Pemanasan global semakin meningkat sehingga menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan. Kenaikan suhu global ini telah menyita perhatian dari berbagai pihak yang sadar akan bahaya dari pemanasan global. Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, era pemanasan global telah berakhir dan era pendidihan global telah tiba. Pernyataan itu sontak viral di media sosial.
Suhu global yang semakin meningkat pada dasarnya disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Berdasarkan dari laman kompas.id, World Meteorological Organization (WMO) mengatakan, emisi karbon telah memenuhi atmosfer bumi dengan jumlah fantastis. Lembaga Global Carbon Project (GCP) juga menghitung, setidaknya emisi karbon dari bahan bakar fosil mencapai 36,6 gigaton sepanjang tahun 2022. Kontribusi terbesarnya berasal dari makin masifnya penerbangan internasional pasca pandemi Covid-19. Sedangkan, emisi karbon dari bahan bakar fosil disumbang oleh empat sumber, yaitu batu bara, minyak bumi, gas alam dan semen. Belum lagi karbon yang berasal dari pengolahan tanah pertanian.
Dampak nyata yang dirasakan dari pemanasan global adalah berbagai bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, kenaikan muka air laut, dan bencana yang disebabkan oleh angin. Bencana ini akan terus meluas dan akan mengancam semua orang. Bukan hanya kerugian materi yang akan ditimbulkan akan tetapi bisa menimbulkan korban jiwa. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.216 peristiwa bencana alam selama periode Januari hingga Agustus 2023. Sebagian besar adalah banjir dan cuaca ekstrem. Kemudian diikuti oleh tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kekeringan, gelombang pasang/abrasi, gempa bumi dan erupsi gunung api.
Selain dari pemanasan global, bencana alam dan kerusakan lingkungan juga tidak terlepas dari perubahan tata guna lahan. Alih fungsi lahan dari hutan menjadi lahan perkebunan yang luas, pemukiman, pertambangan, area industri dan lahan terbangun lainnya juga menjadi bencana hidrometeorologi. Sebagai salah satu contoh pada suatu daerah aliran sungai yang secara masif dilakukan alih fungsi lahan, maka akan mengganggu sistem hidrologi yang ada.
Maka dari itu, pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan perlu untuk dilakukan demi menjaga kelestarian lingkungan. Bukan hanya sekedar momentuman saja, tetapi harus dilakukan secara berkesinambungan. Bukan hanya hari ini menanam pohon, esok kemudian ditinggal tanpa ada perawatan terhadap pohon yang ditanam itu. Tetapi yang dibutuhkan, sesuatu yang lebih radikal daripada itu untuk mengatasi perubahan iklim.
Masyarakat adat sebagai masyarakat alami yang tinggal di suatu wilayah pada dasarnya telah memberikan literasi iklim kepada anak cucu mereka. Kedekatannya terhadap alam membuat mereka sangat menjaga alam dan ekosistem alaminya. Mereka mengambil hasil dari alam sesuai dengan kebutuhan mereka sehingga lingkungan yang sustainable terbangun di wilayah adat mereka.
Kesadaran lingkungan dari masyarakat adat bukan hanya sekadar lahir dari kebiasaan, akan tetapi muncul dari hukum adat yang mengikat mereka sehingga membudaya dalam kehidupan sehari-hari. Denda yang didapat dari sanksi hukum adat bukan main, jika bukan harta yang dihabiskan, maka bisa saja nyawa yang melayang.
Salah satu contoh masyarakat adat di Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Bulukumba, adalah suku Kajang. Sebuah suku yang mempertahankan landscape lingkungan dari nenek moyang mereka tanpa ada intervensi teknologi di dalamnya. Hukum adatnya kuat terhadap lingkungan, bahkan dalam kepercayaan suku Kajang, alam ini dianggap sebagai bagian dari diri manusia, tanah dianggap sebagai ibu, dan langit dianggap sebagai ayah. Sehingga ketika merusak lingkungan, mereka akan merasa berdosa kepada alam yang telah memberikan sumber penghidupan.
Begitu pun dengan masyarakat adat Dayak di Kalimantan. Hukum adat yang mengatur lingkungan juga sangat dipatuhi. Tetapi yang ironi, masyarakat adat tidak mendapatkan keadilan iklim. Sebagai contoh, korban dalam pemanasan global, masyarakat adat Papua mengalami kelaparan karena kurangnya pasokan pangan, imbas dari kekeringan.
Namun ironisnya, wilayah masyarakat adat semakin sempit dan eksistensinya menghilang. Berdasarkan riset penulis di Kalimantan Barat, wilayah masyarakat adat Dayak semakin digeser oleh perkebunan sawit yang semakin meluas. Ditambah dengan konsesi tambang bauksit yang menerobos wilayah adat. Di sisi lain, penetapan kawasan hutan juga semakin menghimpit wilayah mereka sehingga mereka tidak bisa melakukan aktivitas pada kawasan tersebut. Mereka juga tidak mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari kawasan perkebunan sawit di sekitarnya. Satu-satunya yang mereka dapatkan adalah tinggal di atas kawasan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan.
Masyarakat adat seharusnya mendapatkan keadilan iklim, sebab hanya mereka yang mampu menjaga lingkungan melalui hukum adatnya. Hukum tersebut seharusnya juga bisa dijadikan sebagai contoh untuk membuat regulasi dalam mengatur lingkungan dan mencegah perubahan iklim.
Penulis: Engki Fatiawan
Mahasiswa Departemen Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin
Angkatan 2019