Aku adalah kanvas
Yang begitu menanti setitik noda harap dan cita
Kelak nanti akan kubagikan kembali pada kanvas lain yang patah arah
Dengan harap senyum menemaninya
Memberikan warna dalam hidupnya
Bait kata di atas adalah buah tangannya. Sosok itu, dengan cermatnya menyusun naskah menjadi karya tulis yang penuh warna dan makna, menggugah hati dan memicu semangat dalam diri setiap pembaca, tak terkecuali saya.
Dulu, saya hanya seorang pembaca lugu, gampang terbuai oleh pesona karya-karya orang yang lihai menciptakan dunia sendiri melalui goresan pena. Sempat terbesit keinginan untuk mengikuti jejak penulis lain, tapi entah mengapa kata-kata itu seringkali hanya berputar di kepala tanpa jatuh dalam lembaran kertas.
Namun secara tidak sengaja, sebuah karya tulis dari seseorang berhasil mengubah pandangan saya. Lewat kata-katanya, ragam suasana hati bisa jadi inspirasi. Membaca karyanya membuat kita merasa tidak sendiri. Saya pun merasa tersentak, seolah dia berhasil membuka pintu rahasia di dalam diri.
Penulis kondang itu bernama Panji Ramdana. Namanya mulai dikenal berkat musikalisasi puisi dengan latar suara khasnya yang diunggah di Instagram dan Youtube. Konsep puisi yang dekat dengan kehidupan remaja membuat karya Panji banyak digemari, bahkan buku-buku yang dijualnya secara mandiri selalu best seller.
Tidak heran juga sih, dirinya memang memiliki gaya tulisan yang berbeda dari penulis buku lainnya. Genre tulisan yang terkesan sendu dan acap kali menyindir kaum jomblo ini cukup membius pembaca dan ikut hanyut dalam pikiran. Yah, kepiawaiannya merayu hati lewat untaian kata berhasil membuat potongan tulisannya bertebaran di sosial media para remaja.
Tidak hanya soal perjodohan, buku-buku Panji Ramdana juga mengisahkan tentang keluarga, sahabat, hingga diri kita sendiri yang intinya bermuara ke arah kebaikan, seperti bukunya yang berjudul Menjadi Baik itu Baik, Agar Hatiku menjadi Ikhlas, Berdamai dengan Diri, Mencari Makna Kehidupan, dan masih banyak lagi.
Karya-karya luar biasanya ini pun akhirnya mendorong saya terjun ke bidangnya. Pada 2021, saya rela merogoh kocek untuk merasakan pengalaman class writerpreneur bersama Panji. Bisa dibilang, saya salah satu peserta yang cukup antusias karena bisa mendapat kiat menulis dari sang mentor.
Selama kelas, saya tidak hanya diajarkan soal teknik menulis, namun juga ditempa untuk membuat konten dan menciptakan gaya tulisan yang khas, berkarakter, dan punya segmentasi pembaca. Layaknya Panji yang melekat dengan melodi tulisan romantis, bersama pembacanya yang sebagian besar berasal dari barisan kaum hawa.
Berjumpa di penghujung kelas, setiap peserta membuat sebuah karya tulis untuk disatukan dalam buku antologi Tak Apa Menangis, Namun Jangan Sampai Menyerah. Tepat di halaman 170, tulisan saya ikut bertengger dengan judul Kita Semua Diuji, menceritakan tentang setiap orang yang pasti mendapat ujian.
Pemakaian tutur yang masih sangat sederhana kala itu membuat saya cukup bimbang. Bagaimana saya memulainya? Akankah pembaca tertarik? Makna apa yang bisa dipetik dari tulisan polos ini? Entahlah, dan entah bagaimana pula tulisan itu pun jadi.
Terselip makna dalam tulisan saya bahwa setiap ujian bukanlah akhir dunia. Tanpa disadari, kita sebenarnya lebih kuat dan berani daripada yang dipikirkan. Karenanya, kita tidak boleh terjebak dalam kekhawatiran panjang saat menghadapinya. Ujian mungkin membuat kita teringat pada situasi dimana kita berada, tapi jangan biarkan ujian yang larut hari ini menyesatkan arah langkah kita di hari esok.
Kelas menulis pun ditutup dan saya baru membuka mata, seolah menyadari betapa tertinggalnya diri ini dari yang lain. Rangkaian kata syahdu yang mereka kemas membuat saya haru, sebab tiap ujung ceritanya mengandung makna yang tidak lepas dari pertolongan Sang Pencipta. Helai demi helai saya baca buku antologi itu, menyimak hasil karya teman pena seraya menyimpan kekaguman dalam setiap halamannya.
Namun sepersekian detik selanjutnya, kekaguman itu berubah jadi mimpi. Yah, mimpi lampau yang akhirnya bisa saya rasakan dengan penuh kesadaran. Dengan riang, saya melihat nama saya tertera dalam satu lembaran yang sama dengan Panji.
Masih terheran-heran sih sebenarnya, gadis ‘kosong’ seperti saya yang dulu suka berangan-angan, kini mulai pandai menyulap satu per satu impian jadi nyata. Demikian pula, saya yang awalnya hanya pengagum kata-kata, kini menemukan dan ingin mengukir jejak lebih lama lagi dalam dunia literasi, menginspirasi orang lain sebagaimana saya telah terinspirasi.
Miftahul Janna
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas
Sekaligus Bendahara PK identitas Unhas 2024