Makassar, sebuah kota metropolitan yang menjadi tujuan anak dari berbagai daerah melanjutkan pendidikan, utamanya pendidikan tinggi. Kota ini menawarkan gemerlap dan kesempatan-kesempatan yang tidak akan ditemukan di kampung halaman mereka. Sekaligus setiap kesenangan yang dapat dibayangkan seorang remaja tanggung.
Makassar lahir dari rahim kolonial, tepatnya Benteng Rotterdam pada akhir abad ke-17. Pada awalnya diperuntukan sebagai pusat pertahanan sekaligus perdagangan baru para pendatang Eropa. Karenanya, sejak awal berdiri kota ini dipenuhi para pendatang dari berbagai suku dan daerah yang bermukim di samping benteng tersebut. Ia terus tumbuh, dari populasi penduduk hingga luas wilayah dan menghasilkan Makassar yang kita kenal sekarang.
Dalam tulisan “Dari Makassar Ke Makassar: Aspek Demografi Dan Politik Proses ‘Etnisasi’ Sebuah Kota,” Dias Pradadimara menjelaskan bagaimana Kota Makassar yang berkembang menjadi salah satu kota metropolitan yang maju di awal abad ke-20, dengan jasa taksi, telepon kabel, dan toko-toko yang menjual barang-barang dari berbagai belahan dunia. Bahkan, saat itu para penduduk Makassar sudah dapat menikmati trem ke arah Takalar. Kemajuan dan modernisasi masuk melalui Makassar ke daerah-daerah terpencil Sulawesi kemudian.
Saya sendiri tergiur dan ingin menikmati kota modern ini. Tiga tahun silam, saya menetap di Makassar untuk berkuliah, disambut oleh pekikan klakson kendaraan dan sirine ambulans yang meraung-raung bak orkes jalanan, bersahut-sahutan. Jalan Perintis Kemerdekaan yang dipenuhi asap kendaraan dan suara manusia yang berlomba untuk pulang menjadi pemandangan sore yang mengenalkan saya pada kehidupan urban.
Pemandangan tersebut mengingatkan saya pada duo asal Surabaya, Silampukau. Bermodalkan pita suara, lirik ekspresif dan reseptif, serta gitar akustik, Kharis Junandharu bersama Eki Tresnowening membagikan pengalaman mereka menjalani kehidupan di kawasan urban, Surabaya, Jawa Timur. Perasaan yang sama dapat ditemukan pula di Makassar. Silampukau menemani saya berkeliling dan mengamati kota ini.
Pada “Lagu Rantau (Sambat Omah)”, Silampukau Menggambarkan bagaimana kehidupan kota yang melibas setiap orang melalui pekerjaan dan rutinitas harian. Gaji yang hanya cukup untuk membayar tagihan dan memenuhi kebutuhan. Mereka melantunkan kehidupan para perantau yang melihat kota sebagai pusat kesempatan dan mesin penenun impian tetapi kemudian dipatahkan harapan oleh realita kehidupan.
Berbicara soal perantau, E. B. White dalam esai “Here Is New York” menjabarkan bahwa dalam setiap kota terdapat 3 kelompok utama, mereka yang lahir dan besar di kota tersebut, para pekerja yang datang dari daerah pinggiran, dan para perantau yang memberikan gelora bagi kehidupan perkotaan.
Para perantau tersebut tentu memerlukan penghidupan. Sang kota metropolitan menyediakan berbagai pilihan, tetapi mayoritas harus terjebak dalam sektor informal, kisah klasik urbanisasi tanpa industri. Salah satunya, yang masih berdiri hingga sekarang adalah Pasar Straat atau Jalan Nusantara sebutannya saat ini. Jalan yang selalu sibuk oleh manusia, awalnya dihiasi toko-toko yang menjajakan barang dari luar negeri, kini menjadi wisata bagi para lelaki hidung belang Makassar.
Kesempatan yang ditawarkan Makassar dapat ditemukan pada ruang-ruang gerak manusia, banyaknya komunitas dan kelompok yang menghidupkan setiap sudut kota. Mulai dari bapak-bapak pencinta bola yang berkumpul di warung-warung kopi kala Persatuan Sepakbola Makassar(PSM) bertanding, komunitas buku yang intens bertukar bacaan, kelompok teater kecil yang aktif pentas, dan masih banyak lagi. Dari mereka, saya menemukan orang-orang baik penuh kehangatan untuk berbagi referensi bacaan atau sekedar cerita picisan kehidupan.
Hiburan kota ini tidak ada habisnya, konser musik artis lokal sampai ibu kota hampir setiap bulan diselenggarakan, diskusi akademik di kampus-kampus yang intelek tersedia bak kacang goreng di pasar malam, hingga sekedar duduk di tepi jalan, berhenti sejenak dan memperhatikan kegiatan setiap manusia yang lalu lalang. Tetapi penderitaan yang dijumpai juga tanpa batas, para pengemis, entah duduk termenung di bahu jalan atau tertidur di trotoar, para badut jalanan yang berjoget pada siang hari di bawah lampu merah, hingga penikmat narkoba dan lem-leman yang seharusnya masih bersekolah menjamur di Kota Daeng ini.
Makassar seakan menawarkan segalanya, tetapi untuk memenangkannya kita harus bertaruh, senang dan bahagia akan berlalu begitu pula kesedihan dan penderitaan. Tetapi Makassar akan tetap menjadi dirinya, menerima semua yang datang, menghempaskan, dan melibas sisanya.
Bukankah Makassar adalah kota besar di mana kesempatan dan mimpi atas segala hal dapat dicari dan dibeli? Dengan bangunan yang menjulang dan membentang tinggi nan luas. Lampu-lampu jalanan yang berpendar di aspal menyinari hingga terbit mentari. Saya masih ingin berkeliling di kota ini, menikmati setiap jalan macet atau lengang, bertemu bermacam orang, dan tentu saja menari pargoy dengan bebas.
Ridwan
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Angkatan 2021
Sekaligus Reporter PK identitas Unhas