang abadi itu melalui tulisan.
Nurul Fahmi Bandang